SuaraBanyuurip.com – d suko nugroho
Jakarta – Menteri ESDM Arifin Tasrif blak-blakan terkait pencabutan 2.051 izin usaha pertambangan (IUP) oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Berdasarkan Pasal 191 UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, Arifin menjelaskan bahwa pertambangan IUP dan IUPK dapat dicabut oleh Menteri ESDM.
Penjelasan Arifin tersebut disampaikan ketika Komisi VII DPR RI mempertanyakan pencabutan IUP dan IUPK oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mempertanyakan pencabutan 2.051 IUP sejak tahun 2022 Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Bahkan sebelumnya IUP yang dicabut tersebut sempat berada pada jumlah 2.078.
Padahal, lanjut dia, dalam UU Minerba (Mineral dan Batubara) No.3 Tahun 2020, Pasal 116 tercantum bahwa yang melakukan pencabutan IUP adalah menteri yang terkait dengan pertambangan Minerba bukan menteri investasi.
“Kita baca halaman 1 ini ya. Apabila terdapat perbedaan jumlah data pencabutan IUP antara Dirjen Minerba dengan BKPM dimungkinkan adanya pencabutan IUP oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM yang tidak atau belum dikirim tembusan ke Dirjen Minerba. Ini kalau kita baca sangat jelas bahwa kewenangan pencabutan sepertinya ada di tangan Menteri Investasi,” ungkap Mulyanto, di ruang rapat Komisi VII DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Politisi Fraksi PKS ini menilai pencabutan IUP oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia secara kasat mata telah terjadi mal administrasi tata kelola, bad government, pemerintahan yang tidak baik menempatkan aktor pelaku Undang-undang ini.
Sebelumnya, saat rapat dengar pendapat dengan Dirjen Minerba, anggota Komisi VII DPR RI, Abdul Kadir Karding juga mempertanyakan hal serupa. Karding meminta pejelasan, apakah betul kewenangan pencabutan IUP terutama Minerba itu ada di Kepala BKPM.
“Apakah betul BKPM berjalan sendiri tanpa rekomendasi dari Kementerian ESDM?” tanya Karding.
Menanggapi hal itu, Menteri ESDM, Arifin menjelaskan bahwa dalam Pasal 191 UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dijelaskan bahwa pertambangan IUP dan IUPK dapat dicabut oleh Menteri, jika tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP & IUPK serta ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Pencabutan IUP juga dapat dilakukan jika pemegang IUP atau IUPK tersebut melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU yang berujung pada kepailitan. Lalu, pemegang IUP & IUPK tidak melaporkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan.
“Bila tidak dilaksanakan dianggap tidak berkegiatan dan sanksi administrasi berupa pencabutan izin,” tegas Arifin.
Terkait BKPM, Arifin mengungkapkan bahwa BKPM mendapatkan mandat pencabutan pada Januari – November tahun 2022. Namun dalam proses pencabutan tersebut, pemerintah memberikan ruang pengajuan keberatan kepada pengusaha tambang atas pencabutan IUP tersebut.
“Dengan catatan perusahaan menyampaikan data pendukung yang cukup dengan mekanisme yang ada oleh Satgas penataan investasi. Beberapa perusahaan dibatalkan pencabutannya karena memenuhi persyaratan tersebut,” ungkapnya.
Oleh karena itulah sampai 14 Maret 2024 sebanyak 585 IUP telah dibatalkan pencabutannya oleh BKPM, yang terdiri dari 499 IUP mineral, 86 IUP batu bara. Dari jumlah tersebut baru 469 IUP yang masuk dalam sistem minerba one data Indonesia (MODI).
“Sisanya sebanyak 4 IUP proses masuk dan 112 belum bisa masuk MODI karena masih memiliki kewajiban pembayaran PNBP,” jelas Arifin.
587 RKAB Batubara dan 191 RKAB Mineral Disetujui
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM telah menyetujui permohonan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahunan (RKAB) 587 perusahaan batubara dan 191 RKAB perusahaan mineral. RKAB ini akan berlaku selama tiga tahun sejak tahun 2024 hingga 2026.
“Ini status per tanggal 18 Maret 2023. Permohonan RKAB ada sebanyak 883 permohonan. 587 permohonan disetujui, sementara ditolak sebanyak 121 permohonan,” kata Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Bambang Siswantono dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (19/3).
Mengenai alasan penolakan, Bambang menjelaskan, sebanyak 121 permohonan ditolak karena SK Izin Usaha Pertambangan (IUP) habis sebanyak 8 permohonan, belum membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebanyak 75 permohonan, feasibility study (FS) dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) sebanyak 4 permohonan, MODI/Direktur Komisaris sebanyak 13 permohonan, masalah keuangan sebanyak 8 permohonan, program Pengambangan dan Pemberdaayan Masyarakat (PPM) sebanyak 11 permohonan dan sisanya masalah teknis dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebanyak 2 permohonan.
“Dengan disetujuinya 587 RKAB Batubara, maka total tonase batubara untuk tahun 2024 adalah sebesar 922,14 juta ton dan tahun 2025 sebesar 917,16 juta ton. Sementara pada tahun 2026 sebesar 902,97 juta ton,” ungkap Bambang.
Selanjutnya untuk persetujuan RKAB mineral Bambang mengatakan, proses RKAB untuk komoditas mineral tahun 2024 sampai dengan 2026 setelah dilakukan proses evaluasi terhadap 731 RKAB yang masuk ke Direktorat Jendaral Minerba sebanyak 201 permohonan diproses dengan 191 permohonan disetujui dan 10 permohonan ditolak.
“Sampai dengan saat ini masih masih terdapat 530 permohonan yang masih diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan dengan rincian perbaikan aspek esensial RKAB itu sendiri, seperti aspek administrasi sumber daya dan cadangan. Kemudian penambangan pengolahan pemasaran PPM keuangan dan PNBP serta keselamatan pertambangan,” jelas Bambang.
Dari 191 permohonan RKAB yang telah disetujui di tahun 2024, kapasitas produksi RKAB mineral yang setujui adalah komoditas nikel sebesar 152,62 juta ton, bauksit sebanyak 15,88 juta ton, timah 44,48.000 ton, tembaga 99,24 juta ton, emas dan perak 20,7 kilo dan 122,5 kilo, konsentrat besi 6,45 juta ton, komoditas Gena 242,3.000 ton.(suko)