Oleh : D Suko Nugroho
Sudah tiga tahun proses tukar guling tanah kas desa (TKD) Gayam, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, seluas 13,2 hektar (Ha), tak kunjung rampung. Tak terhitung pula sudah beberapa kali pertemuan antara pemerintah desa (Pemdes) Gayam, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan operator Blok Cepu, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) digelar. Namun tanah pengganti TKD Gayam yang saat ini digunakan proyek pengembangan produksi puncak Banyuurip, Blok Cepu, belum juga di dapat.
Hingga kini proses TKD masih terus berlangsung. Beberapa waktu lalu, SKK Migas menggelar sosialisasi kepada pemilik lahan calon tanah pengganti TKD di Balai Desa Gayam. Ada empat alternatif lokasi calon tanah pengganti TKD Gayam yang saat ini tengah diajukan ke Gubernur Jatim. Alternatif pertama, selatan Balai Desa Gayam, ke dua utara balai desa, ke tiga di perbatasan antara wilayah Desa Gayam dan Desa Katur, dan ke empat sebelah baratnya balai desa. Empat lokasi tanah pengganti itu milik 75 orang yang semuanya adalah warga Gayam.
Ribetnya regulasi sepertinya menjadikan tukar guling TKD Gayam terkatung-katung. Sebab sesuai aturan yang ada, setelah ada penetapan lokasi tanah pengganti dari Gubernur Jatim, akan dikembalikan lagi kepada Pemdes. Kemudian pemdes akan menawarkan kepada pemilik lahan dengan harga yang sudah dilakukan taksiran oleh tim independent, appraisal. Setelah ada kesepakatan harga baru akan dilakukan pembebasan.Â
Dengan melalui beberapa tahapan inilah dipastikan penyelesaian proses tukar guling TKD Gayam tak sagampang membalikkan telapak tangan. Karena bisa jadi saat harga yang akan ditawarkan ditolak pemilik lahan. Banyak alasan yang bisa menyebabkan mereka tak mau menerima harga yang sudah ditentukan oleh tim appraisal.Â
Salah satunya harga yang ditawarkan dinilai terlalu rendah. Lain itu, pengalaman pembebasan lahan untuk kebutuhan pengembangan Lapangan Banyuurip seluas 500 Ha pada kisaran tahun 2010 lalu, masih membekas di ingatan warga Gayam. Warga banyak diperdayai oleh para spekulan tanah. Tanah mereka dibeli seharga Rp20.000/M2 hingga Rp30.000/M2, kemudian dijual kepada operator seharga Rp80.000/M2.
Apalagi, sekarang ini, muncul main site (anggapan) masyarakat bahwa, tanah untuk kepentingan migas dapat laku mahal. Anggapan warga seperti ini tak patut dipersalahkan, terlebih sosialisasi dan informasi dari pihak-pihak berkompeten kepada mereka sangatlah minim. Apalagi tanah itu merupakan gantungan hidup mereka. Jika dijual tentunya mereka akan kehilangan sumber pendapatan. Kondisi inilah yang harus diperhatikan dan dipikirkan semua pihak.
Memang, luas TKD hanya sejengkal (13,2 Ha) dan tak menggangu produksi puncak Banyuurip sebanyak 165 ribu barel per hari (BPH). Karena kebutuhan lahan yang menjadi sarana vital, untuk pembangunan pemrosesan minyak mentah telah berhasil dibebaskan. Sehingga sangat dengan mudah operator dapat melakukan poduksi puncak.
Namun perlu diingat, bahwa penyelesaikan TKD Gayam ini merupakan sebuah komitmen yang sudah disepakati bersama antara Pemdes Gayam, Pemkab Bojonegoro, EMCL dan SKK Migas. Dengan dasar komitmen itulah ijin pengembangan proyek Banyuurip yang sempat ditahan Pemkab Bojonegoro, akhirnya diteken Bupati Bojonegoro, Suyoto.
Sehingga tak ada lagi alasan bagi semua pihak untuk menunda-nunda penyelesaian TKD Gayam. Apalagi dari target yang sudah ditetapkan untuk menuntaskan TKD Gayam pada akhir Desember 2014 lalu sudah beleset.
Jika ini dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin akan memunculkan masalah baru yang justru bisa menjadi kendala dalam mencapai produksi puncak Banyuurip. Sebelum itu terjadi semua pihak harus bersungguh-sungguh menyelesaikannya. Ibaratnya, sejengkal lahan ini seperti selilit (sisa makanan yang terselip di gigi), tapi jika dibiarkan bisa jadi penyakit.Â