Bergegas Menimba Selaksa Barel

“Jangan tanyakan apa yang Negara dapat perbuat untuk Anda, tetapi tanyakanlah apa yang dapat Anda perbuat untuk Negara!”

Pada tanggal 20 Januari 1961 Presiden AS John Fitzgerald Kennedy menegaskan hal itu, saat pidato inagurasi sebagai Presiden AS ke-35. Memang kalimat beraroma doktrin kecintaan pada negara itu, bukan murni statemen seorang Kennedy. 

Larik kalimat melegenda tersebut adalah milik filsuf Marcus Tullius Cicero. Cicero adalah negarawan Romawi Kuno yang dianggap ahli berdiplomasi dan prosa. Di eranya pidato sang agitator itu dianggap sebagai pembangkit kecintaan terhadap raja dan tanah air. 

Pada konteks kekinian apa yang harus diberikan kepada negara tak ubahnya sikap, karena pada situasi tertentu ketika negara membutuhkan warga tak bisa mengelak.  Terlebih ketika mazhab demokrasi telah menghegemoni, hal tersebut menjadi bias sarat spekulasi.  

Demikian pula ketika pemerintah jatuh bangun menata anggaran. Pun ketika devisa berjalan dinilai ‘mengganggu’ akibat impor minyak dan gas bumi berkepanjangan. Sementara kilang minyak yang dinilai sebagai obat mijarab, tak kunjung terbangun sejak 30 tahun terakhir. 

Sejatinya setahun setelah Ir Joko Widodo (Jokowi) dilantik sebagai Presiden ke 7 RI itu, telah mengantisipasi dengan mengeluarkan Perpres 146 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.  Piranti tersebut rupanya tak menjadikan fasilitas pengolah minyak mentah segera berdiri hingga awal periode kedua kepemimpinannya. 

Pertamina kali terakhir membangun kilang pada tahun 1994. Kilang Balongan tersebut dinilai sebagai kilang termodern yang dimiliki Indonesia ketimbang kilang lain yang telah berdiri di tanah air. 

Kilang Dumai berdiri pada 1972, diperluas tahun 1983 dengan kapasitas produksi 170.000 Bph; Kilang Plaju dibangun 1935 diperluas 1993, kapasitas produksinya 125.000 Bph; Kilang Cilacap dibangun 1976, kemudian diperluas pada tahun 1983, 1989,  1998, 2015, dan tahun 2016 berkapasitas  340.000 Bph; Kilang Balikpapan dibangun 1922, diperluas 1983 dan tahun 1997 kapasitasnya 260.000 Bph. 

Kemudian Kilang Balongan berdiri tahun 1994, diperluas 2005 dan tahun 2012 mampu memproduksi 125.000 Bph. Terakhir adalah Kilang Sorong yang dibangun tahun 1995 berkapasitas produksi 10.000 Bph. 

Dari enam kilang minyak tersebut, begitu Pertamina melansir dalam situs resminya, www.pertamina.com, kapasitas total produksinya mencapai 1.046,70 ribu barel perhari (Bph). Dari produksi 1 juta lebih Bph minyak mentah tersebut yang jadi BBM berkisar 70-80 persen (sekitar 700.000-800.000 Bph). Sisanya jadi pelumas atau bahan aspal dan produk lainnya.  

Sedangkan kebutuhan BBM dalam negeri saat ini mencapai 1,5 juta Bph. Agar tak selalu impor untuk memenuhi kekurangan kebutuhan BBM dalam negeri, membangun kilang adalah satu diantara solusinya. 

Terihwal itu pula Presiden Jokowi mendesak Pertamina untuk meneruskan membangun kilang di kompleks PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Desa Remen, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jatim. Kilang yang pada tahun 1997/1998 dibangun, namun kemudian terhenti itu ditarget tiga tahun ke depan tuntas. 

“Tadi sudah saya sampaikan kepada Menteri BUMN, Dirut Pertamina, dan Komut Pertamina tidak lebih dari tiga tahun harus rampung semuanya,” tegas Jokowi saat wawancara dengan jurnalis di sela-sela kunjungan di TPPI tanggal 21 Desember 2019 lalu.

Kilang TPPI bukan kilang minyak kerja bareng Pertamina-Rosneft, Grass Root Refinery (GGR), yang pembangunannya ditaksir menelan investasi hingga USD16 miliar, atau setara Rp225 triliun, walau pada akhirnya terintegrasi karena lokasinya berdekatan. 

Kilang TPPI, kata mantan Walikota Solo itu, merupakan salah satu kilang yang terbesar di negara kita. Jika produksi maksimal bisa menghemat devisa hingga USD 4,9 miliar, atau Rp56 triliun. Produknya pun merupakan pengganti dari produk yang selama ini diimpor.

