Cerita Bandar Solar Yang Gulung Tikar

SuaraBanyuurip.com - Totok Martono

Lamongan – Masa kejayaan sebagai penyuplai bahan bakar minyak (BBM) jenis solar pernah dilakoni Hj.Umi Mufarokah (38). Kala itu ditahun 2000-2007 dirinya menjadi salah satu penyuplai kebutuhan solar bagi belasan nelayan di Pelabuhan Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Namun roda nasib tak selalu membuatnya berada diatas. Persaingan yang cukup ketat sesama Bandar (sebutan pemasok solar untuk nelayan) dan banyaknya pemilik kapal yang nakalan, membuat usahanya kolaps.

“Bisnis bandar solar memang tidak bisa langgeng. Pelaku bisnis ini juga muncul tenggelam. Yang bangkrut diganti pemain baru yang memiliki modal lebih besar,” kata Hj. Umi ditemui suarabanyuurip.com di kediamannya di Desa Blimbing, Kecamatan Paciran, Selasa (4/3/2014).

Bandar sendiri merupakan pemasok solar untuk kebutuhan melaut kapal nelayan. Pekerjaan itu muncul dimana para nelayan enggan membeli solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) atau SPDN yang harus membayar dengan uang tunai. Namun melalui Bandar, para nelayan bisa mendapatkan solar dan kebutuhan lainnya selama melaut seperti es batu, bakan pakan dan peralatan menangkap ikan dengan cara hutang dulu dan dibayar sepulang dari miyang (menangkap ikan dilaut).

Umi mengaku, meski hanya khusus melayani kebutuhan solar kapal nelayan, namun modal yang harus disediakan mencapai ratusan juta rupiah.

“Bayangkan, untuk satu kapal minimal pasokan solarnya 10 drum. Saat itu sebelum harga solar mahal, harganya Rp1 juta per drum. Untuk satu kapal 10 drum berarti nilainya Rp 10 juta,” ujar Umi, menjelaskan.

Dengan modal besar dan banyaknya pelanggan, keuntungan yang diterima Umi juga menggiurkan. Sepulang dari melaut yang biasanya sekitar 13-15 hari, pemilik kapal langsung membayar uang solar kepadanya. Untuk persatu drum solar dirinya mendapatkan keuntungan Rp100 ribu.

Dari hasil keuntungan yang melimpah, Umi melebarkan sayap bisnisnya dengan menjadi Bandar kapal gendong. Kapal gendong sendiri adalah pemilik kapal atau nelayan yang melaut tapi tidak menangkap ikan melainkan membeli ikan (kulakkan) ke pelabuhan yang harga ikannya lebih murah seperti di Madura dan Kalimantan. Hasil kulakkan kemudian dijual kembali dipelabuhan brondong atau paciran.

Selain menjadi pemodal dari kapal gendong, Umi juga menjadi pemasok minyak tanah yang dijualnya dipasar blimbing. Untuk bisnis minyak tanah dirinya mampu memasok 3 tangki (kapasitas 5 ribu liter/tangki) dalam satu bulan.

Dari bisnisnya yang memberikan keuntungan  menggiurkan tersebut Umi sempat menjadi orang terkaya di desanya. Rumah megah bertingkat, tanah dan sawah berhektar-hektar dan mobil dimiliknya menjadi bukti kesuksesaanya. Kemudian di tahun 2004 dirinya berangkat haji sekeluarga.

Namun, lambat laun bisnisnya menyusut karena banyak pemilik kapal yang nakalan. Banyak yang tidak membayar bon dan beralih ke Bandar lain.

“Sudah perjalanan nasib. Tahun 2010 saya berhenti dari bisnis solar, “ ujarnya.

Walau demikian Umi masih bersyukur masih bisa mengembangkan usaha lain yaitu memiliki toko di Wisata Bahari Lamongan (WBL). “Saya justru merasa bersyukur. Dulu saat menjadi Bandar tidak pernah menunggui anak-anak. Kini walau tidak berlimpah harta bisa lebih mencurahkan kasih sayang kepada anak,” ujar Umi yang telah dikaruniai 3 anak ini.(tok)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *