Isu Keadilan Desentralisasi Perubahan UU Migas

SuaraBanyuurip.com - 

Oleh : Iwan Tri Handono

Permasalahan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas pada saat ini masih mengalami sejumlah debat yang berkepanjangan.  Hal tersebut sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Secara jelas telah diberikan pengaturan bahwa atas Hasil Pertambangan Minyak dan Gas Bumi akan diberikan suatu pembagian hasil dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang jumlahnya cukup signifikan.

Menurut Pasal 19 ayat 1 UU Nomor 33 Tahun 2004, DBH Migas dilakukan dengan membagikan penerimaan negara atas SDA pertambangan migas dari wilayah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. Pemahaman wilayah yang bersangkutan ini menurut sejumlah ketentuan terkait adalah daerah dimana terdapat mulut sumur, dimana dengan kondisi demikian maka DBH Migas hanya akan dinikmati oleh Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur dan kabupaten/kota lainnya yang satu provinsi dengan Kabupaten Bojonegoro. Akan halnya Kabupaten Blora, maka tidak sepeserpun DBH Migas didapatkannya dari sumur minyak yang letaknya di Kabupaten Bojonegoro.

Upaya mendapatkan DBH Migas telah dilakukan oleh Pemkab Blora dengan membentuk Tim Transparansi Migas. Hal ini dilakukan dengan mencari celah untuk mendapatkan DBH Migas melalui pemanfaatan ketentuan Pasal 27 ayat (2) PP Nomor 55 Tahun 2005, yaitu bahwa “Dalam hal SDA berada dalam wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah, Mendagri menetapkan daerah penghasil SDA berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat 60 hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis”.

Meski demikian, ternyata upaya ini masih jauh dari kata kongkrit. Hal ini dikarenakan sifatnya yang tidak substantif secara hukum, dan rentan akan sifat manipulatif. Oleh karena itu, menurut kami, satu-satunya jalan untuk melakukan perjuangan untuk mendapatkan DBH Migas bagi Kabupaten Blora adalah dengan mengubah ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Mengingat pada saat ini Pemerintah sedang merencanakan untuk melakukan perubahan atas UU Nomor 33 Tahun 2004 maka inilah saatnya untuk kembali mengedepankan usulan pengaturan DBH Migas yang lebih baik, lebih adil dan lebih sesuai dengan konsep keuangan daerah.

Baca Juga :   Potensi Wisata di Pertambangan Tradisional

Secara mendasar, perbaikan ketentuan DBH Migas ini sangat relevan karena berbagai alasan. Pertama, berdasarkan kajian geologi oleh IAGI dinyatakan bahwa 36 persen cadangan minyak Blok Cepu berada dalam perut bumi Kabupaten Blora. Kedua, Blok Cepu adalah suatu kawasan terpadu yang dimiliki bersama oleh tiga kabupaten dalam dua provinsi yang berbeda. Ketiga, Kabupaten Blora telah memberikan dukungan berupa 2,18 persen saham di Blok Cepu. Keempat,infrastruktur Blora telah ikut mendukung terwujudnya produksi migas Blok Cepu walaupun sumurnya berada di Kabupaten Bojonegoro. Kelima, rencana bisnis Blok Cepu telah menjadi hal yang menyatu dalam kehiudupan rakyat Kabupaten Blora. Keenam, ketentuan UU Nomor 33 Tahun 2004 yang salah dipahami harus dilakukan perubahan yang mendukung pemberian DBH bagi Kabupaten Blora. Ketujuh, dengan teknologi pertambangan yang kian maju cadangan minyak Kabupaten Blora dapat saja disedot dari sumur di wilayah Kabupaten Bojonegoro atau sebaliknya. Kedelapan, Kabupaten Blora telah memikul dampak lingkungan yang merupakan eksternalitas negatif dari kegiatan eksploitasi migas Blok Cepu di wilayah Kabupaten Bojonegoro.

Ironis memang, Blok Cepu yang sesuai dengan namanya dan menjadi tempat sumber minyak selama ini namun tidak mendapatkan hasil apapun dari hasil eksploitasi atas sumur yang ada di wilayah Bojonegoro. Alih-alih mendapatkan cipratan, penerapan Local Contentjustru diberlakukan oleh Pemerintah Bojonegoro. Di banyak warga Cepu dan Kabupaten Blora yang bekerja sebagai supir atau Satpam sajapun harus terusir karena tidak tercatat dalam kependudukan di wilayah Bojonegoro.

Baca Juga :   SANTRI dan INDONESIA (bagian 1)

Bertitik tolak dari pemikiran itu, adalah Aliansi Masyarakat Blora yang merupakan gabungan dari sejumlah LSM yang ada di Kabupaten Blora berikut elemen masyarakat lain  merapatkan barisan untuk mendukung dan mememperjuangkan DBH Migas dengan upaya yang lebih logismelalui kepastian penciptaan ketentuan hukum yang lebih adil bagi Kabupaten Blora. Hal ini diharapkan sekaligus akan menjadi model penyelesaian kasus serupa yang bisa saja terjadi di wilayah RI lainnya.

Pemerintah Daerah Blora dan jajarannya yang sedikit-banyak sudah sangat pesimisdengan realitas keadaan sekarang, nampaknya terkejut dengan upaya Aliansi Masyarakat Blora yang bertekad memperjuangkan Dana Bagi Hasil Migas dari Blok Cepu. Upaya ini jelas menjadi manifestasi bahwa kini rakyat Blora secara bersama menjadi pihak yang menuntut DBH Migas setelah sebelumnya Pemerintah Kabupaten Blora telah juga berupaya meskipun tidak cukup optimal.

Diskusi Terbuka yang digelar Aliansi Masyarakat Blora yang digelar di Pendopo Kecamatan Cepu dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2014 tentang UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memang kurang mendapatkan reaksi antusiasme dari Pemerintah Kabupaten Blora. Nampaknya pesimisme Setyo Edi sebagai Kepala Dinas ESDM menjadi sebuah potret minimnya perjuangan birokrasi Pemkab Blora di bawah kepemimpinan Bupati Djoko Nugroho. Padahjal jelas bahwa upaya ini bukanlah sebuah manuver politik, melainkan perjuangan untuk mendapatkan hak wajar DBH Migas. Itulah mengapa Aliansi Masyarakat Blora berupaya untuk membangun kembali cita-cita dalam memberikan sumbangsih pada bumi pertiwi – tanah leluhur yang konon sebagai daerah yang kaya sumber minyak dan gas. Meskipun Hutan Jati dan Sumur Minyak belum mengucurkan kemakmuran dan tetap miskin.

Penulis adalah Sekretaris Aliansi Masyarakat Blora (AMB) Blora

» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *