SuaraBanyuurip.com – d suko nugroho
Bojonegoro – Pembangunan pabrik pengolahan gas flare atau gas suar bakar oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Bojonegoro, Jawa Timur, PT Bojonegoro Bangun Sarana (BBS) telah direncanakan pada 2011, tapi belum juga terealisasi. Sudah empat kali direktur utama (Dirut) perusahaan pelat merah itu berganti. Bahkan tiga dirut di antaranya mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir.
Data suarabanyuurip.com, pengelolaan gas suar bakar pertama kali digagas oleh Dirut PT BBS, Deddy Affidick pada medio 2011. Saat itu telah dibebaskan lahan seluas 3 hektar (Ha) di Dusun Plosolanang, Desa Campurejo, Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro. Pabrik pengolahan gas yang akan dibangun berkapasitas 20 Juta Standar Kaki Kubik per Hari (Million Standard Cubic Feet per Day/MMSCFD). Dua investor yakni PT Inter Media Energy dan PT Niaga Gema Teknologi dari Jakarta. Investasi yang disiapkan berkisar antara USD 35 juta – USD 40 juta.
PT BBS kala itu juga telah mendapat alokasi gas suar Lapangan Sukowati, Blok Tuban, dari pemerintah pusat. Jumlahnya sebanyak 10 MMSCFD berdasarkan perjanjian jual beli gas (PJBG) yang ditandatangani beberapa pihak. Yakni Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) meliputi Pertamina Hulu Energi (PHE), Petrochina Internasional, Pertamina EP Tuban dan Pertamina EP Tuban East Java.
Pabrik pengolahan gas suar yang akan dibangun BBS ditargetkan bisa menghasilkan condensate sebesar 300 barel, 15 ton LPG ((Liquefied Petroleum Gas) dari jatah 4 juta kaki kubik (MMSCF) BBG.
Namun hingga masa jabatan Deddy Affidick sebagai Dirut PT BBS berakhir pada April 2015, fasilitas pengolahan gas suar belum juga terealisasi. Justru perusahaan yang digandeng BBS meninggalkan persoalan dengan kontraktor lokal hingga berujung pada penyitaan lahan yang akan digunakan lokasi pabrik pengolahan gas.
Pasca berakhirnya masa jabatan Deddy Affidick sebagai dirut, BBS dinahkodai oleh Edi Fritz, Mantan General Manager operator Lapangan Sukowati, Joint Operating Body East Java (JOB P-PEJ).
PT BBS di bawah kendali Edi Fritz juga tidak menunjukkan kinerja optimal. Edi hanya menjabat setahun, yakni sampai 2016. Dia mengundurkan diri.
Jabatan Edi Fritz kemudian digantikan oleh Tony Ade Irawan pada 2017.
Berbeda dengan dirut sebelumnya – Deddy Affidick dan Edi Fritz-, Tony menggagas pendirian kilang minyak mini. PT BBS saat itu telah menggandeng perusahaan sebagai pemodal, yakni PT Tierra Energi, dan PT Inter Media Energi Perkasa untuk membangun fasilitas pengolahan minyak.
Bahkan, PT BBS juga telah mendapat alokasi minyak mentah dari Lapangan Banyu Urip, Blok.Cepu dari pemerintah pusat. Jumlahnya sebanyak 30.000 ribu barel per hari dibagi untuk tiga perusahaan yakni PT BBS, PT Humpuss, dan PT Tri Wahana Universal (TWU) masing-masing 10.000 bph.
PT BBS juga sudah memasang target ground breaking pembangunan kilang mini dilaksanakan 2017 dan konstruksi dimulai 2018, dan tahun berikutanya beroperasi.
Namun rencana bisnis itu kandas. Pembangunan kilang minyak tidak terwujud. Alasanya, harga minyak yang ditetapkan pemerintah tidak ekonomis yakni, ICP Arjuna plus US$5,50 per bareI pada titik serah fasilitas di penampungan terapung (Floating Storage and Offloading/FSO) Gagak Rimang. Sedang BBS meminta harga ICP Arjuna dikurangi US$ 0,50 per barel.
