SuaraBanyuurip.com – Teguh Budi Utomo
Tuban – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Thony Saut Situmorang, menyatakan, berhasil tidaknya pemberantasan tindak pidana korupsi ada di tangan Presiden. Sebagai pemimpin tertinggi negara ia dibekali “pedang” untuk memberantas kejahatan, termasuk di dalamnya korupsi.
“Sejak Presiden pertama hingga ke tujuh, pedang tersebut tidak dipergunakan secara benar,” tegas Saut Situmorang dalam Diskusi Kebangsaan dengan tema “Menatap Indonesia Maju” yang digelar di salah satu Cafe kawasan Jalan Teuku Umar, Tuban, Jawa Timur, Rabu (17/01/2024).
Selain mantan Komisioner KPK tersebut, kegiatan yang dihelat Kuning Ijo Biru (KIB) Koordinator Daerah Kabupaten Tuban itu, menghadirkan Pakar Hukum Tata Negara Dr Refly Harun, dan Dr Habil Marati dari Seknas KIB. Tampak pula dalam acara yang diikuti sekitar 200 orang tersebut Ketua DPC Partai Nasdem Tuban H Riyadi.
Dengan pedang di tangannya, tambah Saut Situmorang, Presiden bisa menggunakannya untuk menegakkan keadilan kepada rakyat yang dipimpinnya. Ia analogikan, cukup dengan mengacungkan pedang seharusnya pelaku korupsi sudah tidak berani. Akan tetapi pedang tersebut hanya disimpan, sehingga kasus korupsi makin banyak dan tidak ada jeranya.
Dengan pedangnya, presiden bisa memerintah Kapolri, memanggil Menteri, dan pejabat lain untuk pemberantasan korupsi, atau bahkan mengantisipasi agar tidak terjadi rasuah. Oleh sebab itu, jika dioptimalkan sangat efektif, dan kejahatan kerah putih tersebut bisa diberantas.
Isu utama di negeri ini, menurut mantan pimpinan lembaga anti rasuah itu, adalah masalah korupsi sehingga butuh pemimpin yang memiliki komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi.
Menyinggung isi debat Capres dan Cawapres hingga kali keempat, Saut Situmorang menyatakan, jika disimak intinya ada indikasi yang salah dari penanganan terhadap penyimpangan. Yang muncul terjadi salah urus dan pembiaran.
Ia katakan pula, pihaknya sudah diskusikan (soal pemberantasan korupsi) dengan Capres dan Cawapres, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin). Mereka memasukkan program mengembalikan fungsi KPK pada 100 hari kerja pertama. Setidaknya pada tiga bulan pertama akan mengembalikan undang-undang KPK.
“Jika masih ruwet akan mengeluarkan Perpu, sebagai pengganti undang-undang KPK,” ujar Saut Situmorang.
Ancaman Suap dalam Pilpres
Sedangkan Refly Harun lebih menyoroti kemungkinan terjadinya praktik money politic di arena Pemilu Presiden (Pilpres) maupun Pemilu Legislatif yang bakal dilakukan pada paruh bulan Februari 2024 mendatang. Jika praktik suap kepada masyarakat agar memilih pasangan Capres dan Cawapres, bisa dipastikan pasangan Amin bakal kalah karena pasangan yang diusung Partai Nasdem, PKS, dan PKB tersebut tak memiliki dana untuk melakukannya. Jika saja memiliki pun tak bakal melakukannya.
“Praktik money politic ini hanya bisa dilawan dengan militansi. Militan dalam memperjuangkan calon pemimpin yang baik, dan mampu membawa perubahan,” papar mantan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi itu.
Ia tegaskan, pemimpin yang dipilih berdasarkan dibayar, tak akan membawa kebaikan bagi masyarakat. Bahkan bakal melakukan berbagai penyimpangan.
Sesuai hasil survei, ada beberapa tipikal pemilih yang memilih orang yang memberi duit karena kasihan. Atau bahkan tak enak kalau tidak memilih karena sudah memberi duit.
“Ini mental ibu-ibu dan remaja putri di pedesaan. Survei membuktikan itu,” kata ahli Hukum Tata Negara asal Palembang, Sumatera Selatan itu.
Uang yang diterima pemilih tersebut, ungkap mantan Staf Ahli Presiden bidang Hukum tersebut, termasuk kategori suap atau sogok. Tragisnya lagi penerimanya merasa tidak enak kalau tidak membantu yang memberi suap.
Praktik suap tersebut, seakan telah menjadi bagian dari masyarakat. Orang Indonesia itu seperti sudah terbiasa dengan suap.
“Bawaslu dan intel kalau tahu ada yang main suap langsung tangkap, karena itu pidana,” tegas Refly Harun dihadapan peserta diskusi yang memadati tempat acara.
Money politic, sebut pria berkacamata minus itu, hanya bisa dilawan dengan jumlah yang lebih besar, dan Amin tidak bisa melakukan itu. “Makanya hanya dengan militansi melawannya.”
Pemimpin yang Amanah
Sedangkan Ketua DPC Nasdem Tuban, H Riyadi, menyatakan, Pilpres adalah agenda politik lima tahunan yang harus dilalui di negara demokrasi. Disana rakyat akan memilih pemimpin yang memiliki kompetensi, dan amanah terhadap kepentingan masyarakat yang memilihnya.
“Yang baik dari pemimpin lama kita teruskan, yang kurang baik kita evaluasi dan perbaiki,” kata politisi yang saat ini menjabat Wakil Bupati Tuban.
Evaluasi terhadap kinerja pemimpin, bagi pemegang Magister Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga Surabaya itu, bukan membenci namun lebih pada bagaimana amanah dari publik diperjuangkan. Melalui cara seperti itu masyarakat akan bisa menilai, kenapa harus terjadi pergantian pemimpin.
“Di ranah demokrasi tak ada kekuasaan yang berlangsung terus menerus, apalagi diwariskan. Regulasi telah menata dan membatasi periodisasi dari konsep kepemimpinan,” kata pria penyuka warna hitam itu.
Lelaki sederhana yang bersahaja itu menambahkan, yang harus dievaluasi, harus tetap dievaluasi. Evaluasi bukan membenci, tapi bagaimana amanah masyarakat harus diperjuangkan untuk perbaikan yang lebih baik. Tersebab itu pula, jangan sampai salah pilih ketika menggunakan hak pilih dalam Pemilu.
“Ini bukan memilih pemimpin yang cerdas dan tidak cerdas, tapi kita memilih pemimpin yang baik. Yang amanah untuk kepentingan rakyat,” kata pria ramah yang dikenal dekat dengan berbagai lapisan masyarakat tersebut. (tbu)