SuaraBanyuurip.com – Ririn Widya
Dana bagi hasil migas yang diterima daerah dirasakan belum menampakkan nilai keadilan. Sebagai daerah penghasil Bupati Bojonegoro memberikan kesaksian dalam uji materi UU 33/2004, di arena persidangan Mahkamah Konstitusi. .
Beberapa waktu lalu Majelis Rakyat Kalimantan Timur dan 6 orang lainnya,  memohon atas pengujian UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitudsi (MK) Republik Indonesia di Jakarta.
Permohonan ini dilayangkan seiring maraknya tuntutan rakyat di daerah terhadap kebijakan keuangan yang masih dianggap sentralistis. Selain juga kurang berpihak kepada daerah otonom di bawahnya.
Kalimantan Timur adalah lumbung minyak dan gas nasional. Diwakili Majelis Rakyat setempat, tidak puas dengan perimbangan bagi hasil eksplorasi yang dianggap tidak adil. Sebenarnya daerah ini bukan satu-satunya daerah yang kurang diuntungkan.
Kondisi itu juga menimpa Sumatera Utara (Sumut), dalam pernyataannya di media massa, Sekdaprov Sumut RE Naingolan menyatakan, luas perkebunan di Sumatera Utara lebih kurang 1 juta ha, dengan CPO yang dihasilkan sebanyak 1.696 juta ton, atau senilai Rp 10,7 triliun, dari hasil tersebut Pemprov Sumut hanya mendapat lebih kurang dari Rp 1 triliun. Sisanya langsung ke pusat sehingga dinilai tidak berpihak pada daerah.
Pasal 14 dan 15 UU 33/2004 menyebut, perimbangan atas pertambangan minyak bumi di daerah adalah 84,5 % untuk pemerintah (pusat) dan 15,5 % untuk daerah. Sedangkan pada pertambangan gas bumi yang ada di daerah, proporsinya  69,5 % untuk pemerintah pusat dan 30,5 % untuk daerah.
Realitas bagi hasil dalam system dana perimbangan itulah yang diusung untuk direvisi. Proporsi itu pula yang oleh MK dibahas secara serius dalam persidangan di Jakarta. Pemohon meminta MK untuk menguji materi dari pasal tersebut.
Di arena persidangan MK tersebut, hadir sebagai saksi adalah Bupati Bojonegoro H Suyoto. Politisi asal Desa Bakung, Kecamatan Kanor, Bojonegoro ini memberikan kesaksian karena daerahnya juga sebagai daerah penghasil sektor migas.
“Yang dialami Kalimantan Timur dan Sumatera Utara itu juga menimpa Bojonegoro,†kata Bupati Suyoto.
Bojonegoro yang memiliki luas 230.000 ha lebih, dengan rakyat 1,4 juta jiwa, rakyat miskin 77.000 KK, indeks pembangunan manusia 66 ini, adalah nomor 30 di antara 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur. Posisi kemiskinan juga masih masuk 10 besar di antara kabupaten/kota di daerah setempat. Artinya Bojonegoro daerah termiskin, dengan struktur tanah gerak, dan menjadi langganan banjir. Kalau harus mengandalkan sumber daya manusia yang dimiliki untuk meng-handle semua persoalan, itu jauh dari cukup.
“Diperlukan minimal Rp 3,34 triliun untuk meng-handle persoalan-persoalan dasar, namun yang  dimiliki tidak lebih dari Rp 400 hingg Rp 500 miliar yang bisa dibelanjakan dari APBD untuk tahun ini,†papar Suyoto dalam kesaksiannya.
Kendati begitu, tambah Kang Yoto, demikian ia biasa disapa, rakyat Bojonegoro punya mimpi yang luar biasa dengan diadakannya proses eksplorasi dan eksploitasi minyak di wilayahnya. Kenyataannya dari produksi rata-rata 60.000 barel per hari, yang diperkirakan bisa jadi 160.000 barel per hari (setera dengan 1/5 cadangan minyak di Indonesia), rakyat Bojonegoro masih berjibaku dengan kemiskinan.
Selain itu, sesuai data dari Pemkab Bojonegoro, pada tahun 2009 Bojonegoro menerima DAU sebesar Rp 596 miliar, namun harus menaikan gaji PNS pada tahun 2010 sebesar Rp 151 miliar. Â Idealnya DAU yang diterima Rp 747 miliar karena Rp 596 miliar plus Rp151 miliar, namun realitanya DAU yang diterima Bojonegoro hanya Rp 583 miliar atau kurang sebesar Rp164 miliar. Kekurangan ini ternyata sama dengan jumlah dana bagi hasil migas yang diterima Kabupaten Bojonegoro, itu artinya penerimaan DAU Kabupaten Bojonegoro berkurang sebesar dana bagi hasil migas yang diterima, yaitu sebesar Rp161 miliar.
“Saya memohon dikabulkanya judicial review  ini, bagi hasil saat ini sangat tidak memadai ketika harus memikul seluruh persoalan sosial dari kegiatan penambangan,†tegas Kang Yoto.
Ditambahkannya, persoalan social dirasakan langsung oleh warga daerah penambangan. Tak lupa juga harus dipikirkan masa depan ketika minyak itu habis. Momentum ini akan menghilang begitu saja, dan bagaimana bila rakyat belum sejahtera.
Bagi Kang Yoto, uang bukanlah segalanya, policy yang tepat sangat berpengaruh atas percepatan pembangunan dan kemajuan suatu daerah. Namun bukan berarti tidak membutuhkan modal dalam pelaksanaanya.
Begitu juga apabila pendapatan besar bila tidak dibarengi dengan policy yang tepat, maka hasilnya tetap nol. Policy yang tepat, kebijakan yang benar dari pemimpin yang tepat, didukung dengan modal yang kuat.
“Asal dilaksanakan dengan benar, tepat, tidak dihambur-hamburkan dan dikorupsi, itulah yang menjadikannya sempurna,†demikian tandas Suyoto. (*)