Oleh : Agus Sighro Budiono
DENGAN tidak adanya calon petahana pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro, sudah dipastikan tampuk kepemimpinan Kabupaten Bojonegoro akan berganti.
Ada sebuah harapan besar dari para pelaku seni dan Budaya Bojonegoro kepada pemerintah yang akan datang, yang diharapkan lebih akomodatif dan lebih Nguwongke Wong Jonegoro.
Sebab disaat kekuatan nation sedang tidak sehat dan gempuran budaya global tak terelakkan, semangat untuk menjadi populer, viral dan tampil beda semakin menguat. Terkadang keluar dari konteks ke Indonesiaan, apalagi ke Bojonegoro-an.
Aset natural, sosial, politik, dan budaya terus mengalami kebangkrutan dan bisa menjerumuskan pada proses self-destroying nation, penghancuran (rasa) kebangsaan dengan sendirinya, atau lebih ekstrim lagi bunuh diri ideolog.
Paradoks global memang sedang terjadi di Bojonegoro, daerah agraris yang memiliki konten lokal yang kuat ini sedang memimpikan menjadi masyarakat modern, senyampang dengan proses industrialisasi migas yang membawa konsekwensi berduyun-duyunnya para pelaku bisnis emas hitam itu dari berbagai daerah bahkan negara, yang tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup masyarakat.
Perubahan gaya hidup itu tanpa disadari telah menanggalkan identitas lokalnya. Persoalan identitas dan kritis budaya ini memiliki kaitan tali temali dengan variabel lain sehingga harus segera dipetakan secara komprehensif spektrum permasalahannya.
Sejarah bangsa-bangsa membuktikan, semua negara atau bangsa yang ingin maju harus memiliki modal akar budaya lokal yang kuat. Negara negara di asia yang menjadi pesaing negara negara Eropa dan Amerika, seperti Jepang misalnya, kental sekali ke-Jepang-annya. Begitu pula China, khas dan jelas ke-China-annya.
Bagaimana dengan Indonesia eabil khusus Bojonegoro yang kaya ini? Karena apabila salah urus, dan tidak mampu menjaganya menjadi ajimat, tentu malah rusak, dan tercerabut dari akarnya. Akibatnya, budaya unggul yang berakar pada budaya lokal itu tak menemukan rumah budayanya.
Kesadaran berbudaya unggul inilah yang musti kita titipkan ada siapapun yang akan memimpin kabupaten Bojonegoro. Apakah itu pasangan Setyo Wahono dan Nurul Azizah atau Teguh Hariyono dan Farida Hidayati.
Sang pemimpin baru diharapkan mampu dan bersedia mewujudkan mimpi para pelaku budaya di Bojonegoro, tentang adanya infrastruktur Kebudayaan yang representatif.
Di tahun pertama pemerintahan kelak, pasangan bupati dan wakil bupati terpilih harus segera mengakomodir gagasan semua elemen masyarakat, mulai dari kalangan birokrasi, budayawan, seniman, kalangan akademis hingga pengusaha dan pelaku ekonomi berbasis industri kreatif untuk bersama sama merumuskan peta jalan Kebudayaan Bojonegoro.
Tak dipungkiri, masyarakat kita secara umum masih membutuhkan munculnya pribadi-pribadi yang memberikan sumber inspirasi atau panutan pada masing-masing lingkungan. Mulai lingkungan masyarakat, korporasi, hingga birokrasi.
Dalam pandangan penulis, sebelum mimpi berdirinya infrastruktur Kebudayaan yang akan dibangun di Bojonegoro, ada dua hal yang harus ditancapkan bersama pengukuhan budaya, yaitu dengan pendidikan yang bagus dan dengan pemberdayaan masyarakat. Di sinilah diperlukan namanya leveled playing field, ruang bermain yang berlaku sama bagi semua warga.
Mereka yang mendapatkan kemajuan adalah mereka yang memang lebih kreatif, mereka yang lebih produktif, mereka yang bisa menghasilkan karya lebih baik. Investasi untuk tercapainya semua itu bukan hanya mahal, tetapi membutuhkan waktu yang panjang. Namun itu harus dilakukan karena jika tidak dilakukan, pilihan lain adalah Kabupaten Bojonegoro akan menjadi terbelakang dan hanya jadi obyek eksploitasi, seperti halnya daerah daerah tambang lain di Indonesia.
Dibalik strategi budaya, tidak hanya terdapat cita-cita, namun juga panduan nilai berbangsa dan bermasyarakat, daya kerja serta kemampuan memecahkan masalah.
Kebudayaan adalah dialektika antara yang kita warisi dan perkembangan peradaban yang kini tengah kita alami. Hanya saja, meski budaya merupakan proses dialektika, tetapi nilai, norma, adat, tetap mewarnai dan menjadi ciri khas dalam setiap perkembangan ke depan.
Kini yang bisa dilakukan adalah bagaimana mengaudit aset budaya yang tercerai-berai dan sudah ditinggalkan itu. Aset-aset budaya ini bisa berasal dari komunitas etnis, bisa juga aset-aset unggulan pada pribadi.
Bojonegoro punya peninggalan berupa kuburan Kalang, cungkup-cungkup, masjid-masjid kuno, artefak lingga-yoni, arca-arca, gua-gua selatan, asal-usul nama desa, gerakan Samin, kelompok aliran kebatinan, tari tayub, kesenian oklik, sandur, ketoprak lesung, wayang kulit, wayang krucil, tembang, tradisi lisan , tradisi tulis, upacara tradisi, adat-istiadat, batik, kerajinan gerabah, artistektur kolonial, rumah-rumah joglo dari kayu jati, perabot antik, sumur-sumur minyak tua, waduk, hingga eksotika bengawan solo.
Dari sisi teritorialnya pernah menjadi bagian dari kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram.
Strategi kebudayaan yang bersifat lokal mensyaratkan kemampuan menghidupkan konsep filosofis yang mendasarinya tanpa lepas dari aspek historisnya. Di sisi lain, mensyaratkan program kerja dan manajemen pemerintahan agar secara sosiologis mampu hidup dan dirasakan manfaatnya dalam berbagai bentuknya.
Karena itu, sekarang ke depannya bagaimana kita bisa menghargai lagi kekayaan lokal sebagai basis identitas nasional. Membentuk karakter bangsa dengan disertai penegasan identitasnya agar tak mudah lagi dipenetrasi budaya luar. Budaya lokal inilah yang akan memberikan kontribusi identitas nasional, karena identitas nasional tanpa punya akar lokal akan rapuh.
Oleh karena itu, kebutuhan tentang adanya infrastruktur Kebudayaan, seperti gedung kesenian, musium dan gedung perpustakaan yang representatif menjadi keniscayaan dan harus benar-benar direalisasikan. Sebab kalau hal ini tidak diwujudkan, sehebat apapun performa Kabupaten Bojonegoro akan tetap menjadi daerah tertinggal dan tidak berdaya dalam persaingan budaya global.
Untuk yang kelak terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati, saya ucapkan selamat menikmati lezatnya kekuasaan. Namun ingat pada akhirnya pasti akan ada ongkos yang harus kita bayar atas apa yang pernah kita nikmati.
Wassalam.
Agus Sighro Budiono
Penulis adalah mantan Wartawan yang saat ini melakukan kerja kerja kebudayaan.