SuaraBanyuurip.com – Joko Kuncoro
Bojonegoro – Kontraktor pelaksana proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) Gas Processing Facility (GPF) Jambaran – Tiung Biru (J-TB), PT Rekayasa Industri (Rekind) hingga kini baru mencicil tagihan utang kepada BUMD Bojonegoro, Jawa Timur, PT Bojonegoro Bangun Sarana (BBS) sebesar Rp 2 miliar. Padahal total tagihan utang yang seharusnya dibayar Rekind sebesar Rp 15,3 miliar. Namun belum diketahui kapan sisa tagihan tersebut akan dilunasi oleh Rekind.
Manager Proyek PT BBS, M. Ali Imron mengatakan, PT Rekind sudah mencicil tagihan sebesar Rp 2 miliar. Cicilan tersebut untuk pembayaran tagihan pekerjaan seperti Instrument, Electrical, Mechanical and Gathering Pipeline Work Package Gas Processing Facilities di Jambaran Tiung Biru (JTB).
“Tagihan yang awalnya sebesar Rp 15,3 miliar baru dibayar Rp 2 miliar,” katanya, Kamis (7/12/2023).
Menurut Imron, PT Rekind juga belum memberikan keterangan yang jelas mengenai kapan sisa tagihan tersebut akan dilunasi. Padahal pekerjaan tersebut sudah diselesaikan PT BBS sejak 10 Agustus 2022 lalu
“Belum ada kejelasan dari PT Rekind,” katanya kepada suarabanyuurip.com.
Sebelumnya, kata dia, PT BBS juga sudah mengirim somasi, namun hingga saat ini tidak pernah ditanggapi oleh PT Rekind.
“Baik itu tanggapan secara resmi maupun tertulis oleh pihak Rekind,” katanya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelumnya mengungkap temuan yang memuat beberapa permasalahan atas proyek pengembangan lapangan gas unitisasi JTB tahun 2017 hingga semester I 2022 pada SKK Migas, PT Pertamina EP Cepu (PT PEPC), dan instansi terkait di DKI Jakarta dan Jawa Timur. Temuan tersebut dituangkan dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023.
Ada empat temuan yang memuat tujuh permasalahan dalam proyek pengembangan lapangan gas Unitisasi Jambaran – Tiung Biru.
Yaitu hasil pekerjaan proyek EPCC-GPF yang dilaksanakan oleh Konsorsium Rekind, JGC dan JGC Indonesia (RJJ) belum sepenuhnya sesuai dengan lingkup pekerjaan pada kontrak dan perubahannya.
Seperti terdapat pengurangan lingkup pekerjaan dan deviasi spesifikasi teknis hasil pekerjaan yang belum ditetapkan sebagai contract change order (CCO) pengurang nilai kontrak EPCC GPF sebesar USD 6,99 juta.
Kemudian, volume item pekerjaan terpasang yang kurang dari dokumen pendukung pembayaran sebesar USD 2,53 juta.
Selain itu, terdapat keterlambatan atas pelaksanaan pekerjaan EPCC GPF. Hal ini mengakibatkan kelebihan pembebanan biaya operasi atas hasil pekerjaan EPCC GPF yang tidak sesuai lingkup pekerjaan minimal sebesar USD 9,52 juta, denda keterlambatan berpotensi tidak menambah bagi hasil bagian negara sebesar USD 82,79 juta, serta negara kehilangan potensi pendapatan dari gas yang tidak dapat dijual untuk periode 20 September sampai 18 November 2022 karena belum selesainya seluruh GPF minimal sebesar USD 5,84 juta,” sebut BPK.
“Permasalahan tersebut meliputi 1 kelemahan sistim pengendalian internal atau SPI dan 6 ketidakpatuhan sebesar Rp 40,65 miliar dan USD 103,37 juta atau total ekuivalen Rp 1,59 triliun,” kata BPK dalam dokumen IHPS I Tahun 2023 yang diakses suarabanyuurip.com, Selasa (6/12/2023).(jk)
Kok samp3k nunggak bulete duwek Nok di yo
BUMN yang bangkrut dan di bangkrutkan