Menteri Hukum Keluarkan Paten untuk Teknologi Reklamasi Sistem Tanam Alur 

TUMBUH BERKEMBANG: Penerapan teknologi reklamasi Sistem Tanam Alur di lahan bekas tambang batu kapur PT Semen Indonesia (SIG) di Tuban. Tanaman di lahan ini pertumbuhannya normal tak ada yang mati. (SuaraBanyuurip.com/tbu)

SuaraBanyuurip.com – Teguh Budi Utomo

Tuban – Kementrian Hukum (Kemenkum) Republik Indonesia mengeluarkan Sertifikat Paten untuk teknologi reklamasi pasca tambang batu kapur kepada inventor, Ir Mudjito, asal Dusun Kuthi, Desa Bogorejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Jatim. Sertifikat hak paten dari invasi berlabel “Sistem Tanam Alur Sebagai Fungsi Efisiensi Keterbatasan Top Soil Hasil Pengupasan Guna Reklamasi Lahan Pasca Tambang Batu Kapur” itu, keluar setelah Kemenkum melakukan uji empiris sejak menerima pengajuan pada 22 Januari 2020 lalu.

Keluarnya Sertifikat Paten untuk teknologi reklamasi terbaru temuan Ir Mudjito pada 06 Maret 2025 tersebut, menjadi bukti jika sistem itu bisa diterapkan di lahan pasca tambang batu kapur dengan top soil sangat terbatas. Selain bisa menekan biaya reklamasi konvensional sekitar 70  persen, Sistem Tanam Alur juga mampu menjamin indeks hidup tanaman hingga mendekati 100 persen, dan mampu menghindari dampak penting dari proses reklamasi pasca tambang batu kapur.

“Teknologi reklamasi ini untuk menghutankan kembali lahan pasca tambang dengan efisiensi tinggi bagi industri yang bergerak di bidang tambang,” kata Ir Mudjito saat mengonfirmasi keluarga Sertifikat Paten untuk temuannya, Senin (12/05/2025).

Menurut praktisi riset lingkungan, pertambangan, dan kehutanan ini, inovasi temuannya merupakan terobosan disaat industri berbahan baku tambang dianggap tak memberi solusi bagi pengembalian hutan. Teknologi Sistem Tanam Alur ini memiliki sifat mengendalikan erosi di bekas tambang, dan mengendalikan run off di musim hujan.

Sebelum Sistem Tanam Alur ditemukan, reklamasi konvensional mengacu pada UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 41 tahun tahun 1999 tentang Kehutanan, PP 27 tahun 1999 tentang Amdal, PP 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan, hingga PP 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang berkonsideran pada UU 3 tahun 2020 tentang perubahan atas UU 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Jika regulasi tersebut diterapkan, bisa dipastikan akan menimbulkan Dampak Penting, artinya bila diterapkan akan melahirkan persoalan baru.

SERTIFIKAT PATEN : Kemenkum mengeluarkan Sertifikat Paten untuk teknologi reklamasi dengan label, Sistem Tanam Alur Sebagai Fungsi Efisiensi Keterbatasan Top Soil Hasil Pengupasan Guna Reklamasi Lahan Pasca Tambang Batu Kapur, temuan Ir Mudjito. (SuaraBanyuurip.com/tbu)

Secara umum penerapan aturan hukum tersebut dengan cara meratakan tanah di atas lahan pasca tambang setebal 50 Cm, dalam satu hektar (1 Ha) dibutuhkan tanah sebanyak 5.000 M3. Sedangkan tambang batu kapur rata-rata memiliki top soil maksimal setebal 15 Cm (setara 1.500 M3). Untuk bisa melaksanakan regulasi tersebut, butuh tambahan top soil sebanyak 35 Cm (setara 3.500 M3), agar bisa memenuhi 5.000 M3. Industri tambang akan mencari tanah, atau membebaskan lahan tanah lagi untuk memenuhi kekurangan top soil (3.500 M3). Tak sedikit dari tambang batu kapur di Indonesia tak memiliki top soil, alias top soil nol (0) Cm.

“Munculnya persoalan baru dengan mencari tambahan tanah, untuk reklamasi dengan cara konvensional itulah yang disebut dampak penting,” papar Mudjito.

Pelaku industri tambang akan kesulitan melakukannya lantaran akan mengeluarkan biaya lagi untuk membebaskan tanah. Sedangkan jika dikalkulasi biaya yang harus dikeluarkan untuk reklmasi pasca tambang batu kapur dengan teknologi konvensional, sesuai regulasi di atas, nilainya sekitar Rp240 juta per Ha. Dana jaminan kegiatan pasca tambang, termasuk untuk reklamasi, yang dibayarkan sebelum Ijin Usaha Pertambangan (IUP) maupun IUPK keluar, jumlahnya tak tak cukup.

“Kalau reklamasinya menggunakan Sistem Tanam Alur biayanya tak sampai 100 juta,” kata Mudjito seraya merinci, dengan menerapkan teknologi temuannya, sesuai yang telah dilakukan di tambang batu kapur PT Semen Indonesia di Tuban, cukup dengan biaya berkisar Rp70 juta hingga Rp80 juta per Ha.

Pada bagian lain, bapak tiga putra ini menambahkan, teknik meratakan tanah dalam teknologi konvensional rentan terjadi erosi akibat munculnya run off (aliran air dari hujan). Selain itu pertumbuhan tanaman di atas lahan pasca tambang tidak normal. Bisa dipastikan, sekalipun menerapkan regulasi reklamasi sesuai undang-undang di atas, reklamasi akan gagal, dan justru menimbulkan problema lingkungan baru akibat erosi di saat musim hujan.

“Reklamasi di lahan pasca tambang batu kapur sangat dipengaruhi oleh ketebalan top soil, dan Sistem Tanam Alur menjawab persoalan itu,” tegas mantan pejabat Eselon II di Pemkab Tuban itu serius.

Sistem ini mulai tahun 2020 telah diterapkan di lahan pasca tambang batu kapur milik PT Semen Indonesia pabrik Tuban sekitar 30 Ha. Bisa dipastikan indeks hidup tanaman mendekati 100 persen, dengan jumlah batang tanaman berupa jati, mahoni, dan tanaman buah melebihi batas yang ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan sebanyak 625 batang per Ha.

“Teknologi reklamasi bersifat tidak limitative, dan Sistem Tanam Alur merupakan alternatif dari teknologi untuk menghutankan kembali lahan pasca tambang,” kata penemu teknologi reklamasi terbaru Sistem Tanam Alur, Ir Mudjito. (SuaraBanyuurip.com/tbu)

Teknologi reklamasi Sistem Tanam Alur, Mudjito menyebut, Teknologi Reklamasi Tanam Alur At.ts.n, secara garis besar merupakan kombinasi lebar alur “L”, dan kedalaman alur “T” dengan skala meter (M), sehingga terumus L.T (L.t). Sistem ini melahirkan tiga kombinasi, Yakni, Lebar (L) 1 meter dan kedalaman (t) 1 meter terumus dengan L1 m.t1 m;  Lebar 1 meter dan kedalaman 0,8 meter dengan L1 m.t0,8 m; dan Lebar 1 meter dan kedalaman 0,6 meter dengan rumus L1 m.t0,6 m. Masing-masing kombinasi L dan t (L.t) terdapat panjang alur, dan jumlah panjang/kelompok jumlah alur.

Perlakuan tersebut, menurut pria yang merintis karir PNS sebagai Petugas Pertanian Lapangan (PPL) itu, akan menghasilkan empat varian jumlah alur, yakni 25 alur, 20, 17, dan 15 alur (25 – 20 – 17 – 15) dalam 1 Ha. Disana juga memunculkan empat jarak antar alur, mulai 4 meter, 5 meter, 6 meter, dan 7 meter (4 – 5 – 6 – 7). Ragam jarak antar alur ini dipengaruhi oleh varian jumlah alur, semakin banyak jumlah alur akan diikuti dengan sedikitnya jarak antar alur. Konsep ini nantinya akan berpengaruh terhadap jumlah batang tanaman tahunan yang ditanam, sedikit banyaknya volume kebutuhan top soil, dan tentunya sejumlah tingkat efisiensi reklamasi lainnya.

“Varian alur dalam teknologi reklamasi ini, memberikan 12 pilihan atas fungsi efisiensi dan keterbatasan top soil di lahan pasca tambang,” urai peneliti yang memulai eksperimen teknologi temuannya sejak tahun 2002 itu.

Dalam penelitiannya ditemukan rumusan teknologi, dan tabel yang bisa dijadikan panduan reklamasi. Dia contohkan satu perlakuan dari sistem tanam alur, dalam hitungan 1 Ha lahan pasca tambang, masing-masing kombinasi (L.t) terdiri dari 4 jumlah alur (25 – 20 – 17 – 15), 4 jarak antar alur dalam ukuran meter (4 – 5 – 6 – 7), jumlah batang tanaman (1.250 – 1.000 – 850 – 750), dan jarak tanaman dalam alur 2 meter.

Untuk perlakuan (L1 m.t1 m) volume top soil yang dibutuhkan dengan hitungan meter kubik (m3) sebagai berikut: (2.450 – 1.960 – 1.666 – 1.470). Perlakuan (L1 m.t0,8 m) kebutuhan top soilnya (1.960 – 1.568 – 1.332 – 1.176). Sedangkan untuk (L1 m.t0,6 m) top soil yang dibutuhkan (1.470 – 1.176 – 999,6 – 882). (tbu)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com