Pekan Buku Kampung Ilmu, Dorong Minat Baca dan Menulis

Bedah buku

SuaraBanyuurip.com – Samian Sasongko 

Bojonegoro – Yayasan Kampung Ilmu Bojonegoro (YKIB) menggelar acara Pekan Buku Kampung Ilmu 2018 di Rumah Belajar, Gang Kampung Ilmu, Desa/Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, selama dua hari yakni Sabtu dan Minggu, 28-29 April 2018. 

Pada hari pertama, digelar bazar buku, bedah buku Bodjonegoro Tempo Doeloe, dan pemutaran film tentang perjuangan Jenderal Sudirman. Kemudian, pada Minggu dilanjutkan dengan lomba menulis, lomba mewarnai, dan lomba bercerita yang diikuti 300 peserta. Selain itu, ada donasi buku untuk anak-anak di pedesan. 

Di acara bedah buku, Nanang Fahrudin bersama M Tohir, penulis buku Bodjonegoro Tempo Doeloe, berbagi cerita dan pengalaman tentang pembuatan dan penyusunan buku setebal 103 halaman tersebut. Beberapa penulis seperti Atho R.M Sasmito, M Ahmad Yakub, Mohammad Tohir, Nanang Fahrudin, dan Wahyu Rizkiawan, bercerita tentang sisi-sisi kehidupan masyarakat Bojonegoro tempo dulu. 

Nanang Fahrudin misalnya bercerita tentang logo Kabupaten Bojonegoro yang dulunya bergambar jati dan tembakau lalu berubah menjadi padi dan kapas. Ia juga menulis tentang blandongdiensten, yakni sistem pengolahan hasil hutan pada masa Belanda. 

Baca Juga :   Pertamina EP Cepu Bersama SKK Migas Fasilitasi Program Pendidikan Kejar Paket

Sedangkan M Ahmad Yakub bercerita tentang rokok Oelong yang menjadi legenda dan bertahan hingga kini. Ia juga bercerita tentang awal mula penyebaran agama Islam di Bojonegoro dari situs Mbah Menak Anggrung di Padangan. 

Nanang, sapaan Nanang Fahrudin, mengungkapkan, buku Bodjonegoro Tempo Doeloe ini bukanlah sejarah lengkap mengenai Bojonegoro, melainkan menceritakan sisi-sisi kehidupan masyarakat Bojonegoro pada masa lalu.

“Ada banyak cerita menarik kehidupan masyarakat Bojonegoro pada masa lalu yang disuguhkan di buku ini. Misalnya tentang bioskop di Bojonegoro itu dulu ada enam, tersebar di beberapa titik Kota Bojonegoro. Tapi seiring waktu banyak yang tutup,” ujarnya. 

Ia juga bercerita tentang blandongdiensten. Pada masa Belanda dulu, kata dia, blandong itu adalah para buruh yang bekerja mengolah kayu jati di hutan secara legal. Mereka dibayar tetapi sangat minim. Sehingga, kata dia, kehidupan mereka dan keluarganya juga tetap miskin. 

“Namun sekarang blandong itu identik dengan hal negatif yaitu pencuri kayu di hutan, padahal dulunya kan enggak begitu,” ujarnya. 

Bedah buku iberlangsung seru. Peserta bedah buku banyak yang bertanya dan berbagi pengalaman mengenai kehidupan masyarakat Bojonegoro masa lalu. Miftahul Huda, salah satu peserta bedah buku, misalnya menceritakan bagaimana masyarakat di tepi Bengawan Solo dulu banyak yang membuat tempat untuk mandi, mencuci, dan lainnya yang disebut bilek. 

Baca Juga :   SMKN Purwosari Bojonegoro Penuhi Pagu PPDB 2023

“Namun sekarang tempat yang disebut bilek itu sudah jarang, bahkan sudah tidak ada,” ujarnya. 

Nanang Fahrudin di akhir bedah buku berpesan agar para pelajar, mahasiswa, dan pegiat literasi agar bersemangat menuliskan cerita dan sejarah masyarakat di kampung atau daerahnya.

“Meski itu dianggap sepele tetapi sejarah lokal Bojonegoro itu perlu direkam melalui tulisan,” ucapnya.

Menurut Min Qurin Amaliya, Ketua Panitia Pekan Buku Kampung Ilmu 2018, berbagai rangkaian mulai bedah buku, bazar buku, lomba menulis, ini bertujuan untuk mendorong minat baca dan menulis bagi pelajar dan masyarakat di Bojonegoro. 

“Pekan Buku Kampung Ilmu ini merupakan tradisi tahunan yang kita selenggarakan untuk mendorong minat baca dan menulis bagi masyarakat Bojonegoro,” ujarnya. (sam)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *