Catatan : Rakai Pamanahan
MINYAK dan Gas Bumi (Migas) memang masih menjadi primadona bagi pemerintah. Di samping karena menjanjikan pendapatan yang besar, sektor yang bahannya tak tergantikan ini jika tak disalahgunakan mampu merubah harkat, dan hajat hidup orang banyak. Pemerintah pun, jika tak diselewengkan, bisa mengalokasikan dana dari Migas secara leluasa demi kesejahteraan rakyat.
Sedangkan bagi pemerintah daerah yang wilayahnya terdapat lapangan Migas, akan mendapatkan dana berlebih dari sektor ini. Mulai dari sistem Dana Bagi Hasil (DBH) yang telah diatur dalam undang-undang, pula dana lain yang sah dari sertaan proyek migas. Bisa dari Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), ijin lingkungan (HO), atau pajak maupun retribusi sah lain sesuai regulasi peraturan daerah (Perda) yang mereka ciptakan.
Lebih penting lagi adalah faktor multy player effect  dari kegiatan industri Migas. Di sana daerah bisa berekspresi mendirikan perusahaan hilir, untuk menampung hasil muntahan Migas yang ada di wilayahnya. Pada kondisi ini dipastikan mampu membuka berbagai kesempatan kerja bagi warganya. Disana ruang untuk mendistribusikan tenaga kerja lebih leluasa dan kian terbuka.
Kalangan investor pun tak ragu lagi untuk berinvestasi di daerah yang terdapat industri Migas. Apalagi jika pemerintah daerah memberi kemudahan dalam masalah perijinan. Investasi berupa pendirian industri sertaan (hilir) inilah yang lebih menjanjikan, karena bisa menjadi tempat warga setempat ikut menikmati pekerjaan. Sehingga, pada gilirannya mereka tak hanya menjadi penonton di rumah sendiri. Â
Demikian pula dengan Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Tuban, Jawa Timur, serta Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Di tiga wilayah ini terdapat ladang Migas Blok Tuban, Blok Gundih, dan Blok Cepu. Tak hanya minyak yang bisa dihasilkan dari perut bumi tiga wilayah itu, namun juga gas yang sangat potensial.
Mereka berebut, atau bisa juga meminta, agar Migas yang dihasil diproduksi di wilayahnya. Salah satu pertimbangannya adalah jika gas diproduksi disana, industri hilirnya akan berkembang. Fenomena multy player effect pun bisa menjadi harapan karena lebih bisa membangkitkan gairah investasi.
Selain juga menjadikan warga daerah setempat, memiliki banyak peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Apalagi wilayah daerah tersebut, sebelum ada eksplorasi Migas termasuk daerah miskin. Miskin dalam arti secara global, bahwa tingkat kemakmuran rakyatnya masih jauh dari wilayah lain. Ini lebih pada karena faktor alam. Â Â
Pemkab Bojonegoro, tentunya melalui Badan Usaha Milik Daerah (BMUD), tetap berharap lapangan gas yang diunitisasi menjadi Gas Cepu (Lapangan gas Jambaran, Tiung Biru, dan lapangan gas Cendana) mendapatkan prioritas alokasi. Pemkab menilai jika mendapatkan alokasi lebih, BUMD akan bisa melakukan investasi dengan mendirikan industri hilir. Ini yang terpenting karena agenda Kabupaten Bojonegoro untuk meningkatkan hajad hidup warganya, sudah demikian heboh di permukaan. Semuanya mengandalkan dari dana yang diraih dari sektor Migas.
Pula Kabupaten Blora. Daerah yang dikenal dengan kayu jati ini juga cukup lama bernafsu untuk bisa meraih untung sebesar-besarnya dari Migas. Sama-sama termasu wilayah geologis Blok Cepu, dan Blok Gundih, BUMD Blora juga berkeyakinan kalau reservoir Migas di lapangan Cendana, dan Tiung Biru paling banyak berada di dalam perut bumi Arya Penangsang tersebut. Oleh karena itu mereka meminta bisa mendapatkan alokasi gas untuk daerahnya.
Kekecewaan atas DBH Migas dari Jakarta yang dipandang tak adil untuk Blora, kian menjadi warga disana tak ihlas. Belakangan para aktivis di wilayah Cepu, Kabupaten Blora mulai meradang. Mereka mengancam akan menutup jembatan Sungai Bengawan Solo yang menjadi pintu masuk utama dari Jawa Timur ke Jawa Tengah melalui Cepu.
Sementara Pemkab Tuban juga telah membangun mimpi, akan mensinergikan program Corporate Social Responsibility  (CSR) untuk pengentasan kemiskinan. Pemkab juga berharap agar industri Migas bisa mengentas kemiskinan yang telah menjadi kebijakan daerah.
Sepertinya Pemkab Tuban cukup mafhum, jika adanya industri semen PT Semen Gresik—kini PT Semen Indonesia Tbk—ternyata belum mampu mengurai belitan kemiskinan warganya. Terlebih untuk warga desa-desa sekitar lokasi pabrik semen milik BUMN tersebut. Pula angka kemiskinan yang masih lumayan tinggi untuk desa-desa di sekitar lokasi sumur Migas Mudi di wilayah Kecamatan Soko.
Fenomena Migas memang menjanjikan tapi juga menjengkelkan. Kini semuanya berpulang kepada pemerintah. Yang terpenting hak masyarakat, dan daerah yang kebetulan terdapat sumur Migas sudah selayaknya mendapatkan perhatian lebih. Melalui cara itu mimpi-mimpi tentang manisnya mereguk Migas yang terlanjur dibangun warga disana bisa menjadi kenyataan. Pada gilirannya warga sekitar tak jadi penonton di rumah sendiri. (*)