Dirut PT BBS Tony Ade Irawan akhirnya mengundurkan diri pada 2019, dan kemudian digantikan oleh Thomas Gunawan pada 2020. Thomas sebelumnya adalah salah satu direktur di PT Rekayasa Industri (Rekind).
Di bawah kepemimpinan Thomas, PT BBS kembali membidik bisnis pengolahan gas. Namun gas yang akan diolah bukan dari gas suar Lapangan Sukowati. Melainkan dari Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu. Rencana bisnis itu juga telah disampaikan kepada pimpinan DPRD Bojonegoro.
Bahkan saat itu PT BBS telah menandatangani kerja sama pengelolaan gas ikutan dari Lapangan Banyu Urip dengan Pertamina Gas (Pertagas). BBS juga telah mengajukan penawaran pembelian dan alokasi gas kepada ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), operator Blok Cepu dan Kementerian ESDM. Alokasi gas yang diajukan sebesar 5 Juta Standar Kaki Kubik per Hari (Million Standard Cubic Feet per Day/MMSCFD).
Lagi-lagi rencana perusahaan yang digadang-gadang bisa terlibat maksimal di industri migas itu pupus. Thomas Gunawan mengundurkan diri dari jabatan Dirut PT BBS pada 9 Juli 2022, meski baru 2,5 tahun menjabat.
Thomas tidak menjelaskan secara detail alasan dirinya mundur dari Dirut PT BBS. Ia hanya mengaku karena alasan pribadi dan keluarga.
“Tidak ada hubungannya dengan target pendapatan atau belum terealisasinya pembangunan fasilitas pengolahan gas ikutan dari Lapangan Banyu Urip. Realisasi keuntungan tahun 2021 di atas target, sehingga PAD 2022 tercapai,†ujar Thomas ketika dikonfirmasi suarabanyuurip.com, Selasa 26 Juli 2022.
Menanggapi hal itu, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Banyu urip – Jambaran (Forkomas Ba-Ja), Parmani menilai, belum terealisasinya pembangunan fasilitas pemrosesan gas suar membuktikan belum optimalnya kinerja PT BBS sebagai BUMD Bojonegoro. Padahal, jika bisnis itu terwujud akan menambah pendapat asli daerah, serta membuka peluang kerja dan usaha bagi warga Bojonegoro.
“Apalagi mereka mundur sebelum jabatanya habis. Ini sama saja mereka melarikan diri dari tanggungjawabnya,†tegasnya.
Tokoh masyarakat ring satu Lapangan Banyu Urip,itu menyarankan kepada tim pantia seleksi (Pansel) Pemkab Bojonegoro untuk lebih selektif lagi dalam merekrut Dirut PT BBS. Agar kejadian mundurnya dirut sebelum masa jabatannya habis tidak terulang dikemudian hari.
“Ini sudah tiga kali terjadi. Tim pansel atau Bupati harus berani membuat komitmen dengan calon dirut sebelum dilantik untuk bersedia meneruskan rencana bisnis pembangunan pabrik pengolahan gas, dan tidak mundur sebelum masa jabatannya habis,†ujar warga Desa Brabowan, Kecamatan Gayam ini.
Parmani juga menyarankan kepada tim pansel agar calon dirut PT BBS yang direkrut bukan sekadar ahli manajemen dan menguasai masalah migas. Namun juga harus memiliki jaringan luas dan kuat hingga di tingkat pusat, karena masalah bisnis migas membutuhkan lobi.
“Kalau dilihat dirut sebelumnya memiliki latar belakang dari perminyakan. Tapi ternyata itu tidak menjamin mereka bisa merealisasikan bisnis di sektor migas. Karena bisnis migas ini adalah kepentingan elit,†pungkasnya.(suko)