SuaraBanyuurip.com – Pemerintah bakal menerapkan kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Kebijakan tersebut dinilai akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat dan perekonomian daerah.
Kaprodi Ekonomi Pembangunan Universitas Bojonegoro (Unigoro), M. Syaiful Anam, SE., MM., menuturkan, ada dua alasan pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pertama, pemerintah di bawah kepemimpinan presiden baru, Prabowo Subianto memiliki program prioritas yang menguras APBN. Sehingga dibutuhkan penerimaan negara lebih banyak.
Kedua, di tahun 2025 ada utang luar negeri yang jatuh tempo harus dibayar. Menurut Anam, secara prosentase kenaikan PPN satu persen tidak banyak. Dalam UU, ada range aturan yang membolehkan negara menaikkan pajak maksimal 15 persen dan minimal 5 persen.
“Jika dilihat dari efek yang akan muncul, justru masyarakat kelas menengah yang kena imbasnya. Mengapa? Pasti daya beli masyarakat akan turun dan tidak diimbangi naiknya pendapatan. Kelas menengah sama dengan kelas rentan. Tidak banyak instrumen perlindungan kelas sosial yang mereka dapatkan. Perlindungan sosial banyak diberikan pada masyarakat kelas bawah. Selain itu ada efeknya secara makro. Para investor yang akan berinvestasi di Indonesia akan berfikir ulang bagaimana stabilitas ekonomi di sana. Oh ternyata permintaan menurun, tentu kemungkinan investasi semakin sulit,” jelasnya, Selasa (26/11/24).
Anam melanjutkan, idealnya kenaikan PPN dilakukan saat ekonomi sedang membaik atau pertumbuhannya meningkat. Faktanya di kwartal ketiga 2024 pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah lima persen. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi belum stabil. Tak hanya itu, nominal kenaikan PPN satu persen tidak berdampak signifikan terhadap penerimaan negara.
“Tentu akan lebih banyak lagi income-nya jika pemerintah juga mengatur kembali masalah pajak kekayaan atau dibebankan kepada orang-orang kaya. Nah kalau ini dimaksimalkan, potensi yang dihasilkan negara mencapai Rp 81 Triliun. Kenaikan PPN tidak harus diperlakukan sekarang. Masih ada alternatif solusi penerimaan dari sektor yang lain,” imbuhnya.
Kandidat doktor ekonomi ini menambahkan, pemerintah daerah harus memiliki mitigasi ekonomi terhadap naiknya PPN. Akademisi wajib mengingatkan pemerintah bagaimana efek yang muncul nantinya. Terlebih jika kebijakan tersebut dilakukan kala perekonomian belum stabil.
“Mitigasi yang bisa dilakukan pemda adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat dengan naiknya PPN bukan hanya berbicara soal kepentingan pemerintah saja. Tetapi masyarakat harus paham bahwa ini (pajak) untuk kepentingan masyarakat, untuk pembiayaan masyarakat, di mana nanti akan dirasakan oleh masyarakat. Untuk pembiayaan jaminan sosial, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya. Jika masyarakat paham ada efek baik yang bisa dirasakan, saya yakin tidak akan ada gejolak,” tandas Anam.