Hal tersebut merupakan subtitusi karena setiap tahun impor minyak. Padahal kita bisa membuat sendiri tapi tidak kita lakukan sendiri. 

“Artinya apa, ini adalah menyelesaikan masalah, menyelesaikan persoalan dari agenda besar negara kita yang puluhan tahun tidak rampung-rampung,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu panjang lebar. 

Langkah mengintegrasikan kilang TPPI, menurut Dirut Pertamina Nicke Widyawati, untuk pengembangan industri petrokomia dilakukan Pertamina dengan melakukan aksi korporasi pembelian saham seri B TubanPetro yang merupakan induk usaha TPPI senilai Rp3,1 triliun. Saat ini Pertamina telah menguasai mayoritas 51 persen saham di perusahaan tersebut.  

“Aksi korporasi ini dimaksudkan untuk mengembangkan industri petrokimia nasional, nantinya memberikan dampak bagi pengembangan industri turunannya di tanah air,” kata alumni Teknik Industri ITB itu dalam siaran pers yang diterima SuaraBanyuurip.com, 21 Desember 2019 lalu.

Jadi jelas bahwa proyek kilang  yang sedang berjalan akan menjadi bisnis yang berkelanjutan, karena dapat menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Juga didukung integrasi baik sesama kilang maupun infrastruktur Pertamina lainnya. 

Pertamina akan mengembangkan pembangunan pabrik baru, serta melanjutkan pembangunan komplek olefin dan polyolefin di kawasan kilang TPPI. Dengan pembangunan tersebut, maka TPPI akan menjadi komplek petrokimia yang terintegrasi menghasilkan produk-produk aromatik dan olefin.

Sejatinya kilang TPPI tak ada kendala dengan lahan, mungkin pada sisi modal, tinggal melanjutkan proyek yang terhenti sejak 21 tahun silam, tanpa lagi membebaskan lahan. Berbeda dengan GRR Pertamina – Rosneft (Rusia) yang hingga kini masih menyisakan masalah lahan. Kilang dengan produksi sebesar 300.000 Bph itu, akan menghasilkan 30 juta liter BBM per hari untuk gasoline dan diesel, 4 juta liter Avtur per hari, dan 4,25 juta ton petrokimia per tahun.

Ini salah satu proyek strategis dalam membangun kemandirian dan kedaulatan energi nasional. Dampaknya tentu akan sangat besar dirasakan masyarakat sekitar proyek. Termasuk serapan tenaga kerja yang selama ini banyak ditunggu warga Bumi Ronggolawe. 

Sedangkan pengangguran di Tuban, kata Bupati Tuban H Fathul Huda saat peluncuran Bantuan Pangan Non Tunai Daerah (BPNTD) di Pendapa Kridho Manunggal Tuban (26/12/2019), angkanya masih berkisar 2,8 persen. Jumlah warga Tuban, sesuai data Badan Pusat Statistik Kabupaten Tuban per 12 November 2018 sebanyak 1,285 juta jiwa. Sekalipun masih di bawah standar provinsi, nasional, dan International Labour Organization (ILO) sebesar 3,03 persen, namun kondisi itu membikin tak nyaman Bupati Huda. 

“Rangkaian program kita lakukan untuk mengurangi angka kemiskinan,” kata bupati dua periode itu. 

Masuknya kilang minyak, tambah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu, diharapkan bisa menyerap tenaga kerja asli Tuban. Sekaligus memberdayakan masyarakat agar mandiri secara ekonomi, sehingga perlahan bisa melepas belenggu ketidakmampuan yang mengikatnya. 

Angka kemiskinan di daerah dengan luas daratan 1.839,94 Km2 ini, timpal Sekretaris Daerah (Sekda) Tuban Dr Budi Wiyana, saat ini turun 1,56 persen menjadi 15,31 persen dari tahun 2018 sebesar 16,87 persen. 

“Ini capaian yang sangat baik bagi Pemkab Tuban,” kata Budi Wiyana saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Tuban tanggal 19 November 2019 di salah satu ruang rapat Pemkab Tuban. 

Proyek GGR Tuban, ungkap Nicke Widyawati secara terpisah disaat kontruksi bakal menyerap 20.000 orang tenaga kerja, dan 2.500 orang saat beroperasi. Emiten pelat merah tersebut saat ini telah menampung 271 pekerja lokal. 

Selain itu Pertamina telah memberikan beasiswa kepada 21 lulusan terbaik SMA/SMK untuk melanjutkan kuliah di Politeknik Energi dan Mineral,  Akamigas Cepu. Mereka berasal dari desa sekitar lokasi kilang itu, disiapkan agar bisa bergabung di proyek Kilang Tuban. (teguh budi/bersambung)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *