Memberi Hak Kepada Yang Berhak

Catatan : Rakai Pamanahan

DI satu kesempatan dalam sebuah reportase seorang petani di Desa Kalisumber, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur bertanya kepada saya, “Kenapa orang-orang ribut tentang CSR, dan apakah CSR itu bisa diminta?”

Bagi yang memahami masalah CSR yang merupakan singkatan dari Corporate Social Responsibility pertanyaan itu adalah lumrah. Apalagi yang bertanya adalah masyarakat awam yang butuh informasi detail tentang program tersebut. Terlebih lagi dia adalah warga yang desanya terdampak langsung dari geliatnya industri.

Akan tetapi menjadi aneh jika masih ada warga Desa Kalisumber, sebab desanya sejak tahun 2008 telah ada kegiatan eksplorasi sumur minyak Tiung Biru yang masuk wilayah bagian geologi Blok Gundih. Harusnya tak patut pertanyaan itu ke luar dari warga desa itu, karena sejatinya program CSR merupakan bagian dari kegiatan industri. Apalagi industri sekelas minyak dan gas. 

Dulu sebelum menjadi sebutan CSR, program ini dalam bentuk Community Development (CD), atau Comdev. Meski berubah nama namun makna di baliknya sama. Yakni, sebentuk program berkelanjutan yang tujuannya memberdayakan masyarakat, terkhusus masyarakat di sekitar industri.

Sedangkan target dari program yang menjadi tanggung jawab perusahaan, dan pemerintah ini adalah untuk menciptakan kemandirian kepada warga sekitar industri. Konon dana untuk kegiatan sosial ini, dari sekian persen dari keuntungan, dan sekian lagi diperhitungkan dari biaya produksi dari kegiatan industri yang menghasilkan keuntungan. Bisa jadi program ini merupakan hak masyarakat sekitar industri yang tak bisa diganggu gugat.

Semula regulasi CSR berada dalam undang-undang Perseroan Terbatas. Pada perkembangannya, pemerintah telah menyusun regulasi khusus yang mengatur masalah CSR. Meski begitu sampai saat ini, belum juga rampung pembahasannya. Atau perangkat pendukung dari undang-undang tersebut masih digodok di Jakarta.

Idealnya CSR dilakukan sebelum roda industri digerakkan hingga menghasilkan produk. Melalui cara ini masyarakat sekitar industri bisa memiliki kapasitas, jika ingin berpartisipasi secara  aktif di industri yang ada di sekitarnya. Jika warga telah mendapatkan program ini, meski tak bisa serta merta menempati posisi strategis di perusahaan, mereka bisa menempati structure midle class di indutri yang ada di dekatnya.

Ada banyak pilar yang dijadikan pedoman kegiatan CSR kalangan pabrikan. Namun, yang paling banyak dijadikan konsentrasi adalah bidang pendidikan, ekonomi produktif, lingkungan hidup, dan bidang kesehatan. Empat pilar ini jika diterjemahkan akan banyak menyangkut hajat kehidupan publik sekitar industri.

Kenapa setelah Pertamina EP menjadi operator Blok Gundih, dan telah memuntahkan minyak dari sumur Tiung Biru masih ada warga Kalisumber menanyakan CSR, ini yang patut disikapi bersama. Sebagai perusahaan besar milik negara, rasanya riskan jika perusahaan ini tak melakukan kegiatan CSR. Sungguh sebuah ironi yang tak harus terjadi.

Realitas yang terjadi sangat tak elok. Apalagi sampai terjadi ribut-ribut warga melakukan aksi unjuk rasa dengan memblokir akses jalan menuju sumur minyak Tiung Biru. Tentunya berdampak pada terhentinya kegiatan eksplorasi. Selain menuntut pekerjaan, dan dilibatkan dalam bisnis sertaan di Tiung Biru, warga meminta ganti rugi berupa uang tunai akibat dampak suara bising dari kegiatan eksploitasi di Tiung Biru.  
   
Kalangan aktivis dan akademisi, musti mafhum karena tuntutan tersebut dilakukan oleh warga. Namun, menjadi aneh jika warga yang telah enam tahun bersinggungan dengan beroperasinya Tiung Biru tak mengerti akan CSR. Apalagi sampai menuntut ganti rugi berupa uang tunai. Menjadi tak keliru jika disimpulkan, bahwa perusahaan ini tak pernah memberi sosialisasi secara utuh tentang program CSR. Atau jangan-jangan memang belum pernah ada sosialisasi CSR hingga membumi di desa tersebut.

Fenomena CSR di daerah memang unik. Tak sedikit perusahaan yang beroperasi di daerah-daerah menganggap CSR tak jauh beda dengan kegiatan filantropi. Semacam pengoibatan gratis, bagi-bagi sembako, atau pemberian bantuan perbaikan rumah. Padahal sejatinya ruh dari CSR adalah bagaimana memberdayakan warga agar memiliki kemandirian untuk menolong dirinya sendiri.

Pada gilirannya mereka tak lagi berharap bekerja di pabrik yang ada di sekitarnya, karena dari kemandirian secara ekonomi dan sosial yang ditempa melalui program CSR, mereka tak mendapatkan haknya. Melalui cara itu industri telah memberikan hak kepada masyarakat sekitar yang memang menjadi haknya. (*)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *