SuaraBanyuurip.com -Â
Ketergantungan warga sekitar Lapangan Minyak Banyuurip, Blok Cepu, terhadap gas LPG mulai berkurang. Mereka dapat mengolah kotoran ternak menjadi energi alternatif.
WANITA paruh baya itu tidak hentinya menghitung ratusan butir telur puyuh yang dihasilkan dari burung Puyuh peliharaannya. Tidak ada raut lelah di wajahnya meski seharian bekerja di sawah. Dengan telaten dia menyiapkan dagangan telur puyuhnya yang sebentar lagi akan diantar ke tengkulak.Â
Dia adalah Tampar (56). Nama yang terdengar asing di telinga ini bukan memiliki arti. Kedua orang tuanya mengharapan kelak menjadi manusia yang kuat, sekuat tampar atau tali dalam bahasa Jawa. Agar tidak mudah putus seperti tali rafia, dalam arti tidak mudah putus asa.Â
Tampar kemudian bercerita, bertahun-tahun lalu bersama suaminya, Sutarman (57), menggarap sawah milik sendiri dan orang lain demi menyambung hidup. Namun, beranjaknya waktu, semua sawah miliknya diberikan kepada sang anak untuk menghidupi menantu dan cucu-cucunya.Â
“Sekarang saya hanya sebagai buruh tani, kalau suami ya beternak dirumah,”kata Tampar ditemui suarabanyuurip.com di rumahnya.Â
Namun demikian, Warga Dusun Sumurpandan, Desa Gayam, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, ini tak patah arang. Dia terus mencari ide untuk membuat usaha agar dapat menopang ekonomi, meski harus susah payah mencari modal untuk memulainya.Â
Akhirnya kerabat dekatnya memberikan ide untuk beternak burung Puyuh. Tampar bersama Sutarman mulai menjalankan usahanya pada awal 2017. Usaha kali pertama dirintisnya belum berjalan maksimal. Peranakan burung Puyuhnya mati tanpa sebab.Â
“Awalnya kami punya enam ribu ekor burung Puyuh, tapi akhirnya banyak yang mati dan sekarang tinggal lima ribuan,”imbuhnya.Â
Kondisi tersebut membuatnya harus pandai mengatur keuangan. Penghasilan dari menjual telur puyuh masih tidak sebanding dengan biaya produksi. Apalagi sekarang ini kebutuhan hidup serba mahal.Â
“Saat itu laba yang kami peroleh sangat sedikit. Karena untuk merebusnya tiga hari saja menghabiskan tiga tabung LPG ukuran tiga kilogram,” kenang Tampar.Â
Namun, kondisi itu berubah sejak tiga bulan lalu. Tepatnya, bulan Agustus 2017 lalu, operator Lapangan Banyuurip, Blok Cepu, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), memberikan bantuan berupa pelatihan membuat biogas beserta peralatannya.Â
Dari hasil pelatihan itu, Tampar tidak lagi menggunakan gas LPG bantuan pemerintah beberapa tahun lalu. Kotoran burung Puyuh peliharannya dapat diolah menjadi sumber energi alternatif. Tampar dapat merebus telor burung Puyuhnya tanpa harus mengeluarkan biaya banyak untuk membeli gas LPG.Â
Untuk memanfaatkan biogas ini, Tampar cukup memasang pipa kecil di kompornya. Pipa ini menyalurkan gas dari alat yang disebut reaktor. Reaktor itu berada di halaman depan rumah, tepat dipinggiran ladang kosong.Â
Jika kompor dinyalakan, maka pipa yang memiliki panjang lebih dari enam meter tersebut akan terdengar mengeluarkan suara mendesis yang berupa aliran gas. Â
Dengan energi alternatif berupa Biogas itulah, Tampar dan Sutarman, tidak perlu membeli gas LPG seharga Rp20.000 setiap tiga hari sekali untuk kebutuhan memasak dan merebus telur puyuhnya.Â
“Biasanya pakai kotoran Sapi, tapi saat dicoba menggunakan kotoran burung Puyuh ternyata bisa,” tutur nenek tujuh cucu itu.Â
Setiap harinya Sutarman hanya perlu mengolah satu Kwintal kotoran burung Puyuh untuk dijadikan Biogas. Dari situlah, gas alternatif tersebut bisa menyalakan api biru rata-rata 15 jam per hari bahkan lebih.Â
Tampar sendiri awalnya tidak menyangka jika kotoran unggas itu bisa menghasilkan pembakaran yang ramah lingkungan, aman, dan tidak mengeluarkan uang sama sekali.
“Sangat menguntungkan untuk bisnis kecil-kecilan seperti ini,†sambung Sutarman, suami Tampar.Â
Dari usahanya ini Sutarman mengaku bisa memperoleh pendapatan bersih Rp100.000 sampai Rp150.000 dari tengkulak setiap harinya. Jika diakumulasikan, dalam satu bulan pendapatan yang dia dapat bisa mencapai Rp3000.000 sampai Rp4.500.000
Biogas yang dibuat Sutarman ini tidak datang begitu saja. Bersama 167 kepala keluarga (KK) lainnya, di wilayah ring 1 Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, dia telah mengikuti pelatihan pembuatan biogas dari ExxonMobil Cepu Limited (EMCL). Selain itu mereka juga mendapat bantuan peralatan yang nilainya mencapai Rp10 juta sampai Rp12 juta per unitnya.Â
Pelatihan tersebut dilaksanakan EMCL bekerjasama dengan Yayasan Trukajaya, sebagai pendamping program hingga ratusan KK bisa memanfaatkan kotoran hewan ternak menjadi energi alternatif.Â
Pelatihan dimulai sejak tahun 2014. Sasaranya adalah sebagian masyarakat yang yang memiliki hewan ternak. Mereka sebelumnya tidak banyak yang memahami bahwa kotoran hewan ternaknya bisa dimanfaatkan dan dapat menghasilkan biogas.Â
“Harapan kita, mereka bisa menciptakan sumber energi alternatif dengan memanfaatkan limbah di sekitarnya. Sehingga bisa mandiri, dan tidak hanya bergantung pada sumber energy tak terbaharukan,†kata Ukay Subhki, perwakilan EMCL.Â
Senada disampaikan perwakilan Yayasan Trukajaya, Ely. Dia mengungkapkan, sekarang ini kebutuhan masyarakat terhadap gas sangat tinggi. Hal ini dipicu oleh beberapa kebijakan pemerintah yang salah satunya adalah mengurangi penggunaan minyak tanah dan menggantinya dengan gas elpiji.
Di sisi lain, masyarakat yang mengalami kesulitan akses gas lebih memilih menggunakan kayu bakar di hutan yang jumlahnya terbatas dan seharusnya dilindungi.Â
“Sementara jika menggunakan minyak tanah, harganya pun mahal dan terkadang ketersediaan minyak tanah juga langka,†ungkapnya.
Selain elpiji yang mungkin akan habis, jelas Ely, salah satu sumber gas alternatif yang bisa dijangkau adalah biogas. Biogas adalah gas yang mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi anaerobic dari material organik yang dilakukan oleh bakteri methane organic. Methane adalah zat yang tidak kelihatan dan berbau. Gas ini berwarna biru dan tidak berasap.
“Gas ini lebih panas dari minyak tanah, arang dan bahan bakar tradisional lain,†paparnya.
Sumber utama biogas sendiri adalah kotoran ternak yang mudah dijumpai di masyarakat dan belum termanfaatkan dengan baik.Â
“Oleh karena itu, MCL dan Trukajaya menyelenggarakan program biogas ini sebagai salah satu upaya penyebarluasan penggunaan energi alternatif tersebut,†pungkasnya.(ririn wedia)