Wujud saling menghargai dan toleransi beragama di Indonesia tersiar merata di belahan bumi Indonesia dan terjadi pada aneka era. Salah satunya ialah tapak dakwah yang berlangsung di era Hindu-Budha ke Islam di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur oleh Syekh Jumadil Kubro.
DATANG ke Tanah Jawa, Syekh Jumadil Kubro melaksanakan dakwah agama Islam di Bojonegoro pada periode tahun 1300-an atau abad 14, semasa Kerajaan Majapahit.
Konon tempat pertama yang menjadi jujugan waliyullah itu ialah Gunung Jali. Di masa kini, tanah kehadirannya pertama kali tersebut bernama Bukit Tebon. Yaitu di Desa Tebon, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro.
Gambaran rupa muka bumi Bukit Tebon ini dataran tinggi. Berada tepat di tepi Sungai Bengawan Solo yang menjadi sempadan antara Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dengan Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Pustakawan Maktabah Fiddarinur, Ahmad Wahyu Rizki mengemukakan, ada beberapa literatur ilmiah yang menjadi bukti bahwa Bukit Tebon merupakan tempat Syekh Jumadil Kubro dalam mendakwahkan Islam.
“Dua bukti literatur itu merupakan karya Thomas Raffles dan Gus Dur (Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid),” kata Rizki kepada Suarabanyuurip.com, Rabu (27/03/2024).
Pria yang lahir pada 1989 ini menyebutkan, Thomas Raffles menulis Syekh Jumadil Kubro dengan kalimat “a devotee who had estabilished on Gunung Jali” atau agamawan yang menetap di Gunung Jali.
“Thomas Raffles menerangkan keberadaan Syekh Jumadil Kubro di Gunung Jali dalam catatannya yang kemudian menjadi buku ‘History of Java’ pada 1817,” ujarnya.
Sedangkan Gus Dur, dalam tulisannya menerangkan bahwa Syekh Jumadil Kubro merupakan agamawan Islam mula-mula di wilayah Jipang-Padangan yang termasuk Gunung Jali atau Bukit Tebon.
“Keterangan itu ditulis Gus Dur dalam catatannya yang menjadi buku ‘The Passing Over’ pada 1998,” jelasnya.
Berdasar pada dua keterangan itu, kiranya cukup sahih dikatakan Syekh Jumadil Kubro merupakan waliyullah yang purwa kala menetap di Bukit Tebon dan berdakwah Islam di wilayah setempat.
“Namun, paling menarik dari Syekh Jumadil Kubro di Bukit Tebon adalah proses dakwahnya. Sebab beliau berdakwah Islam di pusat agama Hindu-Budha,” ungkap pria yang juga menjadi tenaga pendidik ini.
Sejumlah bukti bahwa sekitar Bukit Tebon adalah pusat peradaban Hindu-Budha, dimaklumatkan dalam tiga prasasti. Pertama adalah Prasasti Pucangan (1041) ditulis era Kahuripan, Prasasti Maribong (1248) ditulis era Singasari, dan Prasasti Canggu (1358) ditulis era Majapahit.
“Syekh Jumadil Kubro berhasil menjalankan dakwahnya di pusat agama Hindu-Budha di Bukit Tebon dan sekitarnya itu, sehingga masyarakat dan agamawan Hindu-Budha setempat memeluk Islam,” tuturnya.
Kemudian dalam bukunya The Passing Over itu, Gus Dur menyoroti pula keberhasilan dakwah Syekh Jumadil Kubro di Bukit Tebon dan sekitarnya yang lekat dengan berperadaban Hindu-Budha itu.
Menurut Gus Dur, proses dakwah Mbah Jumadil Kubro mengedepankan sikap toleransi yang mana sangat menghindari persinggunggan. Unsur-unsur Hindu-Budha pun diakulturasikan secara Islam.
“Ritus sembahyang dalam Hindu-Budha diubah secara halus dan perlahan oleh Syekh Jumadil Kubro menjadi sembahyang Islam,” bebernya.
Mesigit atau Sigit sebagai tempat mulia atau sakral di Bukit Tebon yang digunakan masyarakat Hindu-Budha untuk sembahyang juga diubah menjadi tempat sujud (pasujudan) sembahyang Islam.
Sekarang, lokasi itu dikenal dengan Mesigit Tebon. Keberhasilan akulturasi agama di Bukit Tebon ini kemudian juga terjadi di pusat Jipang yang ada di seberang barat Bukit Tebon.
Yaitu di Desa Jipang, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Di desa Jipang itu ada Mesigit Jipang.
Secara kosmologis, lokasi Mesigit Jipang dan Mesigit Tebon ada di satu garis lurus. Dipisahkan oleh aliran Sungai Bengawan Solo yang membatasi Bojonegoro dan Blora.
Masih dalam bukunya The Passing Over, Gus Dur menyatakan kekagumannya atas keberhasilan Syekh Jumadil Kubro mengislamkan pusat peradaban Hindu-Budha di Jipang-Padangan.
Sebagai bentuk kekagumannya, Gus Dur menyebut wilayah Jipang-Padangan yang digalang oleh Syekh Jumadil Kubro itu sebagai purwarupa toleransi nusantara.
“Bermula dari Jipang-Padangan, Syekh Jumadil Kubro lalu berdakwah Islam di pedalaman Jawa sepanjang abad 14. Termasuk di pusat Majapahit,” lanjutnya.
Rizki menegaskan, dapat diterminologikan bahwa Mesigit Tebon dan Mesigit Jipang sebagai dua “stasiun” masuknya Islam ke pedalaman-pedalaman Jawa oleh Syekh Jumadil Kubro melalui Bengawan Solo.
Adapun selain dibuktikan oleh literatur ilmiah, keberadaan atau eksistensi Mesigit Tebon dan Mesigit Jipang juga disangga dengan bukti-bukti arkeologis. Antara lain ditemukan beberapa batu bata kuno, serpihan antefiks kalpataru dan karupadhani, hingga keramik era Dinasti Ming.
Segendang seirama, Peneliti Blora-Bojonegoro Geohistorical Science Tulusno Budi Santoso mencetuskan hal yang sama. Kendati tak banyak, peninggalan arkeologis di Mesigit Tebon dan Mesigit Jipang memang ada.
Namun, bukti-bukti lebih terang menyatakan bahwa Gunung Jali atau Bukit Tebon atau Mesigit Tebon merupakan lokasi peradaban Hindu-Budha-Islam sudah kecil kemungkinan ditemukan.
“Sebab, sebagian besar kawasan itu telah dieksploitasi secara masif dalam rangka pertambangan pasir dan batu,” cetus pria akrab disapa Tulus Adharma ini.
Terutama tentang keberadaan Syekh Jumadil Kubro di Bukit Tebon, secara samar masih melekat di masyarakat setempat. Mengingat, Mesigit Tebon juga disebut sebagai Makam Mbah Jimat.
“Nama Jimat ini sangat mungkin hasil degradasi linguistik dari nama Jumadil, yang tak lain adalah Syekh Jumadil Kubro,” tandas pria muda yang juga jurnalis itu.(Arifin Jauhari)