SuaraBanyuurip.com – d suko nugroho
Bojonegoro – Polemik bantuan natura pemutus mata rantai Covid-19 senilai Rp 4,9 miliar di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur terus menjadi sorotan. Mantan Anggota DPRD Bojonegoro periode 2009 – 2014, Agus Susanto Rismanto menyebut bantuan yang dikemas dalam bentuk bingkisan lebaran itu merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan.
Pernyataan Gus Ris, panggilan akrab Agus Susanto Rismanto ini, merujuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Diketahui pengadaan bantuan natura pemutus mata rantai Covid-19 senilai Rp 4,9 miliar itu tidak melalui mekanisme karena dilaksanakan oleh pejabat-pejabat di lingkup Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Sehingga berpotensi merugikan keuangan negara. Terbukti antara barang yang didistribusikan tidak mencermikan nilai sesungguhnya dari anggran yang disediakan.
“Ini adalah tindakan abuse of power,” tegas Gus Ris, kepada suarabanyuurip.com, Senin (31/5/2021).
Selain itu, menurut dia, pergeseran dan perubahan anggaran dari Dinas Kesehatan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) oleh eksekutif tanpa mekanisme peraturan perundangan merupakan pelanggaran konstitusional tentang hak dan kewajiban antar penyelenggara negara yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang tentang Hak dan Kewajiban Anggota MPR, DPR RI, DPRD, dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Pergeseran dan perubahan anggaran dengan alasan force majeur atau darurat tidak dapat diterima karena bukan situasi yang dimaksudkan dalam Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Permerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2020,” jelas Gus Ris.
Berdasarkan fakta-fakta yang dia temukan di lapangan, penerima insentif pemutus Covid-19 (Tracer) bukan organ atau subyek hukum yang membantu masyarakat atau pemerintah yang melaksankan kegiatannya dalam kegiatan menanggulangi covid 19. Tetapi penerima insentif adalah masyarakat umum yang lebih layak sebagai pemerima bantuan sosial.
“Ditemukan fakta penerima insentif bukan warga Bojonegoro, serta orang yang identitasnya tidak diketahui dan tidak ditemukan sehingga menyulitkan pemerintah desa dan perangkat desa menyalurkan bantuan tersebut,” ungkap advokat ini.
Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBD Bojonegoro Ardhian Orianto mengatakan, anggaran bansos pemutus rantai Covid-19 sebesar Rp 4,9 miliar belum terserap dan masih di rekening BPBD. Sedangkan, untuk pengadaan barang belanja menggunakan uang pinjaman yakni dari Sekda Bojonegoro.
“Per paket bantuan tersebut ada kualifikasinya. Misalnya seperti beras, gula, minyak goreng, biskuit, dan makanan ringan,” katanya saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi C DPRD Bojonegoro, Kamis (20/5/2021) lalu.
Jawaban BPBD soal bansos bagi petugas pemutus rantai Covid-19 belum membuat puas Komisi C. Komisi dewan yang membidang masalah kesehatan ini dalam waktu dekat akan memanggil Dinas Kesehatan untuk mengklarifikasi masalah tersebut.Â
Sebab, program ini pertama muncul dari Dinkes yang sejak awal memegang anggaran dengan pengguna anggaran (PA) adalah Sekda Bojonegoro. Sedangkan kuasa pengguna anggaran (KPA) dari BPBD.
“Akan tetapi yang mempunyai program awal kenapa dilimpakan ke OPD lain. Jadi, Dinkes perlu diklarifikasi karena anggaran sejak awal di sana,” tegas Ketua Komisi C DPRD Bojonegoro Mochlasin Affan.(suko)Â Â