Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Sulit dan mahalnya pupuk untuk pertanian dengan sistem konvensional belakangan dirasa makin mencekik urat nadi kehidupan para petani. Sudahpun begitu, kala panen tiba hasilnya tak banyak meningkatkan kesejahteraan mereka.
Namun, bagi Zainur Rohim, seorang petani muda asal Desa Ngraseh, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, keadaan itu bukan lagi menjadi persoalan. Pasalnya ia telah bermigrasi dari bertani menggunakan cara konvensional menuju bertani secara organik.
Hasil pertanian yang dia terapkan ternyata tak bisa dianggap remeh. Bahkan boleh dikata luar biasa. Karena dari bertani organik ini, pria akrab disapa Rohim ini berhasil menangguk keuntungan saat panen mencapai 87,50 persen dibanding cara konvensional.
“Pertanian yang saya terapkan murni organik. Tanpa ada satu sendok pun bahan non organik,” kata Rohim, santri lulusan Pondok Pesantren Abu Dzarrin, Sumbertlaseh ini kepada SuaraBanyuurip.com, Rabu (24/05/2023).
Pemuda ramah ini mengaku, pada awalnya cara bertani organik ini dia pelajari secara diam-diam sekitar dua tahun silam. Karena banyaknya keluhan masyarakat yang merasa resah dengan cara bertani konvensional.
Kebetulan, Rohim bergabung dalam jamaah pengajian rutin mata basah yang diasuh oleh K.H. Ahmad Saifur Rohmah Dhimyati (Gus Sef). Anggota jamaah kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. Maka keluhan seputar pertanian pun mengemuka. Yakni misalnya perihal dosis pupuk kian tinggi, sementara kalau pun ada, untuk pupuk non subsidi harganya juga semakin mahal.
“Pemecahan masalah pertanian dengan sistem tanam organik ini didukung oleh beliau (Gus Sef). Dari situlah kemudian saya dan Sholikin, kawan saya menerapkan itu. Katakanlah kami dapat tugas khusus, dari beliau,” ujarnya.
Menurut pemuda yang telah dikaruniai dua putra ini, teknik pertanian yang dia terapkan dengan cara organik ini mampu menekan ongkos produksi secara drastis. Karena seluruh bahan tersedia oleh alam. Sehingga minim pengeluaran. Dalam istilah dia, hanya butuh “plaur”, artinya bersedia melakukan hal yang orang lain ogah lakukan demi mencari bahan organik.
Sebagai gambaran, untuk lahan sawah yang ia sewa seluas 2.500 m2, Rohim hanya perlu modal paling banyak Rp1 juta. Ongkos ini hanya butuh dana 40 persen dibanding bertani konvensional yang perlu ongkos hingga Rp2,5 juta dengan luas lahan sama.
Mulai persiapan tanam dengan mengolah lahan yang diberi mikroba, sampai dengan pengendalian hama, seluruhnya memakai bahan organik. Dengan teknik itu, padi yang ditanam langsung hidup dan sehat seterusnya. Bagi yang belum yakin, dia persilakan melihat langsung tanaman padi organik yang letaknya persis di belakang rumahnya.
“Pengendalian hama kita gunakan pestisida nabati. Bahannya dari tanaman yang ulat tak mau memakannya. Seperti mojo, sambiloto, gadung, bintoro,” bebernya.
Begitu pula untuk obat daun, juga bahan alami. Untuk pembuatannya Rohim hanya perlu Rp10 ribu sudah bisa menghasilkan 15 liter. Jika dibandingkan obat daun pabrikan, tentu sangat jauh. Sebab, untuk dapat 500 ml obat daun ini dibandrol pihak pabrikan seharga Rp50 ribu.
“Sistem organaik ini selain menghasilkan batang padi yang lebih tinggi dan lebih besar, padahal menggunakan varietas sama, masa tanam padi juga lebih singkat. Dulu saat musim tanam pertama, panen saya cuma selisih 50 kg dibanding milik tetangga. Sedangkan ongkos produksi lebih kecil. Saya sewa lahan Rp4 juta, panen pertama dapat Rp8 juta. Sudah langsung balik modal,” tuturnya.
“Niatnya ngibadah. Dan yang jelas, pokoknya siapa yang bersedia plaur, Insya Allah makmur. Sopo plaur makmur, ini slogan kami,” tandasnya.
Pengalaman ini, dialami pula oleh Muhammad Sholikin. Pemuda asal Desa Sumberarum, Kecamatan Dander. Namun dengan jenis tanaman yang berbeda. Sahabat karib Rohim ini menerapkannya pada tanaman palawija. Hasilnya, meski jagung telah menua siap panen, tetapi daunnya masih berwarna hijau segar.
“Dari 3kg bibit jagung, teknik organik bisa menghasilkan 2,1 ton. Kalau konvensional maksimal cuma sampai 1,5 ton. Jadi untung lebih banyak. Dengan begitu, tentu meningkatkan pendapatan petani yang berdampak pada kesejahteraan keluarga petani,” ucap Sholikin.
Keberhasilan Rohim dan Sholikin, membuat para petani yang tergabung di jamaah pengajian mata basah lainnya di sejumlah kecamatan meminta mereka berdua menularkan ilmu dan pengalaman. Dalam catatan Rohim sudah lebih 20 petani menerapkan cara bertani organik secara mandiri. Tersebar di Kecamatan Malo, Sekar, Kanor, Dander, dan Ngraho.
Untuk diketahui, baik Rohim mapun Sholikin menyatakan berkomitmen tidak mencari keuntungan dengan cara menjual bahan pertanian organik. Mereka hanya menularkan keilmuan dan wawasan mereka dalam bertani organik. Dengan tujuan peningkatan kesejahteraan para petani.(fin)