Mengenang Pejuang Warga Blok Cepu

Oleh D Suko Nugroho

MAUT, tak memandang siapapun. Dia menghampiri setiap orang yang memang sudah waktunya. Hanya saja dengan cara yang berbeda-beda.

Tak terkecuali salah satu tokoh masyarakat ring satu pemboran Migas Blok Cepu, Supolo. Tokoh masyarakat asal Desa Brabowan, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, itu menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Umum (RSU) Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Minggu (14/7/2013) sekira pukul 17.45 WIB.

Dari keterangan sejumlah kerabatnya, almarhum didiagnosa dokter terkena liver. Almarhum yang masih berusia 45 tahun yang meninggalkan satu anak itu sempat mengalami opname selama satu hari dua malam. Rencananya almarhum juga sempat akan di rujuk ke rumah sakit Dr Soetomo, Surabaya. Namun rencana itu belum terwujud, Tuhan telah berkehendak lain.

Kepergian Supolo, tentu saja, membuat warga Blok Cepu sangat kehilangan. Karena bagi warga di 12 desa di wilayah Kecamatan Gayam, wilayah pemboran minyak Banyuurip maupun di wilayah Kecamatan Ngasem, khususnya warga di Desa Bandungrejo, ring 1 Lapangan Gas Jambaran, almarhum dikenal sebagai tokoh masyarakat yang kritis. Dia selalu membela dan memperjuangkan kepentingan warga ketika mereka mendapat perlakukan tidak adil dari operator migas maupun kontraktornya.

Idealisme almarhum dalam membela kepentingan warga Blok Cepu begitu tinggi. Dia selalu berada di garda terdepan ketika warga merasa dirugikan dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas yang dilakukan Mobil Cepu Limited (MCL), anak perusahaan raksasa migas Amerika Serikat (AS), ExxonMobil.

Diantaranya perjuangan yang dilakukan almarhum adalah ketika warga dirugikan akibat munculnya bau busuk dari fasilitas pemrosesan minyak mentah (Gas Oil Separation Plan/GOSP) sekira empat tahun lalu. Supolo dengan gagah berani berteriak lantang turun ke jalan bersama tokoh masyarakat lainnya memimpin warga untuk meminta operator bertanggungjawab. Yakni dengan memberikan kompensasi dan pengobatan gratis kepada warga. Perjuangan itu pun berhasil dan operator memenuhi tuntutan warga, meski dengan negoisasi yang alot.

Bukan hanya itu. Almarhum yang tumbuh dan besar dari keluarga petani sekitar ladang migas Blok Cepu itu juga tak tinggal diam ketika pengusaha lokal di ring satu terancam ‘akan disingkirkan’ dari perhelatan proyek engineering, procurement and construction (EPC) Banyuurip. Dengan semangat perjuangan yang tak pernah surut saat melihat ketidakadilan menimpa warga pribumi, almarhum kembali menjadi pandega. Dia berjuang bersama pengusaha lokal agar dapat dilibatkan.

Bahkan Almarhum juga menjadi salah satu pendiri Forum Komunikasi Kontraktor Lokal (FKKL). Wadah yang menampung puluhan kontraktor lokal sekitar lapang minyak Banyuurip itu sempat berkibar dan menjadi bergaining power bagi kontraktor EPC untuk melibatkan pengusaha lokal. Meski didalam struktur organisasi FKKL, almarhum hanya sebagai sekretaris, namun dia mampu memperjuangkan pengusaha lokal “pol” hingga banyak terlibat dalam mega proyek Blok Cepu.

Baca Juga :   Kebebasan Pers Kebebasan dari Amplop

Disamping memiliki keberanian, almarhum juga mampu bernegoisasi, diplomasi dan mempunyai strategi dalam memperjuangkan hak-hak warga Blok Cepu. Karena kepiawaian dan keberaniannya membela warga itulah, bukan tidak mungkin, almarhum menjadi salah satu orang yang dibenci oleh operator maupun kontraktornya. Karena perjuangan yang dilakukan almarhum bisa menjadi momok menakutan bagi keberlangsungan dan kenyamanan bisnis mereka.

Sikap kritis yang ditunjukkan almarhum bukan hanya kepada operator migas dan kontraktornya. Supolo juga kerap menentang kebijakan – kebijkan yang dibuat pemerintah kabupaten (Pemkab) Bojonegoro. Salah satunya ketika peraturan daerah (Perda) No.23/2011 tentang Kontel Lokal akan dimanfaatkan oleh pengusaha besar dari luar Bojonegoro. Dia bersikeras agar Kontraktor lokal tetap utamakan seperti yang diamanahkan dalam perda tersebut.

