SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Yogyakarta – Berawal dari keinginan memindahkan sampah yang ada di kampungnya agar bersih dan sehat, Imam Mukhlas, warga Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, menggagas bank sampah. Tak disangka, mimpi sejak akhir 2016 itu terwujud melebihi harapan, karena mampu menjadi pundi rupiah.
Tentu ini berkat tekad nan membaja, sehingga buah pikirnya itu kemudian mampu meyakinkan Operator Lapangan Unitisasi Gas Jambaran Tiung Biru (JTB), Pertamina Eksplorasi dan Produksi Cepu (PEPC) agar turut terlibat dalam rancang kelola sampah hingga menembus laba Rp60 juta di masa kini.
“Dulunya saya kira ide kami ini enggak bakalan didukung Pertamina,” kata pria ramah ini membuka kisah di hadapan 103 jurnalis pada sesi local hero di Hotel Hyatt Regency, Yogyakarta, Minggu (24/09/2023), dalam balutan acara Media Gathering 2003 yang diselenggarakan Regional Indonesia Timur Subholding Upstream Pertamina.
Tak pelak, keraguan Mukhlas, demikian dia karib disapa, timbul karena dia sadari bahwa menumbuhkan kepercayaan atas satu kegiatan yang relatif baru memang tidak mudah. Sebab, jangankan membuat yakin pada perusahaan besar, dipercaya tetangga sendiri saja terhadap pekerjaan yang dia buat adalah hal yang sulit.
“Karena kamu tahu kemampuan kami, maka kami mulai pertama kali dari mengumpulkan sampah rosok,” ujarnya.
Sampah rosok dalam istilah yang dia maksud adalah benda-benda rongsokan limbah rumah tangga yang masih punya nilai jual. Seperti botol air mineral, botol bekas bahan kimia pertanian, bekas peralatan rumah tangga, kardus, dan bermacam kertas bekas lainnya. Ini dilakukannya pada awal 2017.
Ketika baru memulai, sampah yang berhasil dikumpulkan dari para warga kala itu langsung dijual begitu saja ke pengepul, karena belum punya tempat untuk berkantor. Setiap rupiah yang dihasilkan dari sampah yang ditimbang itu dijadikan tabungan pribadi warga.
“Kami buat kesepakatan timbangan sampah itu setiap tiga bulan sekali,” bebernya.
Pada waktu jual sampah perdana, Mukhlas belum menyadari bahwa sampah tabungan warga harus dipilah lebih dahulu. Akibatnya, berangkat pagi pulang magrib harus dia lakoni karena harus berlelah-lelah memilah tumpukan sampah begitu lama.
Sudahpun begitu, hasilnya hanya “kerja bakti” karena tak menutup ongkos operasional yang dirogoh dari kocek pribadi para pengurus. Padahal lembaga yang diberi nama Bank Sampah Mandiri Keluarga Harapan disingkat BSM-KH ini harus memiliki biaya operasional yang stabil.
Pengalaman pahit itu mencetuskan ide perlunya dibuat rumah pilah sampah. Lagipula, pada sampah terpilah, terdapat margin yang lebih banyak jika dibandingkan dengan sampah tanpa pilah. Untuk pendanaan dibuat proposal ke berbagai pihak. Salah satu yang disasar adalah PEPC.
“Kami lembaga baru, jadi tidak yakin ketika itu kalau Pertamina bantu, tapi ternyata kami dipantau, sehingga setelah 1 tahun ternyata kami diberitahu kalau PEPC tertarik kegiatan bank sampah kami,” ucap pendiri BSM-KH ini.
Cerita nyata inipun berlanjut, dengan kontribusi PEPC terhadap BSM-KH besutan Mukhlas. Pihaknya lalu dilatih perihal tata kelola organisasi oleh pengelola lapangan unitisasi gas yang punya kapasitas penuh sebesar 192 juta kaki kubik itu. Termasuk juga dilatih ihwal teknik pilah sampah.
Tahap berikutnya, PEPC mengajak bank sampah beranggotakan 350 Kepala Keluarga (KK) di dekat wilayah operasi JTB ini untuk studi tiru ke beberapa tempat. Desa Mojodeso, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, salah satu contoh yang dianggapnya luar biasa, lantaran bersih dan banyak wisatawan mengunjungi.
Gerakan pilah sampah oleh kelompok BSM-KH (Bank Sampah Mandiri Keluarga Harapan) yang dimotori oleh My Darling (Masyarakat Sadar Lingkungan) merupakan gerakan yang dilakukan oleh kalangan ibu rumah tangga ini lalu dikembangkan oleh Pertamina EP Cepu. Dari situ, kini kelompok tersebut total mengelola 30 persen sampah di Desa Sendangharjo.
Subholding Upstream Pertamina ini menindaklanjuti dengan mengangkat Program Si Imut My Darling (Sistem Integrasi Ikan Maggot Unggas dan Tanaman oleh Masyarakat Sadar Lingkungan) untuk mengolah sampah organik dengan sistem biokonversi yang dilakukan dalam dua tahapan.
Pertama, larva black soldier flay yang dihasilkan dari telur black soldier flay yang menetas dan diberi makan sampah organic. Kedua, pupuk kasgot, yaitu pupuk organic bekas maggot yang di hasilkan dari proses penguraian sampah organik dari larva black soldier flay.
Sedangkan sampah anorganik dipilah berdasarkan jenisnya untuk dijual kembali ke pabrik daur ulang, kemudian sampah kresek yang nilainya rendah di olah dengan mesin fast pirolisis menjadi bahan bakar alternative setara solar, gas cair, premium, gas metan dan asap cair yang dapat di aplikasikan dalam pertanian, perikanan.
“Dari selisih harga sampah plastik yang dijual bisa untuk bayar pajak, usaha ternak dan perikanan yang dikasih makan magot, itu sejak 2016 sampai sekarang total laba kami mencapai Rp60 juta,” tandasnya.
Sementara itu, Senior Manager Relation Regional 4 Subholding Upstream Pertamina, Fitri Erika mengaku, bahwa pihaknya tak hanya mendukung BSM-KH yang dipandegani. Tetapi juga justru belajar banyak kepada para local hero, yang mana salah satunya adalah Imam Mukhlas. Karena berhasil bertahan sampai sekarang.
Tak hanya itu, perempuan enerjik ini juga menilai bank sampah besutan Imam Mukhlas relevan dengan terapan ESG (Environmental, Social, and Governance) Pertamina. Karena kelompok tersebut bisa membantu masyarakat dan pemerintah dalam hal pengelolaan sampah di sisi sosial dan lingkungan.
Fitri menyatakan, antara BSM-KH dan Pertamina mempunyai niat yang sama. Terlebih pihaknya memiliki kompetensi dari sisi HSSE, maka hal itu diajarkan. Keberhasilan itu mampu menjawab SDG’s juga, karena ada pertumbuhan ekonomi dan masyarakat bisa mandiri, serta masalah lingkungan yang teratasi.
“Jadi dari satu program ini bisa menjawab beberapa isu sekaligus,” tegas Fitri.(fin)