Ironi DBH Migas Blok Cepu

tanah dipatok

Catatan : Rakai Pamanahan.

PENGARUH Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor Migas sangat besar bagi perkembangan daerah. Jika hasil eksploitasi atas lapangan Migas di satu daerah besar, akan diikuti dnegan raihan DBH yang besar pula. Inilah yang memantik kecemburuan dari daerah yang tidak memiliki sumur Migas.

Acuan yang saat ini dipakai pemerintah dalam membagi DBH adalah Undang-Undang 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Konstitusi ini diikuti dengan PP 55 tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan.

Sayangnya regulasi tersebut dipandang tak menguntungkan sejumlah daerah. Itu terjadi karena hanya daerah yang masuk dalam satu provinsi yang bisa mendapatkan bagian DBH. Sementara daerah (kabupaten/kota) yang tidak dalam satu wilayah provinsi, sekalipun berada dalam wilayah blok geologis Migas tidak mendapatkannya.

Kasus ini menimpa Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sekalipun Blora berada dalam satu wilayah Blok Cepu, namun tak mendapatkan DBH Migas dari Blok Cepu. Padahal, Blora merupakan lokasi terdekat dari Blok Cepu bersama Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sedangkan mulut sumur Migas Banyuurip, Blok Cepu berada di wilayah Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, Bojonegoro.

Blora dengan Cepu (salah satu Kecamatan di Blora) yang sejak jaman kolonial Belanda telah dikenal sebagai kota minyak, tak bisa berbuat apa-apa. Meminta-minta Jakarta pun tak diberi DBH, karena regulasi DBH tak mengamanatkan kedekatan daerah dari tapak sumur Migas. Sekalipun warga Blora, merupakan masyarakat terdampak dari beroperasinya ladang Migas Blok Cepu tersebut.

Pemerintah pusat juga tetap pada sikap, bahwa pemberian DBH memperhitungkan mulut sumur. Selain itu sesuai konstitusi UU 33/2004, Blora dinyatakan tidak menerima DBH Migas Blok Cepu karena tidak termasuk kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Timur. Inilah ironi Migas yang harus diterima oleh Kabupaten Blora.

Pranata aturan itu bisa berubah, jika warga Blora mengajukan uji materi dari sejumlah pasar dari UU 33 ke Makamah Konstitusi (MK). Itu pun jika majelis hakim MK mengabulkan permohonan tersebut. Langkah ini dipandang lebih elegan daripada harus beramai-ramai melakukan aksi unjuk rasa, seperti yang dilakukan para aktivis Blora ketika ada kunjungan Wakil Menteri ESDM di wilayahnya beberapa bulan lalu.

Memang DBH merupakan dana yang sangat menggiurkan. Dana ini tak ubahnya berkah yang turun dari langit. Tanpa mengeluarkan biaya apapun DBH langsung masuk ke kas daerah.

Kendati begitu daerah penerima DBH bukan serta merta bisa berpesta pora. Daerah harus membuat strategi yang jitu, agar setelah era Migas berakhir bisa lebih siap. Apalagi industri Migas bersifat mengeksploitasi sumber daya alam yang tak bisa digantikan.

Jika operator maupun kontraktornya gagal dalam menyiapkan warga sekitar tambang, pemerintah daerah bisa menggunakan dana DBH untuk program pemberdayaan masyarakat kepada mereka. Pertimbangannya warga sekitar ladang Migas itu pula yang terdampak langsung dari keberadaan industri berbasis teknologi tinggi tersebut.

Bisa jadi pertimbangan dampak sosial, dan ekonomi yang diterima daerah penghasil itu pula yang menjadi ruh dari UU bagi hasil. Sekalipun ada yang terlepas, yakni rasa keadilan ternyata tak diterima daerah tetangga yang berdekatan, atau masuk dalam wilayah blok geologi. Ini yang harus menjadi pertimbangan serius pemerintah pusat, untuk merubah diri dengan menginisiasi revisi undang-undang bagi hasil. (*)

[email protected]

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *