Dentuman ‘Meriam’ Jelang Buka Puasa

SuaraBanyuurip.comEdy Purnomo

Tuban – Suara dentuman saling bersahutan memecah keheningan Desa Pucangan, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Tiba-tiba suara riuh anak-anak kecil yang berkelompok terdengar tak kalah nyaring.

Sudut ladang gersang berubah seperti medan perang. Mereka saling menunjukkan keunggulan meriam yang dibawanya.

Meriam yang dibawa anak-anak itu bukanlah meriam sungguhan. Meriam tersebut terbuat dari bambu atau Bumbungan, yang tak lain adalah petasan tradisional yang dibuat anak-anak desa setempat.

Berbekal potongan beberapa ruas bambu dan juga karbit atau minyak tanah, k suara yang dihasilkan dari meriam bambu ini bisa terdengar di jarak 2 kilometer lebih.

Pada dekade 10 tahunan silam, meriam bambu ini banyak dijumpai di hampir semua desa yang ada di Tuban. Tetapi setelah maraknya penjual petasan, hanya anak-anak di desa tertentu yang masih mempergunakan petasan ini.

“Ini namanya Bumbungan Om,”kata Dani (9), salah satu anak Desa Pucangan.

Untuk memainkan petasan ini dibutuhkan cukup kejelian. Bambu yang sudah tua dipotong sekitar 2-3 meter dilubangi semua ruasnya sehingga menjadi pipa bambu. Kecuali ruas yang terletak paling bawah dibiarkan untuk penyimpanan bahan bakar berupa karbit atau bisa juga minyak. Setelahnya di bagian bawah bambu tersebut diberi lubang kecil sebagai tempat sumbu.

Bambu yang sudah siap kemudian diisi dengan minyak tanah atau karbit cair. Setelah meriam ini dipasang dengan penyangga dibagian depan supaya mendongak keatas, sumbu yang ada dipangkalnya disulut dengan api.

Apabila beruntung, akan terdengar suara keras menyerupai meriam yang bisa terdengar kiloan meter. Tak jarang aksi ini gagal karena sumbu tidak menyala, bambunya bocor, atau sebab lain sehingga mereka terpaksa mengulangi proses yang sama.

“Saya main ini selesai ngaji dengan teman-teman, sambil menunggu buka puasa,”kata Habib, bocah lain yang ada di lokasi sama.

Rona kebahagian terpancar di wajah bocah-bocah itu apabila kelompoknya mampu membunyikan suara meriam dengan keras. Tetapi mereka harus siap menjadi bahan ejekan kelompok lain, apabila suara yang dihasilkan tidak terlalu keras, atu bahkan sama sekali tidak berbunyi.

“Jadi kita saingan siapa yang meriamnya lebih besar,” kata Habib.

Meski cukup mengganggu warga, tradisi ini terkadang dimaklumi ketika bulan puasa. Hakim (28), warga setempat mengaku, saat kecil dulu juga suka memainkan permainan yang sama.

“Paling kita kasih tahu ke anak-anak, supaya jangan main di dekat rumah karena kasihan apabila ada anak kecil,”kata pria satu anak ini menjelaskan.(edp)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *