Oleh : Samian Sasongko
EKSPLOITASI ladang Migas di Kabupaten Bojonegoro, tak serta merta merubah kondisi struktural masyarakat secara menyeluruh. Selain masih banyak anak putus sekolah karena berbagai sebab, pembangunan infrastruktur jalan juga masih tergolong minim.
Fasilitas jalan, bagi warga desa sekitar Migas, menjadi penopang ekonomi. Geliat perekonomian desa pun bisa dipantik dari bagusnya fasilitas jalan. Sayang jika problema ini masih terjadi di daerah penghasil Migas, seperti Bojonegoro. Â
Fakta riil adalah jalan pintas yang menghubungkan wilayah Kecamatan Ngasem, dan Kecamatan Gayam. Jalan di kampung Migas Banyuurip, dan Alas Tua West (ATW), keduanya masuk blok geologi Blok Cepu ini, masih tergolong kuno, dan ketinggalan jaman pula. Kondisinya masih berbentuk jalan makadam.
Jalan Ngasem-Gayam sepanjang kurang lebih enam kilo meter. Areanya masuk wilayah hutan RPH Sawit, dan RPH Gledekan, KPH Perhutani Bojonegoro. Meski tak sampia 10 Km, namun bisa menjadi akses paling cepat bagi warga di dua wilayah kecamatan tersebut.
Sarana tersebut juga menguntungkan perusahaan (operator Migas), jika ingin berkomunikasi secara cepat antarkecamatan. Semisal, dari Ladang Migas Banyuurip di Kecamatan Gayam ke lokasi proyek Alas Tua West (ATW) di Desa Ngasem, dan ke lokasi sumur gas Jambaran di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem yang akan di Unitisasi dengan sumur Tiung Biru oleh Pertamina Eksplorasi dan Produksi Cepu (PEPC).
Sejauh ini ihwal jalan makadam tersebut, belum ada perhatihan kusus dari operator, dan pemerintah daerah. Padahal secara geografis sangat menguntungkan jika jalan tersebut diperbaiki. Di samping bisa mengangkat derajat ekonomi warga sekitar, sekaligus juga bisa mempercepat arus transportasi antara wilayah yang bagi operator.
Sejatinya warga desa di dua wilayah kecamatan itu sudah lama mengharapkan jalan tembus segera dibangun. Warga beralasan jika jalan dibangun akan mempercepat transportasi. Ujungnya bisa meningkatkan perekonomian.Â
Saban hari, tentunya jika tidak musim penghujan, jalan makadam di wilayah Perhutani itu, selain dilalui pekerja proyek Banyuurip, banyak juga dilalui oleh warga baik masyarakat Desa Bandungrejo yang ingin pergi ke Kantor Kecamatan Ngasem, maupun ke Kecamatan Gayam, dan desa-desa lainnya. Begitu sebaliknya warga Ngasem dan Gayam yang ingin pergi ke Desa Bandungrejo, dan ke desa wilayah Kecamatan Gayam.
 Belum lagi manfaat untuk sektor pendidikan. Siswa dari dua wilayah kecamatan tersebut, sangat terbantu jika fasilitas jalan tembus itu diperbaiki. Anak-anak yang mau sekolah di Ngasem, maupun Gayam, serta Purwosari bisa lebih mudah dan lancar.Â
Wawancara dengan warga setempat menyebut, awalnya masyarakat sangat senang, dan bangga ditemukan sumber minyak Banyuurip di wilayah Kecamatan Ngasem, saat ini masuk wilayah Kecamatan Gayam karena adanya pemekaran wilayah tahun 2012 lalu. Angan-angan warga, setelah sumur minyak beroperasi, dapat memberikan perubahan pembangunan di sekitarnya dengan pesat, dan cepat.Â
Kenyataannya, warga harus memupus harapan. Perkembangan pembangunan di kampungnya ternyata belum bisa mereka rasakan secara maksimal, dan menyeluruh. Sebut saja salah satu contohnya adalah jalan pintas yang menghubungkan Ngasem ke Gayam tersebut.Â
Warga tak menyoal siapa yang akan membangun jalan macadam tersebut. Apakah itu Pemkab Bojonegoro, operator Blok Cepu, ExxonMobil Cepu  Limited (EMCL), atau Perhutani sendiri? Bagi warga yang terpenting jalan segera dibangun, tak dibiarkan macadam yang saban penghujan dating sangat licin, dan rawan terjadi kecelakaan.
Tak kalah pentingnya lagi adalah bagi kaum tani di wilayah Ngasem, maupun Gayam. Jika jalan penghubung Ngasem-Gayam dibangun memudahkan  mengangkut hasil pertanian, juga membuka jalur perdagangan untuk kawasan setempat. Pedagang di Ngasem ataupun Gayam, bisa saling pulang pergi ke pasar desa setempat. Apalagi jalan tersebut merupakan jalan pintas, ketimbang harus memutar melewati Clangap, Kalitidu menuju Ngasem dengan jarak sekitar 30 Km. (*)
Penulis adalah Jurnalis SuaraBanyuurip.com.