Di Balik Ritual Tahunan Banjir Bandang Rengel Tuban

Banjir bandang di wilayah Rengel, Kabupaten Tuban, Jawa Timur menyisakan kerusakan lingkungan. (SuaraBanyuurip.com/ist)

Banjir bandang menjadi suguhan rutin setiap musim hujan di kawasan lereng perbukitan kapur di wilayah Rengel, Tuban dan sekitarnya. Rusaknya catchment area akibat alih fungsi lahan mengancam stabilitas sosial ekonomi tiga wilayah kecamatan disana.

—————————–

Terhitung hampir sepekan Kepala Desa (Kades) Rengel, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Mundir, memimpin warganya bersama relawan merehabilitasi lingkungan yang porak poranda akibat terjangan banjir bandang. Pusat perdagangan tradisional, Pasar Desa Rengel, pasar kambing, lingkungan permukiman, kompleks pemakaman umum, dan satuan pendidikan luluh lantak akibat amuk alam pada hari Sabtu (4/01/2025) malam.

Air bah menggelontor dari kawasan bukit sisi utara desa, membawa material tanah, lumpur, ranting, kayu, dan bebatuan tanpa kendali menerjang setiap penghalang di depannya. Tanpa rasa ampun air keruh meluber kemana-mana menghanyutkan apa saja.  Terdata sebanyak 15 unit rumah warga di Dusun Purbaya Mayang, Desa Rengel terendam air bercampur lumpur dengan tinggi sekitar 10-20 Cm. SDN Rengel II tepat di belakang Kantor Kecamatan Rengel yang berdiri di dusun ini bernasib sama.

Seperti berlari kencang air banjir memasuki kompleks SMPN I Rengel. Jebolnya tembok penahan air dari sungai yang membelah lingkungan sekolah itu, menambah luasnya sebaran air bercampur lumpur. Hanya menyisakan mushola hampir seluruh ruang kelas di sekolah unggulan ini, terendam hingga ketinggian 20 Cm. Banjir pun sempat merobohkan satu rumah di Dusun Gang Buntu yang berdekatan dengan sekolah tersebut.

Ketika bencana berlangsung, jalan penghubung Kecamatan Rengel dan Soko, sebelum akhirnya masuk wilayah Kabupaten Bojonegoro terendam sepanjang 300 meter. Alirannya yang kencang dengan ketinggian air bercampur lumpur, batu kerikil, dan material lainnya sekitar 30 Cm, menghentikan aktifitas di jalan raya. Praktis arus lalu lintas di kawasan ini terhenti total.

Banjir bandang di Rengel kali ini, menurut Kades Rengel Mundir, merupakan bencana terparah dari rangkaian kejadian serupa sebelumnya. Hampir setiap musim penghujan desanya mengalami tragedi alam tersebut.

“Mungkin kejadiannya hanya satu hingga dua jam, tapi rehabilitasi dampaknya memakan waktu lama,” kata Petinggi, sebutan lain dari Kades di Tuban, Mundir saat ditemui jurnalis disela memimpin kerja bakti di lokasi bencana.

Walau semangatnya tak terlihat pudar namun raut wajah orang nomor wahid di Pemdes Rengel itu tampak lelah. Sorot matanya letih lantaran hampir siang dan malam memimpin bakti sosial. Petinggi berusia muda ini menjadi ikon harmoni warga Rengel di tengah bencana. Tanpa disadari lelaki ini melakoni living in harmony with disaster bersama rakyat yang dipimpinnya.

****

Dalam konsep kebencanaan, adagium “hidup harmoni dengan bencana” tak harus dilakukan terus menerus. Bencana harus dicarikan solusi setelah diketahui secara empiris penyebabnya. Banjir bandang Rengel memiliki problema yang kompleks. Baik itu di ranah pra bencana, disaat bencana terjadi, hingga pasca bencana.

Banjir bandang di Rengel kali ini, tutur Kalaksa BPBD Tuban Sudarmaji, akibat imbas curah hujan yang cukup tinggi di wilayah pegunungan (di sisi utara Rengel) sehingga air meluber ke kawasan dataran rendah. Rengel merupakan dataran rendah sehingga menjadi tujuan menurunnya aliran air dari dataran tinggi.

Sedangkan di dataran tinggi (di atas Rengel) terdapat Desa Grabagan, Banyubang, Ngrejeng, dan Desa Ngarum semuanya di wilayah Kecamatan Grabagan. Amatan BPBD menyebut, banjir bandang di wilayah yang dikenal dalam legenda Kerajaan Gumenggeng itu, dari tahun ke tahun volumenya makin besar.

“Nanti akan segera kami evaluasi, duduk bareng dengan stakeholder untuk pencegahan,” demikian ujar bekas Camat Plumpang asal Trenggalek itu.

Tak sekadar sisi geografis kawasan pegunungan dan dataran rendah. Bencana hidrometeorologi yang memporak-porandakan Rengel, menurut dugaan Ketua Komisi II DPRD Tuban Fahmi Fikroni SH, akibat praktik tambang galian ilegal yang marak, dan tak ada penindakan dari aparat terkait. Legislator dari PKB Tuban ini prihatin atas bencana banjir bandang yang sebenarnya tak hanya di Rengel tersebut. Wilayah lain yang sering terjadi banjir bandang, diantaranya Kecamatan Semanding, Plumpang, Kerek, Montong, Grabagan, dan Kecamatan Bancar.

Di wilayah tersebut, sesuai aduan masyarakat kepada Dewan, terjadi praktik tambang illegal yang jumlahnya ratusan titik. Bisnis liar dengan mengeksploitasi sumber daya alam itu tak terkontrol, sehingga mengakibatkan hilangnya kawasan resapan air hujan. Inilah yang dinilai Roni, sapaan akrab sang politisi, sebagai penyebab terjadinya banjir bandang.

Menyitir data dari Dinas ESDM Jawa Timur saat ini terdapat 96 pemegang ijin usaha pertambangan (IUP) di Bumi Ranggalawe. Rinciannya IUP tahap eksplorasi sebanyak 64 titik, dan 32 titik lainnya dalam bentuk IUP operasi. Di luar itu terdapat ratusan praktik illegal mining (tambang ilegal) yang tersebar di wilayah Rengel, Plumpang, Soko, Merakurak, Semanding, Montong, Bancar, hingga Palang.

“Tambang illegal tersebut, tanpa ada penindakan apapun,” ujar Roni seraya menambahkan, padahal sesuai mandat Pasal 158 dari UU 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) ditegaskan, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa ijin diancam pidana paling lama lima tahun penjara, dan denda Rp100 miliar.

Lapisan kerusakan alam akibat praktik tambang illegal, dan tambang berijin bakal makin tebal manakala mereka tak melakukan reklamasi pasca tambang. Fakta lapangan membuktikan di tahun-tahun belakangan, intensitas banjir bandang kian sering terjadi mengiringi musim hadirnya musim hujan.

“Meskipun punya IUP tak menutup kemungkinan mereka melanggar undang-undang, karena tak melakukan reklamasi pasca tambang,” pungkas pria berkacamata minus itu.

****

Kian terpuruknya bentang alam akibat praktik tambang illegal, menurut Pembina Yayasan Pecinta Alam Acarina Indonesia (YPAAI) Ali Baharudin, sejak ditariknya kewenangan penanganan perijinan IUP dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi atau Pusat dengan terbitnya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Alih kewenangan tersebut menimbulkan permasalahan komplek, dan terkesan usaha tambang tanpa pengawasan.

Kendati pembangunan tak bisa lepas dari kebutuhan sumber daya alam, ungkap aktivis lingkungan yang akrab disapa Ali BH ini, namun programnya diharapkan seminimal mungkin merusak lingkungan. Oleh sebab itu penegakkan Hukum Lingkungan, dan UU Minerba, kesesuaian Tata Ruang dan Wilayah, serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sangatlah penting. Bagaimana daya dukung lingkungan tetap mampu menopang keseimbangan alam dan kehidupan masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Pada konteks banjir bandang Rengel, sesuai hasil survei dari para aktifis YPAAI, di atas wilayah Rengel terdapat hampar catchment area (daerah tangkapan air hujan) seluas 4.014 hektar. Kawasan ini wewengkon Perhutani KPH Tuban yang tersebar di Petak 83 hingga Petak 88. Dari jumlah tersebut seluas 514 hektar berupa kawasan hutan tanpa tegakkan. Hanya menyisakan luas 73 hektar di Petak 85b, 85c, 87c, dan Petak 88a hingga 88d yang masih terdapat tegakkan.

Sisanya sekitar 3.500 hektar berada di luar kawasan hutan, meskipun masih termasuk area tangkapan hujan namun kondisinya kritis karena tanpa tegakkan. Pohon jati, mahoni, dan pepohonan lain di kawasan itu yang dulu rindang telah habis ditebang. Termasuk akibat alih fungsi lahan untuk pertanian (ladang), permukiman, dan pertambangan.

Secara geografis catchment area tersebut tersebar di teritorial Desa Grabagan, Ngarum, Banyubang, dan Desa Ngrejeng yang semuanya di wilayah Kecamatan Grabagan. Di bawah kawasan empat desa itu (di sisi selatan) masuk wilayah Desa Rengel, Sawahan, Maibit, Pekuwon di Kecamatan Rengel. Termasuk Desa Gununganyar, Nguruhan, dan Desa Jegulo yang masuk wilayah Kecamatan Soko.

“Sesuai data yang kami miliki di kawasan catchment area itu ada dua perusahaan pertambangan pemegang IUP, titik lokasinya di luar kawasan hutan,” kata Ali BH.

Perusahaan tambang galian tersebut adalah PT Ranggalawe Pandiga Tuban, dan PT Ranggalawe Bangun Nusantara. Keduanya memegang wilayah ijin usaha pertambangan (IUP) dari Kementrian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM). IUP yang mereka pegang dengan luasan tambang 63 hektar, dan 94 hektar.

Ali BH tak mengetahui kenapa dua perusahaan tersebut bisa memegang IUP di atas lahan catchment area. Sedangkan sisi selatan daerah di bawah perbukitan kapur, termasuk gugusan penunungan kars utara Jawa, itu permukiman penduduk, dan lahan pertanian.

Lebih dari itu di kawasan catchment area dan sekitarnya juga telah terjadi alih fungsi lahan. Di samping dipakai untuk rumah dan bangunan lain, sawah dan ladang, dan tak ketinggalan menjadi tempat tambang galian. Ali BH telah mengecek jika sekian titik tambang tersebut adalah kebanyakan illegal.

Perubahan itu pula, yang diantaranya, menjadikan fungsi daerah resapan tak maksimal. Air hujan yang tertangkap tak lagi menjadi sendimentasi bagi penebalan top soil, namun berubah menjadi erosi yang merusak fungsi vegetasi kawasan. Pada kondisi itu diperparah dengan minimnya tegakkan di catchment area, curah hujan yang tinggi, dan tak jelasnya reboisasi maupun reklamasi, maka bencana hidrometeorologi pun tak terhindar. Banjir bandang pun terjadi hingga menuju hilir di wilayah bawah, dan akhirnya wilayah Rengel bawah dibikin porak poranda oleh amuknya.

****

Sejatinya karena faktor alam pula yang menjadikan di bawah kawasan tangkapan air hujan, muncul sumber air. Terdata di kawasan bawah catchment area itu terdapat mata air bervolume besar seperti Sendang Pekuwon (di Desa Pekuwon), Sendang Maibit (Desa Maibit), Sendang Logawe (Desa Sawahan), Goa Ngerong (Desa Rengel), dan Sendang Kluwih (Desa Sumberjo), dan Sendang Beron (Desa Punggulrejo) semuanya di wilayah Kecamatan Rengel. Sedangkan di sisi barat terdapat Sendang Gunungayar (Desa Gununganyar) di Kecamatan Soko.

Sejumlah titik mata air tersebut menjadi penyuplai irigasi persawahan di wilayah Kecamatan Rengel, Soko, dan sebagian Kecamatan Plumpang. Lantaran deposit melimpah dari sumber air tersebut wilayah tiga kecamatan ini menjadi kantong pangan di Tuban. Sebelum petani di medio akhir 1980-an mengeksploitasi sungai Bengawan Solo untuk irigasi teknis lahan pertaniannya, sumber mata air tersebut menjadi gantungan hidup dan mati petani.

“Dari dulu kami bergantung pada sumber air dari Sendang Logawe untuk memenuhi kebutuhan air pertanian,” kata Sutomo di samping sejumlah petani saat ditemui di lahan persawahan di Desa Sawahan.

Secara geologis air di sumber air, merupakan tetesan dari catchment area yang berkarakter batuan kars, dialirkan melalui sungai bawah tanah menuju titik sendang. Mereka menghidupi lahan padi (sawah) di wilayah Kecamatan Rengel seluas 7.605 hektar dan ladang 684 hektar. Untuk wilayah Soko dengan sawah seluas 9.305 hektar dan ladang 286 hektar; dan Kecamatan Plumpang untuk sawah seluas 9.012 hektar dan ladang 57 hektar. Wilayah Plumpang ikut menikmati air sendang, lantaran hilir dari aliran sendang di Rengel menuju wilayah ini, sebelum akhirnya masuk Kecamatan Widang.

“Persoalan banjir bandang di Rengel itu sangat komplek, pencarian solusinya pun harus melibatkan banyak pihak,” papar Ali BH. Jika langkah-langkah solutif tak segera ditempuh, sangat mungkin bila bencara tersebut akan menjadi ritus tahunan, dan agenda penderitaan warga terdampak. (teguh budi utomo)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com