Memaknai Bangga Bojonegoro sebagai Konsep Ideologis

Oleh: A. Wahyu Rizkiawan

Membaca Kebanggaan atas Bojonegoro dari sudut pandang teologis, historis, resources, hingga konsep ideologis.

Setyo Wahono dan Nurul Azizah menjadikan istilah “Bojonegoro Membanggakan” sebagai salah satu poros visi pemerintahan. Kredo Bangga Bojonegoro, sepatutnya menjadi kosep ideologis yang bisa dipahami secara jelas. Sehingga tak berakhir sebagai slogan yang mudah dilupakan.

Bojonegoro tak pernah kekurangan aset kebanggaan. Sebab, Bojonegoro adalah kota yang lengkap. Baik dari sisi Sumber Daya Alam (hutan, sungai, dan pegunungan), Sumber Daya Sejarah-Kebudayaan, atau Sumber Daya Energi. Namun, rendahnya Local Pride membuat itu semua seperti tak pernah dimiliki. Di sinilah, urgensi “Kebanggaan” memang patut dimunculkan.

Kebesaran dan kejayaan Bojonegoro tak hanya bersumber dari dongeng. Tapi terpahat pada sejumlah prasasti, tergurat pada bermacam manuskrip, dan tercatat dalam data BPS. Namun karena sikap inferioritas (rendah diri), kebesaran dan kejayaan itu seperti tak pernah dimiliki, apalagi diteliti. Bahkan terkesan seperti dibiarkan hilang ditelan waktu.

Landasan Teologis

Sikap primordialisme (ikatan emosi berbasis norma dan niliai-nilai kedaerahan), memang cukup penting untuk dimunculkan. Primordialisme, menjadi pilar penting dalam memperkuat dan membangun corak nasionalisme kebangsaan. Begitupun primordialisme terhadap Bojonegoro.

Memunculkan dan membangun Kebanggaan atas Bojonegoro, adalah bagian dari sikap primordialisme yang  memiliki landasan teologis kuat. Sehingga, asal diimplementasikan secara tepat, tidak perlu takut berdosa untuk membangun dan memunculkan “Kebanggaan” daerah tersebut sebagai karakter pemerintahan.

Dalam sebuah riwayat, Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya: “Alangkah baiknya kau sebagai negeri (kota) dan betapa cintanya diriku padamu. Seandainya kaumku tidak mengusirku darimu (Makkah), niscaya aku tidak akan tinggal di kota selainmu.”_ (HR. At-Tirmidzi).

Ketika Nabi Muhammad SAW harus meninggalkan Makkah dan menetap di Madinah, beliau selalu merindukan tanah airnya. Meski saat itu Madinah adalah  tempat yang kondusif dan aman, tetap tak menghilangkan rasa cinta beliau pada Makkah, sebagai tanah kelahirannya.

Hadits ini menunjukan bahwa cinta pada kota kelahiran merupakan bagian dari fitrah manusia. Kemanapun seseorang itu pergi untuk menjemput kesuksesan (belajar atau bekerja), cinta dan rindu pada tanah air (tempat kelahiran) akan tetap selalu dirasakan. Dan itu bersanad pada Nabi Muhammad SAW.

Dalam riwayat lainnya, Nabi Muhammad SAW juga bersabda, yang artinya: “Ya Allah, jadikan kami cinta Madinah, sebagaimana cinta kami kepada Makkah, atau melebihi Makkah”_ (HR al-Bukhari).

Dari hadits di atas kita tahu, mencintai dan mendoakan kebaikan atas sebuah kota (wilayah), baik itu kota tempat kelahiran, kota tempat menuntut ilmu, atau kota tempat mencari nafkah sehari-hari, adalah sunah yang dicontohkan langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Dari hadits-hadits di atas, kita tahu bahwa memunculkan Kebanggaan atas Bojonegoro, selain memang pantas dan perlu, juga didukung dalil teologis yang cukup kuat. Terlebih jika konsep “Bangga Bojonegoro” tersebut diimplementasikan dan dijalankan secara tepat.

Landasan Historis

Bojonegoro sebagai sebuah wilayah berperadaban, memiliki catatan historis cukup panjang. Pada tahun 903 M (abad 10 M), masyarakat Bojonegoro, khususnya di wilayah Telang Malo, sudah mampu mencium dan mendeteksi keberadaan minyak bumi (lenga). Mereka juga sudah mampu memproduksinya sebagai komoditas sosial. Informasi ini tercatat empiris pada Prasasti Telang (903 M) yang ditulis Raja Dyah Balitung, pemimpin Medang Kuno.

Kebesaran peradaban Bojonegoro juga tercatat empiris pada Prasasti Sangsang (907 M) yang menyebut secara tegas bahwa wilayah Pagerwesi Trucuk, telah menjadi pusat produksi logam, transaksi minyak bumi, dan tempat hilir mudik komoditas perdagangan. Prasasti Sangsang (907 M) yang ditulis Raja Dyah Balitung ini mempertegas informasi dari Prasasti Telang (903 M), bahwa peradaban Bojonegoro sudah cukup maju, bahkan di awal abad 10 M.

Pada tahun 1264 M, Maharaja Wisnuwardhana menetapkan Maribong (Bojonegoro) sebagai kawasan Para Begawan. Bumi keramat yang diberi status Bhinnasantralokapalaka (penentram dan penyatu dunia). Para Begawan Maribong telah membantu kakek Wisnuwardhana (Ken Arok) dalam menentramkan dan menyatukan dunia. Atas bantuan itu, Singashari bisa berdiri. Itu alasan Wisnuwardhana sangat hormat pada para Begawan Bojonegoro.

Bhinnasantralokapalaka, secara empiris, tercatat sebagai identitas “endemik” Bojonegoro — sebagai wilayah penyatu dan penentram Nusantara. Kaidah Bhinnasantralokapalaka tak ditemukan di belahan bumi manapun, kecuali di Maribong (Bojonegoro). Itu hanya bagian kecil dari kebesaran Bojonegoro dalam catatan empiris sejarah. Ada cukup banyak kebesaran-kebesaran lain, khususnya di era Majapahit yang lebih baru dan datang belakangan.

Landasan Resources

Bojonegoro menjadi salah satu wilayah yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) atau resources cukup lengkap. Mulai dari SDA Hutan Jati, SDA sungai Bengawan, hingga SDA Pegunungan Kapur. Keberadaan masing-masing SDA terbukti mampu membawa Bojonegoro melintasi bermacam zaman dengan bermacam berkah kesejahteraan.

Meski kini banyak gundulnya, Bojonegoro pernah menoreh prestasi sebagai produsen jati terbaik dunia. Ada banyak data untuk membuktikannya. Catatan para pelancong Belanda pada abad 19 M yang tersimpan di Delpher, menyebut secara tegas Bojonegoro sebagai surga jati alam. Tanah Bojonegoro yang berkapur, mampu memproduksi jati-jati kapur primadona yang tak ditemui di negara-negara lain.

Data Balai PSDA Bengawan Solo (2006) menyebut, Bojonegoro adalah wilayah paling besar “mendominasi” sungai Bengawan. Secara empiris, dominasi Bojonegoro atas sungai Bengawan sebesar (2,307.06 km2 / 10,84 %). Dominasi Bojonegoro berada jauh di atas Wonogiri, Madiun, Ngawi, Lamongan, Tuban, dan Gresik. Bahkan, dominasi Bojonegoro terhadap sungai Bengawan, 53 kali lipat Surakarta (Solo) yang hanya 44,03 km / 0,21% saja.

Dominasi Bojonegoro atas sungai Bengawan, pernah membawa nama Bojonegoro sebagai penguasa transportasi maritim sungai. Tercatat sejak era Majapahit hingga Kesultanam Pajang, Bojonegoro dikenal sebagai wilayah yang mampu mengendalikan peradaban pesisir (laut) dan peradaban pedalaman (pegunungan) Jawa. Kemakmuran wilayah hulu dan hilir ada di tangan Bojonegoro.

Selain hutan jati dan lajur Bengawan, Bojonegoro juga diberkahi keberadaan Pegunungan Kendeng Utara Jawa. Secara geografis, Bojonegoro diapit baris Pegunungan Kendeng Utara Jawa bagian utara (membentang dari Kedewan hingga Malo), dan Pegunungan Kendeng Utara Jawa bagian selatan (membentang dari Margomulyo hingga Kedungadem).

Selain itu, Bojonegoro juga memiliki Gunung Pandan, puncak tertinggi sekaligus satu-satunya Gunung Purba di barisan Pegunungan Kendeng. Ini menjadi alasan Bojonegoro selalu menjadi pusat peradaban di berbagai zaman. Buktinya, bermacam prasasti dari zaman Medang Kuno, Kahuripan, Singashari, hingga Majapahit secara urut menulis wilayah Bojonegoro.

Konsep Ideologis*

Keberadaan landasan teologis, landasan hustoris, hingga landasan resources yang berhubungan dengan kebanggaan atas Bojonegoro di atas, sudah sepatutnya membentuk ikatan ideologi — gagasan, keyakinan, dan cita-cita kolektif yang diyakini kebenarannya, sehingga menjadi landasan berpikir masyarakat.

Bangga Bojonegoro sebagai konsep ideologis dinilai penting sebagai ageman primordialisme konstruktif. Sehingga, makna “bangga” tidak bias pada perihal remeh-temeh yang sesungguhnya tak memiliki manfaat apapun bagi masyarakat. Kebanggaan kolektif, akan mendorong segala kebijakan berporos pada kaidah_Khoirunnas Anfauhum Linnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia).

Penulis adalah dinamisator literasi dan periset partikelir

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait