Masyarakat Sipil Kecewa Perkosaan Tak Masuk RUU TPKS

24876

SuaraBanyuurip.com – Teguh Budi Utomo

Jakarta – Tidak masuknya tindak pidana perkosaan dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), menjadikan rancangan regulasi tersebut bakal kehilangan spesifikasinya sebagai undang-undang yang bersifat khusus. Oleh sebab itu Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan Forum Pengada Layanan (FPL), menuntut agar kejahatan paling purba itu dimasukkan dalam RUU yang segera disahkan jadi undang-undang tersebut.

“Pengaturan perkosaan sebagai tindak pidana kekerasan seksual penting untuk dimasukkan ke dalam RUU TPKS, karena merupakan tindak kekerasan yang paling sering terjadi,” tegas Ira Imelda dari Women Crisis Centre Bandung, dalam siaran pers bersama JMS dan FPL untuk advokasi RUU TPKS, Kamis (7/4/2022).

Pada hari Rabu (6/4/2022), Panja Baleg DPR RI telah selesai membahas RUU TPKS. Para aktifis yang tergabung dalam JMS dan FPL, hingga penyintas memberikan konstribusi agar tarik ulur RUU sejak tahun 2016 segera disahkan jadi undang-undang.

Pengaturan perkosaan sebagai tindak pidana kekerasan seksual, menurut Ira Imelda, penting untuk dimasukan ke dalam RUU TPKS. Pertimbangannya merupakan tindak kekerasan yang paling sering terjadi dengan menggunakan modus, cara, dan alat yang menimbulkan dampak berkepanjangan pada kelangsungan hidup para korbannya.

Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, termasuk kelompok rentan, seperti anak-anak, dan penyandang disabilitas. Korban rata-rata dalam keadaan tidak berdaya, orang yang tak sadarkan diri atau orang dalam keadaan pingsan, koma, dan atau keadaan dimana tidak memiliki kapasitas atau kompetensi untuk memberikan persetujuan.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, sepanjang 2021 terdapat 2.363 kasus kekerasan seksual di ranah personal, dengan 597 kasus merupakan perkosaan. Padahal dalam ranah kekerasan seksual berlaku fenomena gunung es di tengah Samudra.

Dalam naskah akademik RUU TPKS, tujuan RUU TPKS adalah terwujudnya peraturan perundang-undangan tentang penghapusan kekerasan seksual. Pada akhirnya akan menjadi undang-undang yang bersifat khusus (lex specialist derogate lex generali) terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini berlaku.

Pengakuan itu dikuatkan melalui konsideran RUU TPKS poin C. Bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan. Belum memenuhi kebutuhan hak korban TPKS, serta belum komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acara.

“Ini mengindikasikan sejak awal RUU TPKS dibentuk sebagai optimalisasi pengaturan kekerasan seksual, tak terkecuali pengaturan pasal perkosaan yang diatur dalam KUHP,” tegasnya.

Sedangkan pengaturan tindak pidana perkosaan dalam KUHP, belum sepenuhnya memiliki keberpihakan terhadap korban. Di sana hanya mengakomodasi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi penis ke vagina, yang dapat dibuktikan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi. Padahal dalam banyak kasus yang dialami korban jauh dari apa yang dipahami spesifik dalam pasal 285 KUHP tersebut.

Meskipun kejahatan perkosaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 285-288 KUHP, namun kata “perkosaan” hanya ada dalam Pasal 285 KUHP. Sedangkan pasal-pasal lainnya menggunakan kata “bersetubuh.”

Kata “bersetubuh”, menurut R Soesilo, mengacu Arrest Hooge Raad 5 Februari 1912, peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak. Jadi kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan mani. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul.

Berangkat dari pendapatnya R Soesilo tersebut, kasus perkosaan dengan ragam bentuk cara, modusnya, dan kondisi tertentu akan sulit dijerat menggunakan kerangka hukum yang ada. Karenanya sulit dipahami jika RUU TPKS tidak mengatur perkosaan, pada saat yang sama fakta dan keberadaan norma dalam KUHP tidak berpihak kepada korban kekerasan seksual.

Meski ada semangat DPR dan Pemerintah akan mengatur tindak pidana perkosaaan ke dalam RKUHP, namun tidak ada jaminan pengaturan Perkosaan dengan ragam jenis, cara, modus dan tujuannya sama seperti diharapkan di dalam RUU TPKS. Mengingat kerigidan pengaturan dalam RKUHP lebih banyak mengarah persoalan kejahatan pada umumnya.

Substansi pasal perkosaan dalam RUU KUHP diatur lebih umum, dikarenakan konsepsi pembahasan RKUHP lebih kepada pokok-pokok pembahasan pada hukum pidana materiil. Di samping pembahasan RKUHP masih membutuhkan cukup waktu, justru pembahasan mengenai pasal tentang perkosaan dalam RUU RKUHP akan sangat sulit dibahas secara paralel sebagaimana dalam RUU TPKS.

“Masalah itu segera kami sampaikan kepada DPR dan pemerintah,” tegas Ira Imelda Panjang lebar.

Salah satu tujuan dari RKUHP adalah adaptasi, dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi akibat perubahan pengetahuan, nilai, standar, serta norma yang diakui dunia internasional. Namun demikian tidak ada jaminan spesifik hak-hak korban perkosaan secara khusus, mengingat RKUHP lebih menegaskan pengaturan dalam tindak pidana yang bersifat umum.

“Bukan bertolak dari rambu-rambu pidana khusus yang belum ditegaskan secara jelas, sebagaimana yang diusulkan pasal Perkosaan dalam RUU TPKS,” tegasnya.

Secara subtansi pengaturan perkosaan dalam RKUHP dan RUU TPKS terlihat banyak perbedaan mendasar. Dalam RKUHP disebutkan perkosaan: “Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan…”, dan dalam RUU TPKS usulan masyarakat sipil disebutkan, “Setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan  kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain…”.

Dalam RKUHP tidak disebutkan secara jelas intensi persetujuan korban, konsepsi pemberatan tertentu 1/3, jika perkosaan dilakukan dengan subjek yang memiliki relasi kuasa secara detail atau dilakukan juga melalui transaksi elektronik. RKUHP juga tidak menegaskan adanya hak korban ketika terjadi perkosaan, dan hal ini akan berdampak terhadap layanan hak korban, khususnya ketika korban mengakses hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan dari perkosaan.

“Dari catatan tersebut, kami mengusulkan agar tindak pidana perkosaan dipertimbangkan untuk diatur secara khusus dalam RUU TPKS,” kata Ira Imelda seraya menambahkan, “Jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk memberikan jaminan, dan kepastian hukum bagi korban perkosaan.”

Pada bagian lain JMS dan FPL mengakui adanya bebereapa capaian dari proses RUU TPKS. Diantaranya, telah masuk beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.

Termasuk juga masuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual. Dengan demikian pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan Terpadu. Adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan kompensasi negara kepada korban. 

Capaian lainnya adalah adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli, dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan  dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban. (tbu)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *