SuaraBanyuurip.com – Ririn Wedia
Bojonegoro – Tradisi ruwatan masih lekat di kalangan masyarakat di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sebagian warga meyakini ruwat (membersihkan diri) dari sengkala (marabahaya) menjadi bagian terpenting dalam menapak kehidupan.
Untuk itu pula sebanyak 223 kepala keluarga (KK) mengikuti tradisi ruwatan massal untuk mendapatkan keselamatan diri yang digelar di Gedung Serba Guna Bojonegoro, Minggu (10/11/2013).
Dari jumlah tersebut salah satunya diikuti juga oleh warga etnis Tionghoa. Adalah Suharyono (70), warga etnis asal Kelurahan Karang Pacar, Kecamatan Kota, Bojonegoro itu mengikuti tradisi ruwatan, karena memiliki lima orang anak yang semuanya laki-laki.
“Karena kita hidup di tanah Jawa, maka kita juga harus mengikuti tradisi orang Jawa,” ujarnya usai mengikuti ritual ruwatan massal.
Dia mengatakan, mengikuti ruwatan massal ini berharap agar kelima orang anak laki-lakinya itu mendapat keselamatan, dan selalu hidup rukun. Meski dia beragama Konghucu namun juga mengikuti rentetan berbagai ritual dengan khusuk.
“Biar rukun dan slamet,” terangnya.
Prosesi ruwatan menggunakan media pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala yang didalangi oleh Dalang Ruwat, Ki Hadi Sukoco. Dalam prosesi ruwatan itu para peserta yang diruwat duduk di atas kain mori putih dengan suguhan pertunjukan wayang.
Selain itu juga disediakan satu tumpeng yang ditaruh di tengah ratusan peserta untuk direbutkan. Setelah mendapat doa, tumpeng tersebut kemudian direbut oleh ratusan peserta. Hasil dari rebutan tumpeng itu kemudian ditaruh di sawah atau untuk pakan ternak.
“Agar terhindar dari sengkala,” ujar dalang Hadi Sukoco.
Janma Sukerta (mahluk belum bersih) yang harus diruwat diantaranya, Pandawa Lima (lima bersaudara lelaki semua), Ontang Anting (satu anak), Sendang Kaapit Pancuran (tiga bersaudara laki-laki – perempuan – laki-laki), Pancuran Kapit Sendang (tiga bersaudara, perempuan – laki-laki – perempuan).
Ruwatan sendiri adalah salah satu upacara tradisional dengan tujuan utama mendapatkan keselamatan supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup. Nasib jelek, dan selanjutnya agar dapat mencapai kehidupan yang aman, bahagia, damai di hati.
“Ruwatan sebagai suatu upaya membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial) yang diakibatkan dari perbuatannya sendiri. Hasil perbuatan jahat orang lain maupun dari faktor kelahiran dan ketidaksengajaan di luar kendali dirinya,” ujarnya.
Sukoco bercerita, dalam pagelaran wayang kulit dengan cerita Murwakala ini, dimana orang-orang yang termasuk kategori sengkala – sukerta diruwat, atau disucikan supaya terbebas dari hukuman Batara Kala, simbul raksasa yang suka memangsa para sukerta.
Sementara, ketua pelaksana ruwatan massal, Dian Dwi Anggraeni, mengatakan, tradisi ruwatan massal ini digelar setiap tahun sekali. Yakni, saat perayaan 1 Muharrom atau tahun baru Islam.
“Ini merupakan acara rutin setiap tahun baru Muharrom,” jelas wanita yang juga merupakan General Manajer radio Istana Bojonegoro itu. (rien)