Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Keberadaan ular besar bercorak sawa bumi yang menjadi mitos dan dipercaya masyarakat Desa Tumbrasanom, Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, turut diangkat dalam pawai budaya yang mengambil tema “Pesona Budaya Bojonegoro”, Minggu (28/08/2022) kemarin.
Legenda ular penunggu Sendang Nanom tersebut diwujudkan dalam tampilan visual artistik oleh SMKN (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri) 5 Bojonegoro, sebagai salah satu peserta pawai budaya yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro.
Selain wujud ular besar, SMKN 5 Bojonegoro juga menampilkan sosok orang tua berjubah putih, bersorban dan berjanggut panjang, serta pria berbusana Jawa kuno memegang tongkat panjang.
Dibelakang ketiga sosok tersebut, terdapat laki-laki dan perempuan yang membawa gemblok atau Jun yang “dikendit” dengan selendang. Membelakangi pohon kepoh di sekitar sendang.
“Kami sangat bangga bisa memperkenalkan cerita rakyat dari Dusun Ringinanom, Desa Tumbrasanom, Kecamatan Kedungadem,” kata Wakil Kepala Hubungan Masyarakat (Waka Humas) SMKN 5 Bojonegoro, Burhanuddin kepada SuaraBanyuurip.com.
Dijelaskan, bahwa tiga sosok yang diperankan dalam pawai, merupakan jelmaan penunggu Sendang Nanom saat menampakkan diri. Yaitu ular besar yang disebut Sawa Bumi. Kemudian pria tua berjanggut memakai sorban dan pakaian putih yang disebut Mbah Singo Jenggot, serta pria memakai baju khas Jawa kuno yang dipanggil Jaka Clunthang.
Ular besar sawa bumi tersebut dipercaya penduduk setempat sebagai peliharaan Eyang Pragolopati. Seorang pejuang laskar Diponegoro dari Mataram Jogja yang mbabat alas Dusun Ringinanom. Ular gaib peliharaan Eyang Pragolopati itu selanjutnya menjadi penjaga sendang hingga kini.
“Kemunculan ular besar tersebut, sebagai pertanda akan datangnya panen padi yang melimpah,” jelasnya.
Sementara, keberadaan Sendang Nanom dikatakan merupakan sumber air yang sangat penting bagi warga Dusun Ringinanom untuk keperluan hidup sehari-hari. Dahulu kala para perempuan me-“ngangsu” (mengambil) air sendang dengan cara ngindhit. Sedangkan para laki-laki biasanya ngangsu dengan cara dipikul.
“Selain itu, penduduk percaya, dengan mandi di Sendang Nanom, bisa membuat awet “Anom” yang artinya awet muda. Oleh sebab itulah, masyarakat setempat menyebutnya Sendang Nanom. Sebagian warga menyebutnya Sendang Anom,” ujarnya.
Terpisah, Kepala Dusun Ringinamon, Desa Tumbrasanom, Rusmaji, membenarkan, bahwa Jaka Clunthang atau Joko Clunthang adalah mitos atau legenda Desa Tumbrasanom. Cerita yang menjadi kearifan lokal tersebut terpelihara sampai hari ini.
Setiap musim panen padi tiba, antara bulan Mei, Juni, atau Juli, selalu diadakan sedekah bumi yang dilaksanakan pada hari Jumat Pahing. Dipusatkan di Sendang Nanom dan petilasan Eyang Pragolopati.
Dalam pelaksanaanya, lanjut pria yang juga menjadi pemangku adat ini, ada tradisi uba rampe yang berupa ingkung ayam dan sesaji dalam wadah takir plontang. Yaitu cok bakal berupa telur ayam, bunga telon, jajan pasar, daun sirih yang diikat, dan umpet dari merang yang tengahnya diisi kemenyan. Serta jenang tolak sengkala atau tolak balak terdiri jenang merah yang atasnya putih dan sebaliknya.
“Sesajinya harus pepek (genap). Kalau terlupa satu saja, akan terjadi hujan lebat sampai banjir,” pungkasnya.(fin)