SuaraBanyuurip.com – Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Bojonegoro berbatasan dengan beberapa daerah di Jatim, dan satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.
Di sebelah utara, Kabupaten Bojonegoro berbatasan dengan Kabupaten Tuban. Sebelah timur adalah Kabupaten Lamongan, Barat berbatasan Kabupaten Ngawi dan Blora, Jawa Tengah, serta selatan Kabupaten Ngajuk dan Jombang.
Secara geografis, sederhananya wilayah Kabupaten Bojonegoro terbagi menjadi dua. Yakni sebelah utara dan selatan sungai Bengawan Solo.
Jumlah penduduk di Kabupaten Bojonegoro sebanyak 1,37 juta jiwa yang tersebar di 319 desa dan 11 kelurahan di 28 kecamatan. Luas Kabupaten Bojonegoro adalah 2.307,06 kilometer persegi. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.
Dibanding kabupaten lain, Bojonegoro lebih beruntung karena memiliki sumber daya alam (SDA) berupa migas yang melimpah. Lapangan migas terbesar kedua di Indonesia berada di Kabupaten Bojonegoro, yakni Blok Cepu.
Produksi Blok Cepu sekarang ini berada di angka kisaran 144.000 barel per hari (bph), atau menurun dari sebelumnya yang mencapai 220.000 bph.
Sebagai daerah penghasil migas, Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2024 menjadi kabupaten terkaya kedua di Jatim dan diurutan keenam kabupaten terkaya di Indonesia. APBD Bojonegoro mencapai Rp 8,7 triliun.
Namun siapa sangka, Kabupaten Bojonegoro memiliki sejumlah fakta yang membikin syok. Fakta-fakta ini tidak sesuai dengan predikat yang disandang Bojonegoro, kabupaten kaya dengan sumber migas melimpah.
Berikut fakta-fakta bikin syok tentang Bojonegoro :
1. Kemiskinan Tinggi
Meski Kabupaten Bojonegoro memiliki APBD besar, namun angka kemiskinannya masih tinggi. Kemiskinan Bojonegoro berada di urutan 27 dari 38 kabupaten kota di Jatim.
APBD Bojonegoro tahun 2023 yang mencapai di atas Rp 7 triliun tidak mampu mengintervensi masalah kemiskinan. Laju penurunan kemiskinan lambat. Pada tahun 2023, penurunan kemisinan Bojonegoro hanya sebesar 150 jiwa dibanding 2022. Atau dari kemiskinan sebanyak 153,40 ribu jiwa (12,21%) pada 2022, turun menjadi 153,25 ribu jiwa (12,18) di 2023.
Pada 2024, APBD Bojonegoro mencapai Rp 8,7 triliun. Namun, angka kemiskinan masih sebanyak 147.330 jiwa hingga Maret 2024. Jumlah tersebut turun 5.920 jiwa dibandingkan pada Maret 2023 lalu, yang mencapai 153.253 ribu jiwa.
Sebelumnya, pada 2019 angka kemiskinan Bojonegoro di angka 12,38 persen. Selanjutnya, 12,87 persen di 2020 dan 13,87 persen pada 2021. Artinya, angka kemiskinan Bojonegoro sejak 2018, 2019, 2020, 2021, 2022, 2023 dan 2024 stagnan berada pada ranking tetap, ke 27 dari 38 kabupaten di Jatim.
2. Angka Stunting Tinggi
Selain kemiskinan, angka Stunting di Kabupaten Bojonegoro masih tinggi. Hasil bulan timbang bayi pada Agustus 2022 sebanyak 74.626 balita dengan prevalensi 2.225 balita stunting atau 2,97 persen.
Sedangkan pada Februari 2023 jumlahnya turun menjadi 2.027 balita stunting dari total 74.443 balita, sehingga prevalensinya 2,76 persen.
Namun, data hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022. Prevalensi stunting di Bojonegoro dari 2021 ke 2022 alami kenaikan sekitar 0,4 persen. Pada 2021, prevalensi balita stunting 23,9 persen, sedangkan pada 2022 naik menjadi 24,3 persen.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, prevalensi stunting di Kabupaten Bojonegoro pada April 2024 mencapai 14,1 persen. Angka ini merupakan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, di mana prevalensi stunting berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 adalah 24,3 persen.
Sementara data bulan timbang pada April 2024 mencatat jumlah balita stunting di Kabupaten Bojonegoro sebanyak 1.387 anak dengan prevalensi 1,96 persen.
3. Pertumbuhan Ekonomi Rendah
Bukan hanya laju penurun kemiskinan melambat. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bojonegoro juga kalah dibanding kabupaten tetangga seperti Tuban, dan Lamongan. Juga di bawah nasional.
Pertumbuhan ekonomi Bojonegoro mulai minus pada tahun 2020 yaknk minus 0.40%, tahun 2021 minus 5,54 %, tahun 2022 minus 6,16 % dan baru tahun 2023 menunjukan kinerja postif diangka 2,47 %.
Pada triwulan II 2024 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bojonegoro tercatat terendah di Jatim, yakni sebesar 1,72 persen, jauh lebih rendah dari Kabupaten Lamongan sebesar 7,61 persen year on year (yoy).
4. Pengangguran Terus Meningkat
Keberadaan industri migas tidak mampu mengurangai angka penganguran di Kabupaten Bojonegoro. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Diperinaker) setempat, jumlah pencari kerja terus meningkat setiap tahunnya.
Jumlah pencari kerja pada tahun 2020, tercatat sebanyak 1.170 orang, tahun 2021 sebanyak 1.549 orang, pada tahun 2022 naik menjadi 2.063 orang, dan pada 2023 naik lagi menjadi 2.564 pencari kerja. Ribuan para pencari kerja ini berasal dari lulusan SMP hingga sarjana.
Sementara hingga Mei 2024, tercatat 1.009 pencari kerja (pencaker) atau penganggur rata-rata masih didominasi lulusan SMK. Rinciannya, lulusan sekolah dasar (SD) 27 pencaker, sekolah menengah pertama (SMP) 37 pencaker, madrasah tsanawiyah (MTs) 7 pencaker, sekolah menengah atas (SMA) sebanyak 114 dan madrasah aliyah (MA) 39 pencaker.
Berikutnya, lulusan SMK sebanyak 666 , D-1 sebanyak 3, D-IV/S-1dan S-2 ada 1 pencaker. Lalu lulusan D-III berjumlah 15, serta S-1 sebanyak 99 pencari kerja. Data tersebut berdasarkan permintaan kartu tanda pencari kerja atau AK1 ber-KTP (kartu tanda penduduk) Bojonegoro, dan berpotensi naik hingga akhir 2024.
Penyebab masih tingginya angka pengangguran ini dikarenakan minimnya perusahaan berskala besar masuk Bojonegoro. Khususnya padat karya.
5. Silpa APBD Selalu di Atas Rp 2 Triliun
Besarnya APBD Kabupaten Bojonegoro, tidak diimbangi dengan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Terbukti sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) APBD Bojonegoro terus meningkat setiap tahunnya di atas Rp 2 triliun. Bahkan sisa anggaran yang tidak bisa dibelanjakan ini jumlahnya melebihi APBD kabupaten tetangga seperti Blora, Tuban, dan Lamongan.
Tingginya Silpa APBD Bojonegoro terjadi mulai tahun 2019 yakni mencapai Rp2,2 triliun. Kemudian meningkat lagi pada 2020 menjadi Rp2,3 triliun, 2021 sebesar Rp2,8 triliun, dan tahun 2022 menembus Rp 3 triliun atau tertinggi di Indonesia.
Selanjutnya tahun 2023, Silpa APBD Bojonegoro mencapai Rp 2,9 triliun dan 2024 diperkirakan mencapai sebesar Rp 3,7 triliun.
6. Langganan Banjir dan Kekeringan
Rendeng gak iso ndodok, tigo gak iso cewok (musim hujan tidak bisa duduk, musim kemarau tidak bisa cebok). Paribahasa ini pantas untuk menggambarkan Kabupaten Bojonegoro. Sebab, setiap musim penghujan wilayah Bojonegoro banyak tergenang banjir. Sementara pada musim kemarau, banyak wilayah yang dilanda kekeringan dan krisis air bersih.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bojonegoro, ada 88 desa di 15 kecamatan di bantaran Sungai Bengawan Solo menjadi langganan banjir. Banjir ini lebih disebabkan oleh luapan Bengawan Solo.
Jumlah tersebut belum desa-desa di wilayah pinggiran hutan yang kerap menjadi amuk banjir bandang. Seperti wilayah Sekar, Gondang, Temayang, Tambakrejo, Dander, Sugihwaras, Kedungadem.
Sementara jumlah desa di Kabupaten Bojonegoro yang rawan kekeringan atau krisis air bersih sebanyak 69 desa yang tersebar di 14 kecamatan. Desa-desa tersebut rerat berada di pinggiran hutan.
Harusnya dengan APBD besar Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dapat menyelesaikan persoalan tersebut dengan menata dan membangun saluran air. Serta membangun jaringan air bersih secara merata hingga pelosok desa di Kabupaten Bojonegoro.