Oleh : M. Mariyono Wiraharjo
Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, sempat menjadi perbincangan hangat publik. Setelah Bojonegoro disebut oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ketika menyoroti anggaran sejumlah daerah yang masih menyisakan surplus besar di akhir tahun. Uang itu tidak terpakai dan mengendap di kas daerah.
Di mana dana sekira Rp3,6 triliun yang masih mengendap di Kas Daerah Bojonegoro. Tak pelak respon cepat datang dari berbagai pihak, tak terkecuali kalangan muda perihal dana tersebut yang belum digerakkan untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat.
Di tengah tantangan ekonomi dan berbagai persoalan yang terus menekan, kabar anggaran belum terserap secara optimal tentu menumbuhkan rasa heran. Meski sejatinya perihal pengendapan uang triliunan ini telah terjadi sejak era pemimpin Bojonegoro sebelumnya.
Dirangkum dari berbagai sumber, terkait hal itu Pemkab Bojonegoro telah memberi penjelasan bahwa dana tersebut merupakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) yang dipertahankan sebagai bantalan fiskal.
Uang APBD 2025 sebesar Rp3,6 triliun yang disimpan di bank untuk menyiapkan potensi penurunan dana transfer ke daerah (TKD) di 2026 mendatang. Anggaran tersebut merupakan strategi fiskal yang dipasang secara hati-hati.
Jadi dana Rp 3,6 triliun yang masih tersimpan di bank bukan uang menganggur. Itu merupakan langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas fiskal menghadapi penurunan dana transfer pusat tahun depan yang diproyeksikan turun.
Alasan lainnya karena APBD 2025 Kabupaten Bojonegoro memiliki postur pendapatan sekitar Rp5,8 triliun, sedangkan belanja mencapai Rp7,8 triliun. Sehingga, terjadi defisit sekitar Rp2 triliun yang ditutup melalui silpa hasil audit tahun sebelumnya. Kebijakan ini sebagai wujud pengelolaan keuangan yang hati-hati, agar program prioritas masyarakat tidak terganggu dengan adanya perubahan fiskal nasional ke depan. (Sumber SuaraBanyuurip.com tayang pada 28/10/2025. Judul Pemkab Bojonegoro Klaim Rp 3,6 Triliun di Bank Bukan Uang Menganggur).
Penulis berpandangan, penjelasan administratif itu dapat diterima di atas kertas. Namun bagi masyarakat belum cukup menjawab kondisi riil yang dirasakan. Karena masih banyak kebutuhan dasar tertunda, sehingga dana itu harus segera dimanfaatkan.
Kalau alasannya cadangan, maka harus ada roadmap jelas untuk pemanfaatannya. Jangan sampai hanya mengendap tanpa arah. Di sini kepekaan Pemkab Bojonegoro diuji. Yakni harus lebih cepat, dan tanggap dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat di segala bidang.
Di banyak kecamatan, masih banyak dirasa ketimpangan yang tak bisa diabaikan, dan perlu segara mendapatkan penanganan. Lapangan kerja terbatas membuat banyak anak muda meninggalkan kampung halaman demi mengadu nasib di luar daerah.
Gelombang perantauan ini menciptakan fenomena brain drain yang pelan tapi pasti menggerus potensi daerah. Kondisi ini tak hanya memisahkan keluarga, namun juga melemahkan potensi sosial serta mengancam keberlanjutan budaya lokal.
Di saat yang sama, daerah penghasil migas ini masih menyimpan wajah keluarga rentan yang belum sepenuhnya terangkat secara produktif. Kesenjangan antara kekayaan wilayah dan kondisi
sosial ekonomi warga menjadi persoalan klasik yang harus segera terselesaikan.
Banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sulitnya mendapatkan dukungan konkret untuk pengembangan usaha. Di tingkat desa, kesenjangan tampak antara wilayah yang memiliki akses ekonomi dan yang tidak. Komunitas kreatif pun berjalan tanpa dukungan memadai, padahal mereka memiliki potensi besar dalam menciptakan peluang ekonomi berbasis
budaya dan inovasi.
Penulis berpandangan bahwa anggaran publik harus kembali berdampak bagi masyarakat. Pentingnya arah pembangunan yang lebih inklusif dan humanis. Uang yang ada harus hidup, bukan tidur, dan harus bergerak ke masyarakat, terutama yang paling membutuhkan.
Mengalirkan anggaran ke sektor yang produktif dan dekat dengan warga menjadi kunci mengurangi ketimpangan. Tiga hal penting yang pelu dilakukan yakni, transparansi pengelolaan,
penyaluran ke sektor sosial yang menghasilkan nilai, serta keterlibatan masyarakat sipil dalam perencanaan agar program tidak salah sasaran.
Kendati, penulis menyadari bahwa pengendapan dana triliunan rupiah seperti ini telah terjadi dan mencuat ke publik sejak era sebelumnya. Sehingga pemimpin yang sekarang tak sepenuhnya patut untuk disalahkan. Karena apa yang dijalankan saat ini tentu meneruskan kebijakan-kebijakan yang telah disetujui oleh para pihak terkait pada era sebelumnya. Sebab itu perlu adanya pemikiran dan pemahaman yang bijak dalam menangkap setiap isu yang berkembang.
Meski demikian, diharapkan Pemkab Bojonegoro agar terus meningkatkan program yang dicanangkan tentu berorientasi terhadap peningkatan ekonomi untuk menuju kesejahteraan warga masyarakat Bojonegoro. Seperti melalui program GAYATRI yang sudah bergeliat dan berjalan cukup bagus.
Selain itu, dalam mengurangi pengangguran, Pemkab Bojonegoro perlu mengambil langkah tegas dalam menciptakan peluang kerja bagi generasi muda usia kerja. Mengingat Bojonegoro merupakan penghasil migas, tentu bisa melihat tenaga kerja yang ada di masing-masing lokasi migas di Kabupaten Bojonegoro.
Perlu diprioritaskan tenaga kerja dari desa terdampak (khusus tenaga kerja lokal desa penghasil dan desa ring 1 serta ring 2). Agar pengangguran di desa sekitar terkurangi dan mereka tidak lagi merantau ke daerah lain. Selain penciptaan peluang kerja dari program lainnya.
Semoga hal tersebut dapat membantu mewujudkan upaya Pemkab Bojonegoro ke depan menjadi daerah yang Makmur, Sejahtera dan Membanggakan.
Penulis adalah Ketua Yayasan Sosial dan Budaya Bojonegoro, M. Mariyono Wiraharjo.





