Senjakala Migas di Tengah Ancaman Krisis Energi

Gathering 2

Industri minyak dan gas bumi (Migas) di tanah air mendekati titik nadir. Krisis energi pun menghantui sektor padat teknologi.

“Migas bukan lagi sebagai penopang pendapatan, tapi pendukung lokomotif pembangunan nasional.”

Demikian ujar Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Jawa Bali Nusa Tenggara (Jabanusa), Priandono Hernanto, saat membuka Media Gathering 2017 JOB P-PEJ dan Pimpinan Redaksi (Pimred) Media di Jawa Timur di Banyuwangi, Rabu (06/09/2017).

Di depan 30 Pimred media yang tersebar di Jawa Timur tersebut, Ian demikian dia akrab disapa, menambahkan, situasi industri Migas saat ini sudah berbeda dengan sekian tahun sebelumnya. Produksi minyak tak lagi bisa memenuhi kebutuhan nasional.

Saat ini produksi minyak nasional sekitar 800.000 barel per hari. Sedangkan konsumsi minyak secara nasional mencapai 1.600.000 barel per hari. Kekurangan energi tersebut ditutup dengan impor.

“Kita saat ini termasuk kategori negeri yang krisis energi (minyak),” tegas lelaki ramah itu.

Di wilayah Jawa Timur produksi minyak sebanyak 250.000 barel per hari. Jumlah tersebut mayoritas merupakan muntahan dari perut bumi Bojonegoro, dan Tuban. Diantaranya dari wilayah kerja Blok Cepu dengan sumur Banyuurip, dan sumur Sukowati dan Mudi dari Blok Tuban.

Blok Tuban dengan operator Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB P-PEJ), kontraknya akan berakhir pada Februari 2018 mendatang. “Kita belum dapat informasi, siapa yang akan mengoperatori Blok Tuban, saat ini sudah ditangan Pertamina,” kata Ian.    

Baca Juga :   Wapres Tiba di Banyuurip Blok Cepu

Selama 20 tahun sejak lapangan Mudi produksi pada tahun 1997, ungkap Admin Manager JOB P-PEJ, Endang Retnowati, corporate telah membuat program sosial kemasyarakatan. Pemeliharaan sumur yang dilakukan pun,  telah mengurangi penurunan produksi hingga 10.000 barel per hari.

“Berbagai program yang telah dilakukan untuk masyarakat sekitar, bisa diteruskan oleh operator yang baru nanti,” kata Endang Retnowati dalam kesempatan sama.

Kebutuhan minyak nasional, papar Sekjen Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Arif Gunawan, dari tahun ke tahun mengalami lonjakan. Sayangnya belum seimbang dengan produksi, sehingga impor merupakan hal yang tak bisa dielak.

Di medio 1981, saat itu era Pelita III pemerintahan Orde Baru, produksi minyak nasional berkisar 1,3 juta hingga 1,6 juta barel per hari. Data tahun 2016 menyebut, produksi menurun di kisaran 825.000 hingga 850.000 barel.

“Dulu belum banyak mobil berseliweran di jalan, sekarang semakin banyak dan itu butuh minyak,” timpal Ian. “Kita sekarang di bawah Malaysia untuk masalah Migas,” pungkasnya.

Menurut prediksi, sergah Arif Gunawan, pada tahun 2025 kebutuhan minyak nasional mencapai 2,2 juta barel per hari. Tahun 2050 melompat hingga 4,6 juta barel per hari. Jika produksi nasional seperti saat ini, diperkirakan 87 persen kebutuhan minyak akan dipenuhi melalui impor.

Banyak kendala menjadi sebab krisis minyak yang bakal menimpa Indonesia. Di samping eksploitasi terhadap potensi cadangan minyak tak banyak dilakukan, regulasi perijinan terindikasi berpotensi menghambat investasi sektor Migas. Bentuk perijinan dinilai terlalu panjang berliku, dan melelahkan.

Baca Juga :   Dishub Monitoring Penyeberangan Bengawan Solo

Dalam makalahnya, alumni Institut Tehnologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini memaparkan, ada 373 jenis perijinan yang dilalui dalam investasi sektor hulu Migas. Jumlah tersebut tersebar di 19 kementrian. Itu belum regulasi dari daerah yang musti dilalui investasi.

Dalam situs resminya, Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi pada bulan Maret 2017 lalu merilis, akan menyederhanakan perijinan Migas menjadi enam ijin, dari semula 104 perijinan. Itu menjadi bagian dari program pemerintah, agar investasi di sektor Migas lebih menarik.  

Sejatinya banyak potensi Migas di tanah air yang belum bisa dieksploitasi. Faktornya dari hitungan keekonomian tak memungkinkan, karena belum didukung infrastruktur memadai.

Kecemasan terhadap situasi tersebut direspon serius oleh pemerintah. Presiden mengeluarkan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Termasuk Permen ESDM 08/2017 tentang Gross Split, Permen 29/2017 tentang Perijinan Pada Kegiatan Usaha Migas, Permen 52/2017 tentang perubahan Gross Split.

“RUEN tersebut harusnya tersosialisasi hingga ke daerah, agar investasi sektor Migas sesuai harapan,” kata Arif Gunawan.  

Yang pasti sektor Migas sangat layak untuk ditata kembali agar menjadi andalan pendapatan nasional. Paling tidak dengan naiknya produksi nasional, akan menghindari impor berlebihan, dan keluar dari lilitan krisis energi. (tbu)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *