Warga Hindari Makanan Berbahan Kedelai

perajin tahu

SuaraBanyuurip.com – Edy Purnomo

Tuban – Kenaikan harga kedelai menjadikan tempe dan tahu tidak lagi menjadi makanan rakyat dengan asupan gizi tinggi. Warga dari sejumlah desa di wilayah Kabupaten Tuban, sedikit demi sedikit mulai menghindari makanan warisan nenek moyang itu dengan alasan harga yang melambung tinggi, Kamis (26/7/2012).

“Kalau dulu untuk makan kita mengandalkan tempe dan tahu, Mas. Sedang saat ini harganya hampir menyerupai harga daging. Jadi harus beralih ke makanan lain saja,” ungkap Mintarsih (40), warga Desa Tasikmadu, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.

Mintarsih menjelaskan, saat ini dia lebih banyak mengonsumsi krupuk dan ikan pindang dengan harga murah. Karena dengan Rp 5.000, dia sudah bisa menyediakan lauk untuk makan sekeluarga. Sedangkan dengan menggunakan tempe harga segitu masih dianggap sangat kurang.

Selain sebagai pelengkap makan. Tempe dan tahu biasa juga digunakan sebagai camilan saat menemani waktu malam bersama keluarga. Atau sebagai hidangan takjil ataupun teman saat ada acara tadarus di di musholla maupun masjid.

“Dulu lebih sering membuatkan takjil berupa mendoan, saat ini lebih banyak menyajikan dengan buah segar atau gorengan berbahan tepung dan ketela saja,” ujar Yuliatin (37).

Disatu sisi, pengusaha tempe yang ada saat ini mengeluhkan harga kedelai yang melambung tinggi di pasaran. Kenaikan harga membuat dia harus memutar otak untuk menyiasati bagaimana usahanya tetap bisa berjalan.

Wardan (50), pengusaha tahu asal Desa Panyuran Kecamatan Palang Kabupaten Tuban mengungkapkan saat ini usahanya sedang mengalami kembang kempis. Dikarenakan ledakan harga kedelai sebagai bahan dasar utama kebutuhan usahanya.

“Tapi bagaimana lagi, saat ini tidak ada pilihan lain. Kalau saya berhenti pelanggan akan kabur,” keluh Wardan.

Untuk saat ini harga kedelai mencapai kenaikan hingga 40 persen dari harga sebelum puasa. Pada bulan Januari lalu  dia masih membeli kedelai dengan harga Rp 5.500/Kg. Bulan Maret sampai Juni naik lagi menjadi Rp 7.000/Kg. kemudian pada bulan Juli saat puasa  harganya naik lagi menjadi Rp 8.000/Kg.

“Kalau misal naik lagi ya bingung mau apa lagi, Mas,” kata Wardan, penuh khawatir.

Di samping itu, untuk menyiasati produksinya agar tetap berjalan. Dia mengaku, hanya tega menaikkan harga sebesar Rp 1.000 per papan cetakan kepada para pelanggan setianya. Dengan harga awal Rp 17.000 per papan cetakan. Kini hanya naik menjadi Rp 18.000 per papan cetakan. Naiknya harga yang hanya seribu rupiyah, tidak bisa mengimbangi naiknya bahan baku kedelai. Sehingga keuntungan adalah hal yang sangat jauh dari harapan.

Tak hanya bahan baku, Wardan juga harus memikirkan gaji tiga karyawan yang selama ini menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan untuk puasa kali ini. Wardan tidak bisa menambah stok produksinya seperti puasa-puasa kemarin. “Kalau sekarang malah kita batasi stok produksinya.” (tbu)



»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *