SuaraBanyuurip.com – Teguh Budi Utomo
Jakarta – Pemerintah telah terbuka dan menampung aspirasi dari koalisi masyarakat sipil, dan kalangan akademisi dalam menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Melalui konsultasi publik dipastikan perspektif yang digali mendapat perhatian serius dan dikaji mendalam, sebagai bagian dari DIM dari RUU yang telah jadi inisiasi DPR tersebut.
“Masukan kelompok masyarakat sipil dan akademisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses penyusunan DIM Pemerintah. Kami ingin semua pihak turut serta dan aktif menyempurnakan substansi RUU TPKS,†kata Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jaleswari Pramodhawardani, usai menghadiri acara konsultasi publik RUU TPKS yang digelar secara hybrid di Jakarta, Jum’at (4/2/2022).
Dalam pers rilis dari KPS yang diterima Suarabanyuurip.com pada hari  Jumat siang, Wakil Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS ini menyampaikan, kementerian/lembaga juga telah menyiapkan skema tindak lanjut untuk mendukung pengimplementasian RUU TPKS ke depan.
Diantaranya meliputi, kajian pembentukan direktorat khusus untuk penanganan kasus kekerasan seksual di Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai one-stop service bagi korban kekerasan seksual. Proses penyusunan DIM dikoordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dengan melibatkan berbagai kementerian/lembaga serta perwakilan kelompok masyarakat sipil dan akademisi.
“Kami dari Pemerintah mengucapkan terima kasih terhadap kawan-kawan sipil, serta akademisi semua,†ujar Jaleswari.
Dalam konsultasi publik yang dihadiri lebih dari 80 perwakilan masyarakat sipil dan akademisi tersebut, Joni Yulianto dari Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas) menyampaikan, korban kekerasan seksual disabilitas membutuhkan bentuk-bentuk penanganan dan pendekatan yang berbeda. RUU TPKS perlu menjamin inklusivitas ini.
“Difabel sering tidak menyadari dan tidak memahami tentang alat kontrasepsi, bahkan tidak memahami pelecehan dan kekerasan seksual,†kata Joni seraya menambahkan, “Sehingga pendekatannya menjadi cukup berbeda, dari situlah saksi ahli dan profile assesment menjadi penting untuk menjelaskan hal hal seperti ini.â€
Selain itu, diperhatikan pula tentang kewajiban restitusi bagi pelaku, dan kehadiran Lembaga Pelayanan di kawasan terpelosok dan terpencil. Termasuk perlindungan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual dibawah umur.
Sedangkan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti menyatakan, pihaknya mengapresiasi kerja keras tim pemerintah yang bergerak cepat. Tak berlama-lama dalam menyiapkan DIM pemerintah untuk RUU yang sejak enam tahun silam mulai dikawal pada aktifis dan ptaktisi tersebut.
“Kami berharap untuk terus dilibatkan lebih jauh dalam diskusi-diskusi penting seperti ini dalam tim pemerintah, dan mengawal bersama RUU TPKS saat pembahasan nanti di DPR,†kata Ratna Batara Munti. (tbu)