Catatan: Rakai Pamanahan
Sedumuk bathuk senyari bumi, tohi pati.
BISA jadi ungkapan orang Jawa ini sarat filosofi terkait keberadaan tanah. Tanah bagi sebagian besar orang Jawa adalah pusaka. Disebut pusaka karena disana ada keyakinan, jika sebidang tanah merupakan warisan leluhur yang patut dipertahankan. Jika perlu dipertahankan sampai mati.
Fenomena pusaka tersebut kian menghegemoni masyarakat Jawa dari pranata sosial apapun. Penyebutan pusaka atas tanah tersebut karena di dalamnya, baik secara harafiah maupun historiah, tanah diperoleh oleh leluhurnya dengan cara tak mudah. Disana tersirat muatan religi, pula terdapat unsur kultural, bahkan magis, sehingga tanah bisa ditempati turun temurun.
Seiring perkembangannya zaman muncul pemerintah dengan berbagai regulasinya. Penguasaan tanah bisa dilakukan oleh pemerintah berdasar aturan hukum yang telah disepakati. Cengkraman hukum di satu negara memang tak pandang bulu. Siapapun yang masih hidup dan berpijak di atas bumi, musti menjunjung tinggi aturan hukum tersebut.
Buntutnya berpijak pada aturan hukum tersebut, pemerintah  bisa menguasai tanah rakyat untuk kepentingan negara. Di lain sisi negara menggunakan hak penguasaan atas tanah tersebut juga untuk kepentingan rakyat.
Disini rakyat dipaksa untuk menyerahkan tanahnya, tentunya dengan aturan main ganti rugi atau ganti untung, untuk kepentingan pembangunan. Jargon pembangunan ini pula yang banyak melatarbelakangi lepasnya hak milik rakyat atas tanah.
Demikian pula ketika proyek minyak, dan gas bumi (Migas) diusung pemerintah ke Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Tuban, Jawa Timur, dan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Dalam peta geologi yang dipegang pemerintah, rakyat tak pernah diberi sosialiasi tentang peta ini, di perut bumi tiga wilayah geografis daerah tersebut, terdapat kandungan Migas.Â
Disana pula terdapat tiga blok geologis yang disebut Balok Cepu, Blok Gundih, dan Blok Tuban. Di wilayah Segitiga Emas ini pula yang saat ini terjadi eksplorasi, dan eksploitasi dengan target memuntahkan kandungan Migas-nya untuk kepentingan negara. Perhelatan dengan teknologi tinggi itu sekarang sudah berlangsung di sana.
Hiruk pikuk teknologi pemboran Migas di wilayah segitiga tadi, menjadi awal sejarah di tiga daerah itu. Warga yang telah turun temurun hidup ayem tentrem ning desane dibangunkan oleh keheranan. Mereka yang mayoritas berprofesi sebagai petani di atas lahan warisan leluhurnya, dipaksa kehilangan hak atas tanah yang selama ini menjadi gantungan hidupnya. Sekalipun tanah yang selama ini mereka senggamai berkarakter tadah hujan, atau lahan kering di tepi hutan jati Perhutani.
Dalam proses panjang, satu demi satu bidang tanah rakyat terbebaskan. Kesadaran rakyat tentang ketaatan kepada program pembangunan dari pemerintah, kian memudahkan proses pembebasan tanah di sana. Apalagi gembar gembor vitalnya kebutuhan energi dari Migas menjadi kudapan rakyat sehari-hari, sebelum tiba-tiba datang spekulan tanah di desanya.  Â
Kini yang menjadi problem besar adalah warga yang terampas lahannya. Mereka tak memiliki lahan untuk meneruskan pekerjaan sebagai petani. Padahal hanya profesi itu yang selama ini mereka bisa. Sedangkan uang hasil penjualan tanah pun tak semuanya bisa dipakai membeli tanah lagi di desanya.
Pada kondisi demikian warga butuh perlindungan dari pemerintah. Paling tidak pemerintah diharap memiliki kearifan terhadap kelangsungan hidup mereka yang telah terampas profesinya. Alih-alih dijanjikan bekerja di sektor migas pun tak bisa mereka renggut. Keterbatasan pendidikan formal, menjadikan mereka tersisih dari pertarungan di bursa kerja.Â
Mereka juga tak pernah paham secara detail tentang program Corporate Social Responsibility  (CSR). Program sosial yang menjadi kewajiban operator, dan kontraktor migas di tiga blok geologis itu, harusnya mengarahkan, dan menyiapkan warga, terutama pemilik tanah yang dibebaskan. Menyiapkan mereka untuk alih profesi, dari sektor agraris ke sektor lain yang lebih menjamin harkat kehidupannya.
Disini butuh strategi, keuletan, dan kerja profesional agar mereka tak terpuruk setelah merelakan tanahnya dibebaskan. Apabila kondisi mereka diabaikan, sama halnya membiarkan mereka meratapi sawah ladangnya yang terampas, dan membiarkan mereka menggali lubang kubur untuk jasad mereka sendiri. (*)