Oleh : rakai pamanahan
BILA merunut sejarah pemerintahan kolonial Belanda kita memiliki banyak kisah. Mulai dari pemerasan dan perampasan Hak Asasi Manusia (HAM), eksploitasi atas segala potensi bangsa, hingga warisan kultur dari bangsa Eropa tersebut. Tak ketinggalan pula adalah warisan ribuan titik sumur minyak yang belakangan disebut sumur tua.
Sumur tua mulai dilirik di era tahun 1970-an, ketika pemerintah mulai menggali potensi minyak dan gas bumi (Migas). Di era pemerintahan Orde Baru migas menjadi komoditas ekspor andalan, karena emas hitam dari perut Bumi Nusantara termasuk penopang vital dalam pembiayaan negara.
Bermula dari potensi alam, diantaranya dari migas pula, itu Presiden Soeharto memiliki modal untuk berekspresi menjadi Indonesia sebagai negara gemah ripah loh jinawi, murah sandang pangan, dan tentunya seger kwarasan. Sekalipun disana-sini terdapat berbagai lobang kekurangan, namun era itu warga masyarakat tak begitu panik seperti era sekarang.
Kini sumur tua tinggalan Belanda tersebut kembali menjadi potensi yang banyak dilirik warga desa. Terutama yang wilayah sekitar desanya terdapat titik-titik sumur tua. Terlebih disaat perekonomian mereka memasuki titik nadir kemiskinan.
Sesuai sumber hukum UUD 1945, sekalipun sejumlah pasal diamandemen oleh DPR, telah ditegaskan, bahwa kekayaan bumi alam dan isinya adalah milik negara. Negara pula yang memiliki kewajiban mengelola potensi tersebut untuk kemakmuran rakyat.
Dalam perkembangannya, warga melirik keberadaan sumur tua. Tak sedikit sumur tua telah dikuasai warga secara perorangan, atau kelompok. Data dari SKK Migas per Juli 2013 menyebut, saat ini terdapat 13.824 titik sumur tua di tanah air. Dari jumlah itu sebanyak 745 sumur dalam kategori aktif, sebanyak 13.079 titik sumur non aktif.
Dari belasan ribu sumur tua tersebut, banyak yang dikelola warga masyarakat secara ilegal, alias tak berijin. Diantaranya berada di wilayah Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sorong. Kondisi ini direspon oleh pemerintah, hingga pada tahun 2008 keluar Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor: 1/2008 tetang Pengelolaan Sumur Tua.
Regulasi tersebut mengijinkan sumur tua dikelola oleh warga melalui koperasi, atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Payung hukum ini menjadi pijakan pemerintah, untuk menata dan membina warga yang ingin mengelola sumur tua. Sekaligus mengarahkan pengelola sumur tua memiliki tanggung jawab sosial, dan lingkungan sekitarnya.
Pemerintah melalui PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (PEP) tidak membeli minyak dari sumur tua yang dikelola warga, namun memberi jasa berupa ongkos angkat dan angkut minyak mentah yang dari sumur tua. Pertimbangannya karena minyak di perut bumi tersebut adalah milik negara, jadi tak logis kalau pemerintah membeli minyak yang sesuai regulasi adalah miliknya.Â
Paling tidak sejak penataan sumur tua dilakukan, pemerintah telah mengeluarkan ijin pengelolaan sumur tua kepada 10 Koperasi Unit Desa (KUD), dan BUMD dari daerah yang wilayahnya terdapat sumur tinggalan Belanda tersebut. Mereka mengelola secara legal sebanyak 426 titik sumur. Kini jumlah koperasi dan BUMD yang berhasrat mengelola makin menumpuk di meja Pertamina EP.
Jika kembali pada sejarahnya, sumur tersebut meski diklaim ditemukan oleh Belanda namun prosesnya melibatkan warga. Di beberapa desa di wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban, Jawa Timur tersisa cerita; bahwa warga disana dipaksa kerja rodi untuk membangun sumur tersebut. Jadinya keberadaannya tak bisa lepas dari cerita-cerita panjang dengan beragam warna tentang asal muasal sumur tua.Â
Oleh karena itu sumur minyak tua, bagi sementara warga desa sekitarnya masih menyimpan cerita. Namun, kisah demi kisah sumur tua bukanlah legenda karena keberadaannya hingga kini masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Pun dirasakan manisnya oleh warga yang terlibat mengelolanya. (*)