SuaraBanyuurip.com – Totok Martono
Lamongan – Pembinaan yang dilakukan Muspika Babat terhadap pemilik warung kopi Babat agaknya hanya akan menjadi ‘angin lalu’. Meski sudah sering dibina dan dioperasi, pemilik warkop plus yang menyediakan jasa pelepas sahwat tetap membandel. Urusan perut yang dijadikan dasar alasan.
Warsini (bukan nama sebenarnya) terlihat ogah-ogahan saat mendengarkan pemaparan dari Muspika Babat di kantor UPT Pasar Agrobis jumat (20/6/2014) sore tadi.
Dirinya lebih asyik menekan-nekan tombol Hand phonenya dan sesekali tersenyum simpul membaca sms di HP-nya. Wejangan camat dan Kapolsek mungkin tidak ada sedikitpun yang nyantol di kepalanya.
“ Habis acara (pembinaan) ini saya yakin para bakul sudah pada lupa mas, “ ujarnya lirih.
Menurutnya, para penjual kopi bukan tidak patuh pada peraturan yang ditetapkan Muspika, Pemkab atau petugas lainnya. Namun urusan perut yang membuat dirinya dan 37 pemilik warkop serta puluhan pramusaji lainnya tetap bertahan dengan profesinya.
“Kalau tidak kerja, kami harus makan apa mas? Berjualan kopi pangkon saja hasilnya juga minim,“ ujarnya bernada masgul.
Dari penelusuran SuaraBanyuurip.com puluhan bahkan ratusan orang menggantungkan hidup dari aktifitas berjualan kopi plus dipasar Agrobis. Disebut plus karena dipuluhan warkop tersebut menyediakan layanan sahwati bagi lelaki hidung belang yang datang.
Aktifitas kopi pangkon sendiri mulai menggeliat diatas pukul 21.00 WIB. Warung kopi ini menempati kios-kios yang belum dibuka pemiliknya. Sejak awal dibuka sekitar tahun 2012, pemilik kios di Pasar Agrobis memang enggan membuka kiosnya untuk berjualan. Sepinya pasar Agrobis menjadi alasan utama pemilik kios memulai usaha di pasar yang berlokasi di utara jalan nasional Surabaya-Babat ini.
“Harga sewanya dari pemilik kios Rp750 ribu-Rp1 juta perbulan, Mas, “ ujar seorang petugas pasar Agrobis yang keberatan namanya ditulis.
Agar dagangan laris, para pemilik warung kopi akhirnya mempekerjakan para pramusaji belia berusia 18-20 tahun. Rata-rata pemilik warkop mempekerjakan 2-3 pramusaji. Mereka kebanyakan pendatang dari luar Lamongan.
“Para pramusaji tinggalnya kos di sekitar Desa Plaosan, Babat,“ ujar sumber tadi.
Bagi para lelaki hidung belang, keberadaan warkop Agrobis menjadi sarana hiburan tersendiri. Selama menikmati secangkir kopi, mereka mendapatkan pelayanan ekstra bermesraan dengan para pramusaji.
Jangan heran karena nilai plus tersebut, harga kopi relative mahal. Untuk satu cangkir kopi dipatok Rp5 ribu. Makanan lainnya harganya dua kali lipat dari warung umumnya.
Jika mengharapkan yang lebih, para lelaki hidung belang bisa mengajak pramusaji ke penginapan di luar kota Babat.
Para pramusaji praktis mendapatkan penghasilan plus. Selain gaji dari pemilik warkop juga mendapatkan uang dari pengunjung yang menyewanya.
Warsini dan pemilik warkop lainnya, sudah tidak sabar menunggu selesainya acara kumpulan. Malam telah menjemput. Geliat aktivitas kopi pangkon sudah harus dimulai. Dengan cara ini mereka menjemput rejeki untuk membantu ekonomi keluarga. Entah sampai kapan mampu bertahan. (tok)