SuaraBanyuurip.com – Joko Kuncoro
Bojonegoro – Kebutuhan air bersih berpengaruh signifikan terhadap kesehatan masyarakat terutama ancaman penyakit. Apalagi air bersih yang dikonsumsi masyarakat membebani ekonomi rumah tangga karena harganya mahal. Hal tersebut bisa menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan.
Sebanyak 33 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 8,28 persen rumah tangga, tidak memiliki akses ke air minum yang layak. Sehingga itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah.
Air tanah menjadi andalan 80 persen dari kebutuhan air bersih nasional, kenyataannya semakin langka dan semakin tercemar oleh intrusi pencemaran sungai, limbah rumah tangga dan industri, serta intrusi air laut. Aspek-aspek ini semakin diperparah adanya penggundulan hutan sehingga air hujan tidak terserap.
Termasuk penggunaan plastik berlebihan dan pengelolaan sampah yang tidak baik. Hal ini mengancam daya dukung lingkungan terhadap kehidupan masyarakat, dan sangat membebani masyarakat ekonomi lapis bawah.
Kabupaten Bojonegoro telah menjadi contoh wilayah ironi air. Yakni banjir ketika musim hujan, langka air ketika musim kemarau. Pada September 2024, sebanyak 92 desa di 23 kecamatan di Bojonegoro dilaporkan mengalami kelangkaan air bersih yang berdampak lebih dari 41.000 jiwa.

Sementara itu, Laporan dari PDAM Bojonegoro menunjukkan bahwa pada tahun 2024 cadangan air tanah mengalami penurunan drastis hingga 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Solusi yang fundamental untuk water for all, seperti perbaikan lingkungan alam, meningkatkan level air tanah, modernisasi penyediaan dan distribusi air bersih untuk rakyat, harus terus dilakukan secara berkelanjutan.
Namun, dibutuhkan solusi cepat untuk menghadapi musim kemarau tahun depan, dan tetap bisa digunakan untuk kemarau tahun depannya lagi. Ademos dan Yayasan Mannah Indonesia bekerja sama dengan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menawarkan solusi “quick wins” (program percepatan, red) melalui gerakan panen air hujan. Sumber air hujan merupakan air bersih yang sehat dan berkelanjutan, yang sudah terbukti aman, sehat dan murah.
Ketua Ademos Ahmad Shodiqurrosyad mengatakan, strategi ini sangat mungkin dilakukan di Bojonegoro, mengingat curah hujan tahunan rata-rata 2.000 hingga 3.000 mm.
“Panen air hujan ini hanya membutuhkan infrastruktur sederhana seperti talang air, tangki penampungan, dan sistem filtrasi air hujan,” katanya kepada Suarabanyuurip.com, Jumat (3/1/2025).

Gerakan panen air hujan ini, didorong untuk mengurangi dampak kekeringan di Bojonegoro secara berkelanjutan. Sebab gerakan ini memberikan solusi konkret untuk masyarakat lokal mulai dari tingkatan rumah tangga karena dapat dilakukan dengan aman, mudah dan murah.
Challenge Video Gerakan Panen Air Hujan
Sebagai tahapan awal untuk meningkatkan kesadaran masyarakat melalui gerakan panen air hujan, Ademos bersama Yayasan Mannah juga mengadakan challenge digital campaign melalui kompetisi video gerakan panen air hujan.
Kompetisi ini terbuka untuk siapapun dan pendaftarannya tidak dipungut biaya alias gratis. Ademos dan Mannah mengajak seluruh masyarakat untuk turut terlibat dalam kompetisi ini dan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan perilaku pengelolaan air dan keberlimpahan air hujan dengan bijak.
Sebagai informasi, Kompetisi ini masih terbuka pendaftarannya mulai dari tanggal 1 – 9 januari 2025 dengan periode perlombaan mulai dari tanggal 10 – 20 Januari 2025. Masyarakat yang tertarik mengikuti dapat mengunjungi media sosial resmi di Instagram maupun TikTok @panenair_bojonegoro.(jk)