SuaraBanyuurip.com – Paijan Sukmadikrama
Tuban – Perempuan, anak, dan warga miskin di wilayah Kabupaten Tuban, Jawa Timur belum mendapatkan prioritas layanan hukum dari pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu disaat mereka berhadapan dengan hukum, harus berjuang sendiri tanpa kehadiran pemerintah di sisinya.
Sementara itu, angka kekerasan dengan korban perempuan, anak, dan warga miskin di Bumi Ranggalawe sepanjang tahun 2024 mencapai 194 kasus. Angka perkara tersebut tak ubahnya fenomena gunung es di tengah samudra, sehingga dimungkinkan jumlahnya lebih banyak.
Demikian catatan tahunan dari LBH KP Ronggolawe Tuban, dalam menyambut Hari Pergerakan Perempuan tanggal 21 Desember 2024. Lembaga bantuan hukum ini menjelaskan, data kekerasan terhadap perempuan, anak dan warga miskin yang berhadapan dengan hukum yang ditangani institusinya.
Dalam rilis yang diterima SuaraBanyuurip.com, Kamis (19/12/2024), Direktur LBH KP Ronggolawe, Nunuk Fauziah, menyatakan, angka kekerasan terhadap perempuan, anak dan warga miskin hingga 194 kasus itu berdasarkan proses pendampingan litigasi, dan non litigasi yang ditangani lembaganya. Teknis pengaduannya melalui datang ke kantor, telepon, Whatsapp, Media Sosial, dan Email dari korban, keluarga, dan tetangga.
Jika dirinci, untuk kekerasan terhadap perempuan jumlahnya sebanyak 94 kasus, kekerasan yang menimpa anak sebanyak 48 kasus, dan warga miskin yang berhadapan dengan hukum sebanyak 52 kasus.
“Mereka kita layani dengan pendampingan melalui sistem kerja probono (tanpa biaya),” kata Nunuk Fauziah.
LBH KP Ronggolawe tak membedakan latar belakang ekonomi dan sosial dalam memberi bantuan hukum. Terlebih untuk kasus hukum yang menimpa warga miskin. Tersebab itu pula, setiap pemberian bantuan hukum selalu melibatkan Direktur, konselor, pengacara, dan paralegal yang memiliki kapasitas sesuai kemampuan masing-masing.
Ia tambahkan, pihaknya memiliki semangat juang untuk memberikan layanan hukum gratis kepada masyarakat. Targetnya memberikan perlindungan, kepastian hukum, dan memperjuangkan hak-haknya baik sebagai korban kekerasan, serta warga yang dimiskinkan oleh keadaan.
Menurut Nunuk Fauziah, kasus kekerasan dengan korban perempuan dan anak seperti fenomena gunung es di tengah lautan. Bisa jadi yang tidak dilaporkan jumlahnya lebih besar.
Sedangkan warga miskin yang berhadapan dengan hukum, tidak semuanya mampu mengakses layanan hukum secara cuma-cuma. Hal ini berakibat pada masih banyaknya warga miskin tidak bisa membela dirinya, dan memperjuangkan nasibnya.
“Ujung-ujungnya karena ketidakmampuan tersebut, mereka hanya pasrah menerima keputusan pengadilan, tanpa mampu membela dirinya,” ungkap Nunuk Fauziah.
Sedangkan jenis kasus kekerasan terhadap perempuan, dan anak yang didampingi LBH ini, antara lain, Kekerasan Seksual (KS), Kekerasan Terhadap Istri (KTI), Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), Pencabulan, PKS, pernikahan anak, dan Kekerasan Terhadap Anak (KTA) . Sedangkan kasus warga miskin yang berhadapan dengan hukum terdiri dari sambung ayam, penculikan pacar, pembunuhan selingkuhan, judi remi, laka lantas, pencemaran nama baik, tawuran, dobel L, dan gizi buruk.
Latar belakang korban, usianya lebih muda, pendidikan rendah, berasal dari pedesaan, dan dari keluarga miskin. Sementara pelakunya, sudah berusia dewasa, pendidikanya lebih tinggi, memiliki pekerjaan, dan pejabat publik.
“Sedangkan warga miskin yang berhadapan dengan hukum berpendidikan sangat rendah, dan dalam lingkaran keluarga miskin,” papar Nunuk Fauziah.
Dari jenis kasus dan latar belakang pelaku, menunjukkan fakta bahwa sesungguhnya akar masalahya bersumber dari ketimpangan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Pelaku memiliki pengaruh yang sangat kuat sebagai pejabat publik, seperti kekuasaan politik, jabatan, dan tokoh agama.
Secara regulatif, perempuan mantan aktifis PMII ini mengakui, jika sesungguhnya negara telah hadir dengan lahirnya peraturan hukum yang responsif terhadap perempuan, anak dan warga miskin. Yakin dalam bentuk peraturan perundang-undangan, diantaranya, UU Nomor: 23 tahun 2005 tentang PKDRT, UU Nomor: 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor: 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, UU Nomor: 21 Tahun 2007 tentang TPPO, UU Nomor: 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, UU Nomor: 12 tahun 2022 tentang TPKS, dan UU Nomor: 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Namun sangat disayangkan Pemkab Tuban, tambah Nunuk Fauziah, belum bisa menerjemahkan subtansi dari beberapa undang-undang tersebut. Kenyataanya Bupati Tuban tidak serius dalam memberikan layanan kepada perempuan, dan anak korban kekerasan, serta warga miskin yang berhadapan dengan hukum.
Untuk itu demi memperkuat perlindungan hukum, dan perangkatnya LBH KP Ronggolawe mendesak dengan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
Pertama, DPRD Kabupaten Tuban, Segera menetapkan tim evaluasi dan monitoring pelaksanaan PERDA serta anggaran perlindungan perempuan korban kekerasan. Kedua, meningkatkan alokasi dana untuk layanan, dan pemulihan korban serta warga miskin yang berhadapan dengan hukum seperti operasional lembaga layanan, konseling psikologis, visum, bantuan hukum, tindakan medis lanjutan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia berperspektif korban.
Ketiga, membangun mekanisme pencegahan, penanganan kekerasan tindak pidana kekerasan seksual, dan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Keluarga (PKDRT) di lingkungan kerja DPRD Kabupaten Tuban. Keempat, mendesak Bupati Tuban segera mengesahkan Peraturan Bupati tentang pelaksanaan Perda Nomor: 22 Tahun 2018 tentang Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin.
Rekomendasi kelima, Bupati dan Wakil Bupati harus meningkatkan keterlibatan, dan kehadiran dalam mengawal pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi kinerja satuan tim P2TP2A dengan leading sektor di Dinas Sosial, maupun dinas terkait lainnya.
“Semoga rekomendasi yang kami sampaikan menjadi perhatian khusus, dan ada langkah konkrit untuk pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan bagi warga miskin yang berhadapan dengan hukum,” pungkas Nunuk Fauziah. (jan)