AJI 5 Kota, LBH Lentera dan Kontras Deklarasi Komite Advokasi Jurnalis

Para jurnalis AJI dari 5 kota di Jawa Timur bersama LBH Lentera dan Kontras Surabaya melakukan deklarasi Komite Advokasi Jurnalistik Jawa Timur di Surabaya. (SuaraBanyuurip.com/ist)

SuaraBanyuurip.com – Paijan Sukmadikrama

Surabaya – Sebanyak lima Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota di Jawa Timur bersama LBH Lentera, dan Federasi Kontras Surabaya, mendeklarasikan Komite Advokasi Jurnalis (KAJ) Jawa Timur di Surabaya.

Kelima AJI Kota tersebut adalah AJI Surabaya, AJI Malang, AJI Bojonegoro, AJI Kediri, dan AJI Jember. Deklarasi lembaga yang diproyeksikan untuk mendampingi permasalahan jurnalis itu, ditandai dengan penandatanganan Memory of Understanding (MoU) yang diwakili masing-masing ketua dari AJI kota bersangkutan.

Deklarasi lembaga yang kental dengan ihwal problema hukum ini, diharapkan menjadi institusi dalam penegakkan hukum di ranah jurnalisme. Apalagi menurut catatan AJI Indonesia, kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis dari tahun ke tahun lapisannya bukannya menipis.

Sepanjang tahun 2023, AJI mencatat ada 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Jumlah ini naik dibanding tahun 2022 sebanyak 61 kasus. Dari sumber data yang sama, sejak 2006 sampai awal tahun 2024, total ada 1.047 kasus kekerasan yang terjadi.

Secara nasional, Jawa Timur menjadi provinsi dengan angka kasus tertinggi. Hampir 10 persen dari jumlah keseluruhan, yakni 98 kasus, terjadi di provinsi dengan 29 kabupaten dan 9 kota tersebut. Sampai awal Februari 2024, sudah 9 kasus yang dilaporkan.

Di tahun politik dengan agenda Pemilu menambah eskalasi kekerasan yang menimpa para kuli tinta. AJI Indonesia juga mencatat, sejumlah elite politik, bahkan dalam pidatonya di hadapan ribuan orang, terang-terangan mengintimidasi jurnalis. Aparat negara yang diharapkan melindungi kerja-kerja wartawan, malah seringkali menjadi pelaku utama, dan musuh kebebasan pers. Ancaman lain adalah jerat Undang Undang ITE.

Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah kekerasan yang dialami jurnalis Tempo, Nurhadi, saat menjalankan tugas jurnalistiknya pada 27 Maret 2021 di Surabaya silam. Nurhadi disekap dan dikeroyok sejumlah orang termasuk 2 polisi aktif.

Kasus ini tuntas dengan keputusan pengadilan incracht setelah 2,5 tahun berjalan. Saat itu, Nurhadi dan AJI Surabaya, didampingi tim advokasi dari LBH Lentera, Federasi Kontras Surabaya dan LBH Pers.

Terpantik proses advokasi Nurhadi inilah, tim pendamping hukum menilai, semangat advokasi harus dijaga, dan dipelihara karena kasus serupa bukan mustahil kembali terjadi di provinsi tersebut. Bermula dari advokasi itu dibutuhkan satu perspektif yang sama, dalam merespon kekerasan terhadap jurnalis.

Pertama, kekerasan apapun bentuknya, termasuk kriminalisasi dan sensor, mengancam hak publik untuk tahu atas informasi.

Kedua, advokasi harus melibatkan semua unsur termasuk masyarakat, organisasi profesi, dan perusahaan pers. Ketiga, advokasi harus dilakukan sampai tuntas demi pemenuhan hak- hak korban.

Keempat, akses pendampingan terhadap jurnalis harus diperluas jangkauannya. Termasuk kepada jurnalis dari berbagai organisasi profesi. Bahkan harus pula menjangkau pers mahasiswa, dan jurnalis warga yang selama ini juga rentan menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi.

“Dengan semangat ini, pihak-pihak yang terlibat dalam advokasi kasus Nurhadi, mendeklarasikan Komite Advokasi Jurnalis Jawa Timur,” demikian rilis usai Deklarasi KAJ Jawa Timur yang diterima SuaraBanyuurip.com, Selasa (13/02/2024).

Keberadaan KAJ, menurut Ketua AJI Surabaya Eben Haezer Panca, penting untuk memastikan kerja-kerja advokasi terhadap pelaku pers yang mengalami kekerasan, menjadi semakin rapi dan terorganisir. Salah satu kunci keberhasilan kerja-kerja jurnalis adalah kolaborasi.

“Dengan KAJ, jurnalis korban kekerasan bisa mendapatkan penanganan dan perlindungan yang cepat dan terencana,” kata Eben Haezer.

“Kami berharap KAJ menjadi jawaban atas ketidakpastian advokasi, saat terjadi kekerasan terhadap jurnalis di Jawa Timur, khususnya Bojonegoro,” timpal Ketua AJI Bojonegoro, Deddy Mahdi Assalafy.

Bagi Deddy, demikian jurnalis muda ini akrab disapa, advokasi dipandang sebagai tindakan untuk melindungi, dan menjamin kerja jurnalis, sekaligus hak publik, untuk tahu atas informasi. Kerja kolaborasi dari semua pihak yang peduli dengan kemerdekaan pers, dan perlindungan jurnalis, harus disegerakan.

Sedangkan Ketua AJI Kediri, Danu Sukendro, menyatakan, pembentukan KAJ merupakan hal yang sangat penting untuk perlindungan kerja jurnalis di daerah. AJI kota yang lokasinya jauh dari ibu kota provinsi, sulit mendapatkan akses pendampingan hukum yang cepat dan tepat.

“KAJ juga menjadi wadah edukasi peningkatan kapasitas jurnalis dalam hal advokasi, dan pengetahuan hukum pers,” ujar Danu Sukendro.

Segendang seirama disampaikan Ketua AJI Jember, Ira Rachmawati. Ia nilai pembentukan KAJ ini sangat penting karena AJI Jember yang berada di wilayah tapal kuda, yang meliputi Situbondo, Banyuwangi, Jember, Bondowoso, dan Lumajang, adalah daerah rawan konflik, terutama konflik agraria.

“Kondisi ini tentu berdampak pada keselamatan jurnalis. Ini sekaligus menjadi angin segar bagi media massa yang tumbuh di daerah yang rentan mengalami intimidasi,” papar perempuan jurnalis itu.

“Negara harus melindungi jurnalis, bukan sebaliknya,” tegas Ketua AJI Malang Benni Indo. “Namun realitanya, jurnalis banyak dijerat menggunakan UU ITE, yang artinya kerja-kerja untuk kepentingan publik disandera.”

Kerjasama dalam bentuk KAJ ini adalah langkah antisipatif, terhadap potensi pelanggaran pada kerja-kerja jurnalis. Pers yang merdeka adalah kemerdekaan rakyat.

 

Kekerasan Terhadap Jurnalis Dalam Pilpres

Sementara itu Koordinator Federasi Kontras Surabaya, Fatkul Khoir SH, berharap kesepahaman (MoU) KAJ bisa menjadi awal yang baik dalam memperkuat kapasitas, dan pendampingan hukum bagi para pekerja jurnalisme.

“Saya berharap di masa Pilpres ini tidak ada peristiwa kekerasan yang dialami para pekerja pers dalam menjalankan tugas-tugasnya,” tegas Fatkul Khoir.

“Perluasan aliansi sangat perlu dilakukan untuk membangun sistem, dan jaringan kerja advokasi saat jurnalis mengalami kekerasan dalam melakukan kerja jurnalistik,” sergah Kordinator LBH Lentera, Salawati Taher SH MH.

Menurutnya, sudah waktunya kota-kota lain melakukan perapian pola advokasi dengan lebih terorganisir, dan tuntas sesuai semangat kemerdekaan pers.

“Advokasi atau pendampingan hukum adalah hak bagi jurnalis yang mengalami kekerasan atau kriminalisasi, saat menjalankan kerja jurnalistiknya,” ujar Advokat Partner LBH Lentera, Johanes Dipa SH S.Psi MH CLA.

Oleh karena itu sudah seharusnya kami harus turut serta dalam memberikan akses pendampingan hukum. “Saya mengajak perusahaan pers untuk ikut serta terlibat dalam kerja-kerja advokasi, jangan malah menggembosi,” pungkas Johanes Dipa. (pay) 

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *