SuaraBanyuurip.com– Pagi itu, Agus Santoso (38) terlihat sibuk menyirami bibit mangrove. Agus menyemprotkan air dari selang ke bibit mangrove yang berusia 3 bulan. Ia berpindah dari satu lajur ke lajur sampingnya. Semua bibit disiram merata agar tumbuh baik.
Agus tidak sendirian. Ia bersama para nelayan lain di Rukun Nelayan (RN) Desa Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur merawat bibit mangrove. Ada 10.000 bibit mangrov yang dirawat di lahan pembibitan. Lokasinya tidak jauh dari sudetan Sungai Bengawan Solo yang mengarah ke laut.
Agus bersama rekannya sudah setahun ikut menjadi bagian dari program pembibitan dan penanaman mangrove. Program ini dilaksanakan operator minyak Banyu Urip, Blok Cepu, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) bekerja sama dengan Lembaga Informasi dan Komunikasi Masyarakat Banyuurip Bangkit (LIMA 2B).
“Sudah sejak tahun 2023 lalu,” ucap Agus membuka perbincangan, Sabtu (30/7/2024).

Mengenakan kaos hitam panjang, celana pendek motif loreng dan topi bertuliskan ‘nelayan’, Agus bercerita tentang kehidupannya sebagai nelayan.
Sejak kecil Agus sudah menjadi nelayan. Dunia masa kecilnya adalah pantai dan laut di pesisir Tuban-Lamongan. Tahun 1994, ketika Agus masih kecil sudah membantu bapaknya berternak ayam dan kambing. Setiap matahari muncul di langit timur, ia sudah ‘membaur’ dengan ternaknya untuk memberi pakan. Lantas membersihkan kandang.
Malamnya, ia melaut, ikut menangkap ikan bersama si bapak dan pulang ketika subuh. Agus mengaku, saat itu, tidak harus mencari ikan sampai ke tengah laut. Berbeda dengan sekarang, pendapatan ikan turun hingga 30% akibat limbah pabrik lokal maupun non lokal yang mencemari perairan.
Kondisi tersebut ‘memaksanya’ mencari tambahan usaha lain. Di tahun 2008, Agus mencoba terjun ke bisnis garam. Ia mengelola tambak garam dengan luas 50 x 100 meter. Lepas melaut, pagi harinya ia mengalirkan air laut ke tempat pembuatan garam dengan sistem pasang-surut.
“Setelah itu dijemur sampai 30 hari dan berubah jadi kristal,” ujarnya dikutip dari mastumapel.com.
Sama dengan mencari ikan, membuat garam bagi Agus juga melatih kesabaran. “Sesabar menghadapi omelan istri, katanya sambil tersenyum.

Tahun 2012, Agus memutuskan berhenti mengelola tambak garam. Sejak tahun itulah, ia fokus beternak dan menjadi nelayan.
Bagaimana masa depan nelayan? Agus menjawab pelan. Menurut dia, sebagai nelayan tulen tidak ingin anaknya menjadi nelayan. Karena risiko yang begitu besar, minimnya keamanan, dan minimnya pendapatan.
Agus bercerita, sekitar pukul 10 malam, ia melaut dan pulang ketika subuh. Jika waktu along atau timuran yakni ketika musim keberuntungan, ia mendapat lumayan banyak, sekitar 15 kg rajungan. Atau di lain waktu bisa mendapat 40 – 50 kg ikan. Rajungan biasa dijual Rp 50 ribu, dan ikan Rp 35 ribu per kg.
Hasil tangkapan itu langsung dibeli oleh tengkulak tanpa harus ia setorkan ke pasar. Namun jika sepi tangkapan, Agus hanya mendapat ikan 5 – 10 kg. Atau terkadang hanya membawa pulang 1 – 2 kg rajungan. Padahal, dapat sedikit atau banyak tangkapan, biaya operasional tetap sama: beli 20 liter solar dan biaya lain total sekitar Rp 250 ribu.
Ketika luang, Agus membuat bubu atau perangkap rajungan yang terbuat dari kawat dan senar. Sekali buat, ia mampu menghasilkan hingga 5 bubu. Bubu itu kemudian dijual dengan harga Rp 15.000 dengan bahan besi dan Rp 20.000 dengan bahan dari stainless.
Di tengah kondisi tidak pasti itulah, Agus bersyukur ada program pembibitan mangrove. Program diawali pelatihan pembibitan dan penanaman mangrove oleh EMCL bekerja sama dengan LIMA 2B.
Dari mengurus pembibitan inilah, Agus mendapatkan biaya tambahan untuk menghidupi istri dan dua anaknya. Setiap pukul 6 pagi dan 4 sore, ia menyirami bibit-bibit mangrove di nursery yang letaknya di bawah jembatan Brondong Lamongan. Di sampingnya, banyak perahu nelayan yang bersandar. Angin semilir menjadikan tempat ini begitu sejuk.

Bibit-bibit yang disemai pada tahun 2023 sudah ditanam semuanya. Lalu, dimulai pembibitan lagi pada 16 Mei 2024 dengan jenis Rizophora Mucronata. Tingginya sekarang sudah 80 centimeter.
“Harapannya dengan adanya program ini, ekonomi masyarakat di pesisir bisa semakin maju, dan bisa memanfaatkan sumber daya yang tersedia,” paparnya.
Mangrove sendiri sebenarnya bukan nama tumbuhan, melainkan sebutan untuk vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang-surut.
Mangrove, menurut Agus Salim, pendamping program dari LIMA 2B, memiliki banyak manfaat. Diantaranya bisa mencegah abrasi, menambah oksigen, akan menjadi kail untuk pengolahan hasil dari mangrove bila sudah berbuah.
“Hutan mangrove bila sudah terjadi, biota laut akan hidup kembali,” paparnya.
Pembibitan mangrove juga bisa menghemat pengeluaran. Nelayan yang biasanya membeli bibit mangrove di Cirebon, Surabaya, dan Bangil, kini bisa mendapatkan dengan mudah di daerahnya. Bibit mangrove yang dibudidaya juga dapat dijual kepada lembaga-lembaga yang membuat Ruang Terbuka Hijau (RTH).
“Ini menjadi peluang usaha baru bagi warga di sini untuk menambah pendapatan,” tegas Agus Salim.(penulis adalah mukaromatun nisa)