Mereka Turut Bangkitkan Kesadaran Warga

guru

Bisa jadi seorang guru di desa terpencil tak sekadar guru kelas. Secara alami mereka dituntut memupuk kesadaran akan pentingnya pendidikan.

SIAPAPUN bakal mafhum jika guru di sekolah terpencil tak sekadar guru. Mereka harus siap lahir dan batin menggeluti profesi sebagai pendidik yang sesungguhnya pendidik.

Di samping saban hari mengelus dada untuk keprihatinan terkait fasilitas sekolah, guru sekolah di dusun terpencil juga musti legawa menerima kenyataan tentang kultur masyarakat didiknya. Setidaknya mereka dituntut membangkitkan kesadaran warga akan pentingnya investasi Sumber Daya Manusia (SDM).

Seperti halnya di Dukuh Joho, Desa Papringan, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Guru SD di dusun pegunungan sepi ini, harus legawa melihat bangku sekolah kosong karena ditinggal murid. Karena jika musim tanam dan panen tiba, anak-anak didiknya meninggalkan bangku sekolah. Mereka membantu orangtuanya berladang.

Heny Dian Purwandini yang diangkat sebagai PNS pada tahun 2009 ini mengungkapkan, betapa dirinya dan guru-guru lain memberikan kesadaran kepada wali murid, dan murid-murid itu sendiri agar rajin belajar, dan masuk sekolah. Karena, jika sawah para orang tua sedang tanam mereka tidak masuk untuk membantu orangtuanya menggarap sawah.

“Dari 35 siswa tiap kelas, hampir semua tidak ada yang masuk karena ikut membantu orang tuanya di sawah,” kata Heny, “merubah maindset fikir mereka seperti itu memang susah, tapi semuanya harus dilakukan.”   

Tak jarang Heny menjemput anak-anak didiknya tersebut dari rumah mereka. Bahkan sering pula menjemput mereka di sawah, ketika membantu orangtua mereka.

“Kami harus memberi penjelasan tentang pentingnya sebuah pendidikan,” ungkap perempuan yang saban hari berangkat dan pulang dari sekolah naik motor itu.

Tak hanya masalah itu, lokasi SDN III Papringan yang berada di dusun terpencil di wilayah hutan dan pegunungan, menjadikan sasaran singgah kawanan anjing liar. Rombongan anjing tak bertuan itu terkadang masuk arena pekarangan sekolah sambil menggonggong.  Jika sudah begitu para guru pada dirajam ketakutan.

Beragam rutinitas dengan segala hitam putihnya, Heny merasa, saat peringatan Hari Guru pada tanggal 26 November adalah segalanya. Sekalipun tak ada tumpeng untuk merayakan ‘kesakralan’ profesi sebagai pendidik di sekolahnya, namun penghargaan dari warga masyarakat sudah melebihi penghargaan sebagai, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, itu sendiri.

“Bentuk penghargaan yang kami terima sebagai guru yang dekat dnegan anak didik dan orangtuanya, kalau disini ya sangat bagus. Mereka tidak segan-segan menawari bantuan dan makanan kepada kami,” kata Heny seraya tersenyum. Maklum di pedukuhan terpencil ini tak ada warung makan.

Bukan itu yang diharapkan Heny dari para orangtua dan wali muridnya. Baginya  sebagai orang yang bisa memberikan ilmu pada orang lain, bisa menjadi contoh yang baik untuk orang lain, baik untuk istri, suami, anak, keluarga maupun lingkungan sekitar sudah melebihi segala penghargaan.

“Meskipun banyak sekolah merayakan hari guru dengan upacara, atau acara tasyakuran, tapi cukuplah bagi saya murid-murid menjadi pintar adalah balasan perjuangan saya selama ini,” papar Heny.

Kendati begitu, Heny masih mempertanyakan, apakah ada perhatian pemerintah pada guru yang mengajar di tempat terpencil seperti ini? Karena memang banyak sekolah di daerah terpencil jauh dari perhatian pemerintah.

“Adakah pemerintah menganggarkan dana untuk peningkatan kualitas pendidikan di masyarakat, baik untuk para guru maupun fasilitas pendukungnya?” katanya penuh tanda tanya.

Baginya,  semangat untuk terus memberikan ilmu, mendidik dan membentuk anak yang memiliki kepribadian kuat, sholeh dan mengenal siapa diri, keluarga dan agamanya. Pahala yang mengalir akan selalu tercurah untuk para guru melalui ilmunya yang bermanfaat. Untuk umat walau secara fisik tidak mendapatkan imbalan seimbang dari waktu yang tercurahkan, untuk mencetak generasi baru yang penuh harapan.

“Guru yang berorientasi pada pengembangan nilai pengetahuan siswa, dan peningkatan kualitas pribadi siswa akan melahirkan para calon ilmuwan yang akan memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk mengembangkan masyarakat dan peradaban yang baik,” pungkasnya.

Filosofi mendidik ala Heny, guru SD terpencil di salah satu sudut daerah Bojonegoro ini memang berbeda. Kemasan pola pengajaran yang disesuaikan dengan kultur desa terpencil, demikian rekat dengan dirinya.   

Akan tetapi jika mengingat infrastruktur yang ada di sekolahnya masih jauh dari kata sempurna, galau tetap saja mewarnai pikirannya. Apalagi jika teringat obsesinya bersama guru-guruan lain di sekolahnya yang ingin melahirkan generasi cemerlang dari dusun tempatnya mengajar.  

“Apakah karena sekolah kami berada di desa terpencil, dan di pegunungan sehingga  kurang diperhatikan?” katanya.

Yang pasti di tempatnya mengajar hanya terdapat 4 unit lokal (ruang kelas) saja. Itu tidak mencukupi untuk semua siswa yang terdiri dari kelas I hingga kelas VI. Terkadang satu ruangan dipakai untuk 2 kelas, bahkan sampai 3 dan 4 kelas, karena ruangan yang terbatas tersebut.

Di sekolah itu, juga tak ada perpustakaan, tak ada pula kamar mandi dan kakus. Praktis bangunannya serba terbatas dan kurang fasilitas.

“Kalau ada yang ingin buang air kecil mereka melakukannya di belakang gedung sekolah, kalau buang air besar harus menumpang di rumah warga. Bahkan di sungai yang jaraknya lumayan jauh dai sekolah,” imbuh Heny.

Dia hanya berharap, ada perhatian dari Pemkab Bojonegoro agar memperbaiki gedung sekolah, dan menambah fasilitas penunjang lainnya. Seperti kamar mandi, dan perpustakaan yang sangat berguna untuk menambah ilmu pengetahuan siswanya. (ririn wedia/habis)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *