Oleh : Anggie Syahwala Shofa
Di era serba digital, hampir semua aktivitas manusia meninggalkan jejak di internet. Mulai dari komentar di media sosial, unggahan foto, hingga data pribadi dalam aplikasi, semuanya terekam sebagai jejak digital. Masalahnya, jejak ini tidak bisa benar-benar dihapus dan justru berpotensi menimbulkan persoalan hukum.
Banyak orang mengira bahwa menghapus unggahan berarti menutup masalah. Faktanya, jejak digital bisa tersimpan melalui screenshot, arsip mesin pencari, atau data yang sudah tersebar ke pengguna lain. Inilah yang membuat konten lama sering muncul kembali dan menjadi bukti dalam kasus hukum.
Beberapa contoh kasus sudah terjadi di Indonesia. Ada remaja yang dipolisikan gara-gara komentarnya di media sosial yang bernada penghinaan. Meski sudah dihapus, tangkapan layar tetap digunakan sebagai barang bukti. Ada juga kasus kebocoran data pengguna aplikasi digital yang membuat data pribadi rentan dipakai untuk penipuan.
Landasan Hukum Jejak Digital
Dalam hukum Indonesia, jejak digital masuk kategori bukti elektronik. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan aturan tersebut, komentar, unggahan, atau pesan yang ada di internet bisa dipakai sebagai alat bukti sah di pengadilan.
Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) juga mewajibkan perusahaan melindungi data pengguna. Jika lalai, perusahaan bisa dikenai denda hingga sanksi pidana.
“Jejak digital tidak bisa dianggap remeh. Sekali tersebar, akan sulit menghapusnya. Karena itu masyarakat harus berhati-hati dan memahami konsekuensi hukumnya,” kata seorang pakar hukum siber dari sebuah universitas di Jakarta.
Ancaman Nyata di Era Siber
Jejak digital bisa menimbulkan berbagai risiko serius. Konten yang diunggah di media sosial, seperti ujaran kebencian, hoaks, atau penghinaan, dapat berujung pada jerat hukum. Kebocoran data pribadi pun tak kalah berbahaya karena bisa dimanfaatkan untuk penipuan, peretasan akun, bahkan pencurian identitas. Selain itu, rekam digital yang buruk berpotensi merusak reputasi seseorang dalam jangka panjang, baik di dunia kerja maupun sosial. Bagi perusahaan, kelalaian menjaga keamanan data juga bisa berakhir pada gugatan hukum dan hilangnya kepercayaan publik.
Bijak Berinternet, Hindari Masalah Hukum!
Untuk mencegah berbagai ancaman tersebut, masyarakat perlu membiasakan sikap hati-hati di dunia maya. Memikirkan dampak sebelum mengunggah konten, memperkuat keamanan akun dengan kata sandi dan verifikasi ganda, serta membatasi informasi pribadi yang dibagikan merupakan langkah sederhana namun penting. Selain itu, memahami aturan hukum seperti UU ITE dan UU PDP bisa membantu masyarakat lebih waspada terhadap risiko hukum. Perusahaan penyedia layanan digital pun perlu lebih transparan dan bertanggung jawab dalam menjaga data pengguna agar kepercayaan publik tetap terjaga.
Jejak digital adalah bayangan yang selalu mengikuti kita di dunia maya. Sekali tercipta, sulit dihapus sepenuhnya. Karena itu, masyarakat perlu lebih bijak dalam beraktivitas di internet agar terhindar dari ancaman hukum di era siber.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura