SuaraBanyuurip.com – Ririn Wedia Nafitasari
Pertemuan terbuka antara pengusaha jasa konstruksi lokal Bojonegoro dengan BP. Migas, Mobil Cepu Limited (MCL), Operator Blok Cepu, PT. Tripatra Engineers & Constructors, pemenang tender proyek engineering, procurement and constructors (EPC) 1, 2 dan 5 Banyuurip yang di fasilitasi Pemerintah Kabupaten dan DPRD Bojonegoro di Pendopo Malawopati, Rabu (14/3), sekadar diisi dialog tanpa ada kesepakatan yang dituangkan dan disepakati bersama. Padahal, sebagian besar para rekanan lokal meminta agar persyaratan prakualifikasi yang dibuka Tripatra disesuaikan dengan kompetensi pengusaha lokal.
Suhadak, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat (FKM) Sapu Lidi, misalnya, menyatakan, bila Tripatra tetap menggunakan standar prakualifikasi seperti memiliki modal sebesar Rp. 35 milyar dan sertifikasi dari BP. Migas, Â akan sangat memberatkan pengusaha kecil untuk terlibat langsung dalam proyek konstruksi. Sebab, kata dia, di Kabupaten Bojonegoro, sebagian besar rekanan lokal belum memiliki standart klasifikasi yang diinginkan Tripatra.
“Padahal warga sudah berkorban untuk proyek negara ini dengan melepaskan lahan sekitar 680 hektar. Kami ini hanya petani yang tak mengetahui syarat-syarat seperti itu. Seharusnya ada kebijakan khusus bagi masyarakat Ring I dan II agar dapat terlibat langsung diproyek,†jelas pria yang tinggal di Dusun Clangap, Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu ini.
Senada juga dikatakan, Bambang Sutiyono, Warga Desa Kabunan, Kecamatan Balen. Menurut dia, bila Tripatra tetap bersikukuh menggunakan persyaratan administrasi yang memberatkan, sama saja dengan tidak mematuhi Peraturan Daerah (Perda) No.23/2011 tentang percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi serta pengolahan Migas dan Perturan Bupati (Perbup) No.48/2011 tentang konten lokal.
“Ini sama saja tidak memberdayakan pengusaha lokal. Padahal dalam Perda maupun Perbup itu sudah jelas diamanatkan, bahwa kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) maupun kontraktor EPC harus memberdayakan masyarakat dan pengusaha lokal,†sambung mantan Kepala Desa Kabunan ini.
Disisi lain, Supolo, salah satu tokoh masyarakat Desa Brabowan, Kecamatan Nagsem, Ring I Lapangan Banyuurip meminta agar, operator maupun kontraktor EPC melakukan pengembangan masyarakat dengan menggunakan potensi lokal sekitar pemboran. Alasannya, karena masyarakat sekitar pemboran yang pertamakali akan merasakan dampaknya secara langsung dari kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi. Baik itu dampak sosial maupun bencana akibat kegagalan kegiatan yang dilakukan.
“Dalam Undang-undang Migas tahun 2001 sudah jelas ditegaskan, masyarakat terdampak harus diberdayakan. Artinya, harus ada perlakuan khusus (perbedaan) masyarakat di Ring I maupun II dengan diluar ring, baik itu masalah peluang kerja maupun pekerjaan,†pungkasnya.
Namun tak sedikit pula yang menilai, bahwa persyaratan administrasi yang diberlakukan Tripatra tidak begitu berat. Bambang Edy P, salah satu kontraktor Bojonegoro, misalanya, menyatakan, bila persyaratan yang digunakan Tripatra sebenarnya dapat dipenuhi kontraktor lokal Bojonegoro asalkan rekanan lokal mau tertib administrasi baik perizinan maupun pengelolaan keuangan sejak awal.
“Sebelumnya saya juga pesimis tidak akan mampu mengikuti prakualifikasi ini. Tapi setelah saya coba dengan memenuhi persyaratan yang ada, alhamdulillah lolos prakulifikasi tiga paket yang saya ambil,†pungkasnya.