Setiajit dan Armaya Melawan Kekecewaan Massa Partai Pengusung

21497

Oleh : Teguh Budi Utomo

Paslon Bupati dan Wabup Tuban, Setiajit dan Armaya, juga memiliki kisah tersendiri terkait dukungan dari pemegang hak pilih. Bak telenovela di televisi swasta, proses rekomendasi yang mereka terima dari parpol pengusungnya sempat mengayun-ayun emosi publik.

Meski pada akhirnya birokrat senior yang berpasangan dengan lawyer muda itu memenangkan pertarungan awal, namun tak bisa ditampik jika menyisakan kekecewaan massa parpol pengusungnya. Terlebih secara struktural–sebelum menerima rekomendasi–belum tercatat sebagai kader, dan konstribusinya belum maksimal dirasakan oleh pemilik kendaraan yang ditumpanginya.

Sekalipun ranah politik, kata banyak orang, merupakan seni sarat warna hitam dan putih, namun harus dipahami jika arena penuh strategi dan intrik ini tak pernah tidur. Dinamika organisasi PDIP, Gerindra, PAN, PPP, dan PBB yang mengusungnya juga tak stagnan. Selalu muncul kejutan lantaran basis massanya memiliki fikiran, dan latar belakang beragam.

Sesuai hasil Pemilu Legislatif 2019, PDIP dan Gerindra sama-sama memiliki lima kursi di DPRD Tuban. Walau raihan kursi di parlemen itu menjadi ukuran besarnya basis massa, akan tetapi perolehannya tak lebih dari kinerja personal anggota fraksi. Hal itu bisa menjadi parameter bila kinerja politik dari parpol tak maksimal.

Logika politik menyebut jabatan politik di lembaga ekskutif bakal mengatrol popularitas partai. Terlebih jika pemegang kekuasaan adalah kader murni yang secara struktural merupakan elite politik partai. Karenannya tak keliru jika momen Pemilukada menjadi sarana vital untuk diperebutkan.

Sebagai partai tua, massa PDIP rindu kadernya sendiri memegang kekuasaan di Pemkab Tuban. Sepanjang dua dasawarsa terakhir, partai yang dikenal dengan massa Marhaen itu, hanya sekali memunculkan kader murninya di pemerintahan. Yakni, saat Soenoto menjabat Wabup Tuban mendampingi Ketua DPD Partai Golkar Tuban, Haeny Relawati Rini Widyastuti sebagai Bupati Tuban periode 2001-2006.  Setelah itu massa Banteng mulut putih hanya menjadi penonton kecewa di setiap agenda politik lima tahunan.

Demikian pula dengan Gerindra. Partai besutan mantan Danjen Kopasus Prabowo Subianto itu, juga tak pernah menempatkan kader strukturalnya di jajaran pemerintahan Pemkab Tuban. Pada Pemilukada Tuban 2015 malah ikutan sembilan partai (PKB, Nasdem, Hanura, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, PPP, dan PDIP)  berbondong-bondong mengusung Fathul Huda dan Noor Nahar Hussein.

Pasangan dari PKB ini dengan mudah menekuk seterunya, Zakky Mahbub dan Susiatin Budiarti, yang mendaftar lewat jalur perorangan. Kekecewaan berjamaah dari konsituen partai mengedepan. Mereka menyesali, kenapa partainya tak mengusung kader sendiri berkoalisi untuk merontokkan hegemoni kekuasaan petahana.

Situasi tak jauh berbeda terulang pada Pemilukada Tuban 2020.  Kereta PDIP dan Gerindra (10 kursi) bersama PAN (3 kursi), PPP (2 kursi), dan PBB (1 kursi) ditumpangi Setiajit dan Armaya. Struktural partai di Bumi Ranggalawe tak kuasa menolak keputusan pengurus pusat, meski sebelumnya diantara mereka, telah melakukan penjaringan calon sesuai aspirasi massa konstituennya.

Memasuki tahun 2019 tetabuhan meriuhkan Pemilukada 2020 dihentak Eko Wahyudi (relawan arus bawah pemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019), Setiajit (birokrat Pemprov Jatim),  Agus Maimun (kader PAN), termasuk Imam Sholikin (kader Gerindra). Tak ketinggalan putra daerah Amir Burhanudin kader PDIP. Mereka digadang massa partai masing-masing mendapatkan restu administratif dari Jakarta.

Pada awal Agustus, Ketua Gerindra Tuban Tri Astuti melansir kabar di media massa, jika partainya telah mengeluarkan rekomendasi untuk Paslon Bupati dan Wabup, Eko Wahyudi dan Agus Maimun. Selanjutnya diikuti keluarnya rekom dari PAN, dan Nasdem. Tak genap empat minggu Jakarta berubah pikiran. Tiket pendaftaran ke KPU berpindah ke tangan Paslon Setiajit dan Armaya.

PDIP yang sejatinya paling memiliki momentum memenangkan Pemilukada Tuban 2020– setelah 20 tahun Tuban dikuasai Golkar dan PKB—mempercayakan rekomendasi kepada Setiajit dan Armaya. Amir Burhanudin yang digadang massanya tercampak tak bisa berbuat banyak. Tumbangnya pemuda lumayan ganteng kelahiran pesisir Bancar itu, melahirkan rasa kecewa yang dalam dari massa partai pimpinan putri Sang Founding Father Soekarno.

Kita paham tak masuknya kader partai dalam bursa Pemilukada bukanlah dosa. Pun tak ada undang-undang yang melarang. Semuanya adalah hak prerogratif parpol dengan berbagai motivasi, dan pertimbangan politisnya. Akan tetapi secara etika politik menjadi catatan tersendiri dari massa partainya.  

Setiajit dan Armaya tentunya mafhum terhadap problema itu. Mereka harus berhadapan dengan lawan tak kasat mata, yakni kekecewaan massa partai pengusungnya. Mesin partai memang terdengar meraung, namun politik adalah seni yang sarat strategi. Disana juga terdapat aksi muslihat dalam meraih kemenangan. Entah kemenangan untuk siapa.

Kekecewaan massa terhadap partai yang telah melembaga butuh lapak pelampiasan. Emosi jiwa tersebut jika Setiajit dan Armaya bisa mengelola secara cerdas, bakal menjadi amunisi yang menakutkan lawan. Butuh pendekatan jitu dalam meredam emosi publik, apalagi menggiringnya untuk pemenangan.

Rasanya sebagai Pamong Praja berpengalaman sekelas Setiajit, dan cerdasnya pola pikir Armaya Mangkunegara takkan sulit menemukannya. Selebihnya kita tunggu perhelatan politik sesungguhnya di tanggal 9 Desember 2020 mendatang. (tamat)

* Penulis adalah Jurnalis yang tinggal di Tuban. 

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *