SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari
Bojonegoro — Lembaga Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) mengungkapkan catatannya perihal tantangan dan arah kebijakan Carbon Capture Storage (CCS). Pasalnya CCS dipandang memiliki peran krusial dalam upaya mengurangi emisi karbon dioksida dan mengatasi perubahan iklim global.
Menurut penjelasan resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), CCS adalah salah satu teknologi mitigasi pemanasan global yang bertujuan mengurangi emisi CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer.
Teknologi ini melibatkan serangkaian proses terkait, mulai dari pemisahan dan penangkapan CO2 dari sumber emisi gas buang, pengangkutan CO2 yang tertangkap ke tempat penyimpanan, hingga penyimpanan CO2 ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi atau bahkan injeksi ke dalam laut pada kedalaman tertentu.
Berkenaan CCS ini, Manajer Riset Pushep, Akmaluddin Rachim mengemukakan ihwal tantangan dan arah kebijakan dalam penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon tersebut.
Pertama ialah paradigma pengaturan dan kebijakan terkait penyelenggaraan kegiatan CCS ke depan perlu memiliki paradigma yang berorientasi pada energi bersih, mendorong transisi energi berkeadilan, pembangunan yang ramah lingkungan dan rendah karbon. Hanya dengan paradigma tersebut tujuan pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan.
Selama ini kecenderungannya terlihat bahwa beberapa regulasi di sektor energi belum memiliki keberpihakannya pada pembangunan berkelanjutan dan pertanggungjawabanya terhadap aspek sosial dan lingkungan hidup.
“Paradigma pengaturan dapat terwujud apabila dilakukan secara meaningful participation sehingga harapan masyarakat terhadap lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan terlaksana,” kata Akmaluddin Rachim kepada Suarabanyuurip.com, Senin (01/04/2024).
Kemudian ke dua, perangkat kebijakan terkait dengan CCS membutuhkan perangkat kebijakan yang komprehensif mengatur berbagai aspek sehingga tujuan akhir dari kegiatan perekonomian berbasis rendah karbon dapat mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Selain itu, juga diharapkan agar perangkat kebijakan tersebut memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum. Kegiatan bisnis penangkapan dan penyimpanan karbon harus dilakukan dengan penuh hati-hati, sebab aktivitas ini sangat rentan, memiliki potensi resiko terhadap lingkungan dalam jangka panjang.
“Oleh sebab itu, dibutuhkan perangkat kebijakan yang saling terkait guna memitigasi potensi resiko di masa mendatang,” ujarnya.
Lalu yang ke tiga yaitu dibutuhkan sosialisasi secara menyeluruh. Kebijakan tentang CCS belum sepenuhnya diketahui oleh pemerintah daerah. Padahal, dalam perpres terdapat ketentuan yang mengatur tentang fungsi koordinasi antar kementerian terkait dengan pemerintah daerah.
Di sisi lain, di tingkat kementerian atau lembaga di pusat juga belum sepenuhnya memahami terkait dengan kebijakan ini. Oleh sebab itu perlu ada sosialisasi secara bertahap kepada berbagai stakeholder agar dapat melakukan akselerasi kebijakan.
Ke empat dibutuhkan kajian yang komprehensif sebab teknologi CCS ini merupakan “barang” baru. Potensi kebocoran saat pengangkutan, penangkapan, dan penyimpanan secara jangka pendek dan panjang perlu dikaji.
Dari sisi ekonomi, perlu juga dilakukan kajian apakah penyelenggaraan kegiatan CCS ini dapat bernilai ekonomis yang tinggi dan membuka lapangan pekerjaan. Sebab, untuk mendapatkannya membutuhkan modal yang besar.
Selanjutnya hal ke lima ialah sinergi antar kementerian dan lembaga. Pemahaman dan sinergi antar kementerian dan lembaga sangat dibutuhkan sebab pada bagian pembinaan dan pengawasan melibatkan sejumlah kementerian.
“Khususnya pada aspek perizinan. Jangan sampai terjadi tumpang tindih, di lain sisi keterlibatan koordinasi sejumlah kementerian dibutuhkan agar penyelenggaraan kegiatan CCS ini tidak merugikan negara dan masyarakat di kemudian hari,” tegasnya.(fin)