Sempat Buat Media dan Dirikan Diklat Jurnalistik

Perjuangan alamarhum sebenarnya telah dilakukan semasa pertama kali ExxonMobil mengambil alih pengelolaannya dari PT. Humpus Patragas pada kisaran 1999 – 2000 silam. Pada waktu itu, almarhum sempat ikut memprakasi berdirinya Forum Komunikasi Masyarakat Banyuurip – Jambaran (Forkomas Ba-Ja). Forum yang menjadi wadah diskusi masyarakat terkait permasalahan yang menimpa warga sekitar tambang akibat kegiatan penambangan migas. Selain itu almarhum sempat membuat sebuah majalah yang diberi nama Delegasi. Melalui media itu dia mencoba untuk menyampaikan kondisi riil masyarakat di desanya. Namun karena keterbatasan finansial dan sumber daya manusia (SDM), media itupun tak dapat bertahan lama.

Gagal membuat media, Alamarhum yang dikenal sebagai sosok ulet, gigih dan tak mengenal putus asa itu mendirikan lembaga pendidikan dan latihan (Diklat) Jurnalistik yang diberi nama Pawarta di Desa Bonorejo, tempat kelahirannya. Bahkan alamat lembaga diklat yang digunakan alamarhum sekarang ini menjadi nama jalan di Bonorejo yakni jalan Lingkar Banyuurip. Nama itu selalu digunakan almarhum dalam setiap kop surat lembaga diklat.

Lembaga diklat almarhum ini juga sempat eksis setelah almarhum mulai mengenal dunia internet pada 2002 silam. Dengan belajar kepada sesama tokoh masyarakat, Rachmad Aksan, Supolo mulai mengenal telkomnet secara instan. Dari situlah almarhum mulai mencari jaringan-jaringan dari berbagai daerah bahkan smapai luar jawa. Bahkan almarhum juga sempat membuat blog sendiri di dunia maya dengan alamat http://www.kantorberita.net/category/label/supolo.

Baca Juga :   Bojonegoro Miskin Berkelanjutan, Kecuali...

Ingin Lestarikan Budaya Jawa

Dibalik sikapnya yang kritis, almarhum juga memiliki cita-cita luhur yakni ingin melestarikan budaya jawa, seni wayang kulit. Untuk mewujudkan cita-cita itu, almarhum menyempatkan diri ikut pelatihan dalang pada tahun 1990 an. Dari situlah, almarhum kerap merima job menjadi dalang dalam pewayangan. Meski tak setenar Ki Anom Suroto, Supolo juga kerap diminta menjadi dalang pada perhelatan pesta meski dengan bayaran yang kecil, bahkan tanpa bayaran pun ia lakoni.

Karena kepiawaian almarhum dalam menggunakan bahasa dalang (Jawa), dia juga sering diminta mengisi serah terima pengantin. Karena itulah almarhum sangat familier dengan warga di desa-desa sekitar lapangan Banyuurip, seperti Desa Bonorejo, Mojodelik, Braboan dan sekitarnya.

Saking pedulinya dengan kesenian tradisonal jawa itu, almarhum pernah menyatakan keinginannya untuk menjadi dalang wayang kulit sekali dalam setahun di wilayah Blok Cepu, walaupun tidak dibayar. Harapan almarhum agar budaya itu tetap eksis, meski di desanya sekarang telah berlangsung industri migas. Namun, sayangnya, cata-cita luhur itu belum sampai terwujud hingga dia menghembuskan nafas terakhirnya.

Selain itu ada beberapa harapan lain yanng juga belum diwujudkan almarhum. Yakni keinginan mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Meski sudah sempat membuat PT Tegar Alam Raya, namun perusahaan yang diambilkan dari nama anaknya itu tak sempat berkembang dan eksis.

Cita-cita lain almarhum adalah ingin membangun perkantoran lantai dua dan mendirikkan lembaga baru sebagai ganti FKKL di Desa Brabowan. Yakni aliansi kontraktor Lokal Banyuurip -Jambaran Bersatu. Lembaga baru itu kerap didiskusikan dengan para tokoh masyarakat dan pengusaha lokal disekitar pemboran minyak Banyuurip. Namun cita-cita almarhum belum sampai terwujud juga.

Meski demikian, yang pasti apa yang sudah dilakukan almarhum selama ini telah banyak memberikan sumbangsih sangat besar bagi warga Blok Cepu. Perjuangan yang almarhum lakukan selama ini menjadi sebuah catatan sejarah bagi warga Blok Cepu khususnya. Semangat inilah yang sepertinya ingin diwariskan almarhum kepada generasi muda disana. Selamat jalan pejuang warga Blok Cepu.

Penulis adalah wartawan suarabanyuurip

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *