Perlukah Menulis Bodjonegoro Tempo Doeloe Jilid 2?

23767

                  Oleh : Nanang Fahrudin 

 Pada awalnya, draf buku Bodjonegoro Tempo Doeloe (yang kemudian terbit tahun 2018) hanyalah beberapa tulisan saya tentang Kabupaten Bojonegoro di masa lampau. Tidak ada tema khusus. Ada Blandongdeinsten tentang eksploitasi hutan jati yang menyesengsarakan masyarakat pinggiran hutan. Juga ada tentang agresi Belanda kedua tahun 1949. Tulisan-tulisan itu pun sebelumnya sudah saya unggah di website gangkecil.com. Tidak ada yang baru. 

Tapi, dasar saya orang yang terlalu suka kertas, maka terbersit keinginan untuk mencetaknya. Dan ini bukan kali pertama. Sebelumnya, tulisan-tulisan di gangkecil.com juga pernah saya cetak, saya layout sendiri sampulnya, saya edarkan secara gratis. Di halaman kedua, saya kasih keterangan ‘untuk mereka yang mencintai aroma kertas’.  Jadi, tidak ada pembeda antara tulisan di website dan versi cetak. Kecuali hanya ‘aroma kertasnya’ saja.

Dalam perjalanan layout, saya banyak mendapat masukan dari kiri-kanan. Kenapa tidak dibukukan saja dan dijual? Saya berhenti nglayout. Berpikir. Lalu, menimbang-nimbang apa pantas tulisan-tulisan ini dijadikan buku dan dijual? Karena rencana awal, tulisan-tulisan itu hanya diubah rupa menjadi kertas. Tak lebih.

Baca Juga :   Konsep Pengerjaan Projek Pemerintah Menurut Islam

Namun akhirnya saya putuskan untuk menerima masukan itu. Menjadikannya buku dan dijual. Tapi saya mbatin, ini harus ditambahi tulisan-tulisan tema lain agar penuh warna. Akhirnya ada tulisan tentang rokok Oeloeng, minyak tua Wonocolo, bioskop, kerupuk klenteng dan lainnya. Selain itu juga saya tambahi klipingan koran tahun 1950 an tentang berbagai berita Bojonegoro masa itu.  Dan jadilah buku Bodjonegoro Tempo Doeloe yang sebagaimana sudah beredar. Sampul saya ganti yang lebih keren. Karya Muhamad Tohir. Buku saya cetak awal 300 eksemplar dengan harga jual Rp 40.000. Beberapa bulan kemudian buku itu dicetak lagi 300 eksemplar.

Setelah 2 tahun berlalu, ternyata masih ada saja yang mencari buku itu. Buku yang masih jauh dari lengkap. Alih-alih lengkap, buku itu hanya serupa batu bata kecil dari bangunan sejarah Bojonegoro yang menjulang tinggi.  Lalu, apakah perlu menulis Bodjonegoro Tempo Doeloe jilid 2?

Tentu ada keinginan kami melanjutkan buku tersebut, apalagi ‘buku pertama’, masih banyak kekurangan. Akan tetapi menerbitkan buku sejarah (minimal buku cerita masa lampau) tidaklah mudah. Saya sebenarnya sudah beberapa kali menulis sejarah lokal dengan tema-tema lain. Tapi, tetap saja merasa belum pantas untuk diterbitkan menjadi buku.

Baca Juga :   Mengenang Pejuang Warga Blok Cepu

Misalnya, tentang Sosrodilogo, tembakau Bojonegoro, serta tempat-tempat bersejarah di Bojonegoro. Akan tetapi, menerbitkan buku lokal sudah menjadi kominten saya dan teman-teman di penerbit Nuntera. Sehingga apapun rupa nanti, buku akan diterbitkan, entah akan dinamai sebagai Bodjonegoro Tempo Doeloe jilid 2 atau judul lain. Nah, kalau menurut anda bagaimana? 

Nanang Fahrudin, Penulis buku Bodjonegoro Tempo Doeloe


» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *