Derita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah

JOB PPEJ

Oleh : M Edi C Skom. *)

TAK jauh dari sentra eksploitasi minyak lapangan Mudi, Blok Tuban wilayah operator Joint Operating Body Pertamina PetroChina East Java (JOB PPEJ) di Desa Rahayu, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, Jawa Timur kemiskinan masih terlihat. Kontradiksi dengan gemerlapnya proyek Migas yang sarat kemakmuran. Apalagi bagi para pekerjanya.

Di sebelah utara proyek migas Mudi sekitar 400-an meter, masih di Desa Rahayu, hiduplah keluarga Jamiin (50) selama bertahun-tahun. Keluarga itu hidup jauh sebelum perusahaan-perusahaan Migas beroperasi di daerah tempat tinggalnya.

Buruh tani ini beserta istrinya, Lamisah (45), harus membanting tulang untuk menghidupi tiga orang anaknya yang masih kecil. Pria berumur ini harus memeras keringat setiap hari demi mencari sesuap nasi. Terkadang bekerja di rumah orang kaya di desanya, dan terkadang ketika tidak ada kerjaan di desanya mengayuh becak di kota Bojonegoro, atau Tuban.  

“Kalau tidak ada buruhan di desa ya mbecak di kota,” ungkap Jamiin.

Begitupun dengan istrinya Lamisah (45), diusianya yang sudah berumur pula, tak mampu lagi bekerja kasar layaknya wanita desa. Dia akhirnya menjadi buruh di pengusaha kepang. Setiap hari harus menyelesaikan rajutan-rajutan bambu untuk dianyam menjadi kepang (anyaman bambu) milik juragannya.

Walau demikian hasil kerjanya tidaklah cukup untuk menghidupi keluarganya. Ditambah lagi dengan mahalnya bahan makanan, dan kayu bakar untuk memasak sehari-hari.

“Kerjanya ya kayak gini, Mas. Merajut besek atau kepang, itupun hasilnya tidak sesuai kalau digunakan keperluan sehari-hari,” ungkap ibu tiga anak ini.

Muslikin (22), sebagai anak pertama tentu memahami betapa susah dan parahnya kehidupan ekonomi keluarganya. Jangankan untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tidaklah cukup. Akhirnya pemuda ini putus sekolah.

Semenjak SMP itulah dia mulai berhadapan dengan kerasnya dunia kerja. Dia tak punya harapan di bidang pendidikan, berbeda dengan teman-teman sebayanya. Membanting tulang untuk membantu orangtuanya, untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dan menyekolahkan ke dua adiknya. Kedua adiknya, Sepiana Nur A (10), bocah imut yang masih duduk di bangku SD, dan Nur Arianti(6),  duduk di bangku TK.

“Tak ada biaya untuk sekolah, jadi ya kerja bantu-bantu orangtua,” kata Muslikin.

Pernahkah terbesit dalam benak kita?

Mengapa ini bisa terjadi di daerah dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility) terbesar yakni Rp694.000.000 per tahun (Dokumen FITRA, Dana CSR yang diterima Ring satu tahun 2011). Dimana “nurani” perusahaan dalam hal ini JOB PPEJ yang telah beroperasi selama berpuluh-puluh tahun di daerah tersebut. Bukankah mereka telah mengeruk jutaan barel minyak di ladang rakyat pribumi?

Jika melihat fenomena ini, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap ini semua. Dimanakah implementasi dan pengamalan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 yang merupakan amanat langsung dari UU No. 40 th 2007. Bukankah telah tertuang jelas amanah dan tanggung jawab perusahaan terhadap kondisi lingkungan dan sosial masyarakat sekitar?

Padahal ketika ada dampak dan limbah perusahaan, warga Ring I yang terkena imbas secara langsung. Sebagai contoh misalnya, diakui atau tidak penyebab panasnya daerah sekitar JOB-PPEJ adalah karena imbas dari pengelolaan Flare oleh perusahaan.

Zaman dulu sebelum perusahaan datang dan beroperasi, lingkungan sekitar masih tampak sejuk dan asri. Tidak seperti sekarang yang panas, apalagi musim kemarau telah tiba.  

Belum lagi suara bising yang disebabkan oleh mesin compressor perusahaan yang sangat mengganggu, seakan membuat telinga menjadi buntu. Siapa yang sabar dan kuat menahan suara begitu besarnya dalam waktu 24 jam nonstop selama bertahun-tahun..

Paling tidak dari fenomena ini, perusahaan dapat mengambil langkah-langkah kebijakan strategis untuk mengentas dan menanggulangi kasus yang serupa. Agar tidak marak dan semakin bertambah banyak. Langkah-langkah tersebut antara lain:

Pertama, perusahaan sebisa mungkin melakukan kontrol secara langsung ke bawah terhadap dana yang diberikan kepada pemangku jabatan di wilayah desa. Perusahaan dalam hal ini memastikan, apakah dana yang diberikan benar-benar telah tepat sasaran, atau malah nyasar.

Kedua, perusahaan setidaknya membuat kebijakan yakni pendampingan kepada komite desa terdampak (Ring I), untuk  mengelola dan mengatur dana CSR agar sesuai dengan amanat undang-undang. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa pihak perusahaan dan pihak desa (komite) dapat menggunakan keseluruhan dana tersebut dengan baik dan benar.

Ketiga, perusahaan dapat melakukan realokasi jumlah anggaran dana pada masing-masing pos anggaran. Anggaran yang kurang dibutuhkan pada satu sektor misalnya, dapat dialokasikan ke sektor lainnya.

Misalnya dana untuk sektor pembangunan infrastruktur dalam hal ini Desa Rahayu sebesar Rp400.000.000 per tahun dapat dipotong 60 persen menjadi Rp160.000.000, dan ditambahkan ke sektor pemberdayaan ekonomi yang dulunya Rp75.000.000 per tahun menjadi Rp315.000.000 per tahun. Ini jauh lebih efektif dan bernilai guna untuk kondisi saat ini.

Begitu juga untuk sektor-sektor lainnya. Artinya jumlah alokasi dana disetiap sektor atau pos tersebut bersifat fluktuatif sesuai dengan tingkat kebutuhan warga masyarakat pada saat itu. Bisa jadi dana alokasi untuk pos atausektor ekonomi pada tahun ini lebih besar daripada sektor dan pos lainnya. Atau berlaku sebaliknya untuk tahun-tahun selanjutnya. Sehingga sangat dibutuhkan peran perusahaan untuk bertindak proaktif, dan concern terhadap masalah ini.

Keempa­t, perusahaan dapat melakukan renumerasi jumlah dana CSR. Kebijakan ini tentu dilakukan berdasarkan survei di lapangan. Bisa jadi terjadi penambahan atau pengurangan dana CSR, sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Seperti halnya di tahun 2011, dana CSR JOB-PPEJ di Kabupaten Tuban naik dari Rp4.528.624.072 menjadi Rp7.297.717.000  (File Materi Group Discussion CSR Migas Tuban, 2012).

Akhirnya, semoga empat hal tersebut menjadi pertimbangan perusahaan. Secuil kisah keluarga Jamiin tersebut menjadi perhatian kita semua, termasuk Perusahaan yang beroperasi di desanya.

Yang jelas sebagai warga yang merasa prihatin dan peduli dengan fenomena ini, tidak boleh diam dan harus kritis serta solutif.  Menyampaikan kondisi yang terjadi di lapangan dengan apa adanya, tanpa tendensi dan iming-iming suatu apapun. Karena ini menyangkut hak rakyat yang “tertindas” di tengah proyek migas yang melimpah ruah. Salam.

*) Penulis adalah Anggota Karang Taruna Desa Sumurcinde, Soko-Tuban, dan praktisi dan pemerhati lingkungan. Bisa dikomunikasi di: [email protected].

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *