SuaraBanyuurip.com -Â
Oleh :Â Murtadho
Â
POLITIK Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi: Irigasi (pengairan), Imigrasi, Edukasi (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis ).
Tahun politik saat ini Rakyat Bojonegoro yang baru saja usai berpesta demokrasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, banyak kejutan menarik untuk disimak, diawali aksi centil para bakal calon bupati, menebar pesona menarik simpati masyarakat, dengan mengandalkan hasil survei elektabilitas sebagai patokan layak tidaknya melanjutkan mencalonkan. Bongkar pasang strategi partai politik dalam menggadang seorang figur yang layak dijagokan tentunya tak terelakkan lagi, deal partai pengusung dengan si calon bupatipun sebagai bentuk komitmen menjalankan amanah partai jelas terjadi, sebagai bentuk politik ” balas budi “, walau maknanya bergeser saat Belanda menerapkan strategi itu pada kaum pribumi.
Tak kalah dengan partai politik, calon yang confidance dengan popularitasnya akan membalikkan skema pencalonan, bukannya menawarkan diri, melainkan partai politik pengusung akan sibuk merayunya bersedia dicalonkan, tentunya dengan “harga” yang menggiurkan juga. Hal ini sudah sangat lazim dalam managemen jual beli.
Di jagad politik hal semacam itu sudah banyak contoh kasus terjadi, kalau di Bojonegoro, kita bisa melihat seperti mantan Wabup Setyo Hartono, yang dulunya sebelum pilbup 2018 sebagai kader Partai Gerindra. Namun, dinamika politiknya berubah, terbukti dalam ajang pilbup Setyo Hartono tidak berposisi sebagai pendukung pasangan calon partainya terdahulu. Dikabarkan nantinya setyo hartono maju di ajang legeslatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) untuk daerah pemilihan IX (Bojonegoro, Tuban).
Menariknya jejak sang mantan wabup diikuti oleh mantan bupati. Berbeda dengan Suyoto, sebagai pengurus teras PAN, dia masih berada di belakang pasangan calon bupati yang diusung dari PAN, NASDEM, HANURA. Di saat Suyoto gagal memenangkan Istrinya di pilbup kali ini, dikabarkan suyoto maju sendiri di kancah legislatif pusat dari partai yang berbeda, partai NASDEM, daerah pemilihan yang sama dengan Setyo Hartono.Â
Mengapa PDIP menjadi pilihan Setyo Hartono, dan kenapa partai NASDEM menjadi “POLITIK BALAS BUDI” Suyoto ? Jawabannya pada pemilihan legeslatif April 2019 nanti.
Â
Penulis adalah Independent Analyst Politic (INDAP) Bojonegoro