PEMILU Presiden 2024 telah usai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pesta demokrasi lima tahunan telah mengumumkan pemenangnya adalah pasangan Capres dan Cawapres, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Menteri Pertahanan dan Walikota Solo itu meraih 96.214.691 suara, dari total suara sah nasional sebanyak 164.227.475.
Raihan biting pasangan Prabowo dan Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebanyak 58,59 persen itu, mengalahkan suara Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebesar 24,95 persen (40.971.906), dan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebanyak 16,47 persen atau setara dengan 27.040.878 suara. Angka 58,59 persen yang disabet Prabowo-Gibran tersebut menutup peluang Pemilu Presiden (Pilpres) putaran kedua.
Terlepas dari silang sengkarut opini publik pada prosesnya, secara yuridis pasangan yang diusung Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional itu bakal menggantikan Presiden dan Wapres, Joko Widodo dan Makruf Amin, memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada periode 2024-2029.
Saya tak menyoal mengapa dan bagaimana Prabowo dan Gibran bisa memenangkan Pilpres 2024. Pun penyebab kedua kompetitornya kalah. Lebih dari itu mari kita bahas kenapa presiden ketujuh yang akrab disapa Jokowi, memberikan dukungan maksimal kepada Prabowo-Gibran yang tak diusung PDIP, partai yang membesarkan Gubernur DKI Jakarta 2012-2014 itu.
Spekulasi tentang sikap politik suami Iriana itu kian berlapis. Ada yang menyebut Jokowi telah melupakan PDIP, partai yang membesarkannya sebagai politisi, atau bahkan mengkhianati partai pimpinan Megawati Soekarnoputri. Berseliweran opini miring tentangnya bermula dari Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang diajukan mahasiswa Universitas Surakarta (UNSA), Almas Tsaqibbirru.
Dalam amar putusannya MK yang diketuai Anwar Usman, tercatat sebagai suami dari adik kandung Jokowi, Idayati, menyatakan, “seseorang yang di bawah usia 40 tahun bisa menjadi Capres maupun Cawapres asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui Pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.” Kaidah hukum inilah yang memantik isu jika Jokowi mencoba menerapkan politik dinasti, bermula dari dugaan praktik kolusi dan nepotisme dari petinggi MK yang kebetulan saudara ipar tersebut. Dari situ pula gerendel pintu suksesi terkuak untuk dimasuki Gibran, yang kala itu, masih berusia 36 tahun.
Naiknya Gibran sebagai Cawapres memantik spekulasi tentang arah politik Jokowi. Ia dinilai para pengamat, dan lawan politiknya mencoba menerapkan politik dinasti. Moda politik ini mengarah pada kekuasaan yang dijalankan sekelompok orang terkait hubungan keluarga. Indikasinya Gibran adalah putra sulung Jokowi. Demikian pula dengan Walikota Medan, Bobby Nasution, menantunya yang bakal berkontestasi dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2024 yang diusung Partai Golkar, pun desas desus Kaesang Pangarep, adik kandung Gibran, Ketua Umum PSI yang dikabarkan bakal ikutan Pilkada DKI Jakarta tahun ini.
Bisa diartikan dinasti politik tak ubahnya sistem monarki, dimana kekuasaan bakal diwariskan secara turun temurun dari ayah ke anak. Melalui sistem ini kekuasaan akan tetap berada dalam lingkaran keluarga. Walau konstitusi kita tak menerapkan sistem itu, namun tak ada larangan bagi warga negara yang memenuhi syarat regulasi untuk mencalonkan diri sebagai pejabat politik. Baik itu sebagai legislator, senator, kepala negara, kepala daerah, termasuk pula kepala desa.
Tren politik kekerabatan tersebut menggejala sebagai bentuk dari praktik neopatrimonialistik, yang bermula dari sistem patrimonial. Sistem ini mengedepankan regenerasi politik berdasarkan genealogis, bukan dengan sistem merit, dalam memunculkan tokoh politik. Diantara ujung dari sistem hirarki social ini adalah penggunaan sumber daya negara oleh patron politik (baca penguasa-Red), untuk mengamankan loyalitas klien pada publik.
Dalam sistem monarki, secara tradisional, pembagian kekuasaan politik bisa ditunjuk langsung atau diwariskan kepada keturunannya. Sedangkan secara kontemporer yang kini banyak dipraktikkan melalui jalur politik prosedural. Narasinya agar dikesankan tak melabrak peraturan perundang-undangan, para elite politik menyiapkan institusi politik (partai politik) untuk bisa dimasuki keluarganya. Jalur prosedur politik menuju kekuasaan inilah yang membungkus praktik patrimonialistik. Di tanah air hal itu bukan pelanggaran konstitusi.
Praktik tersebut kian subur mulai dari Pemilu Legislatif hingga Pilkada. Hal ini terjadi lantaran kinerja politik dari partai politik tak berjalan sesuai harapan, atau bahkan bisa disebut tak semua partai politik mampu mengemas sistem kaderisasi secara masif. Celah ini pula yang menjadi elite politik dari partai politik memiliki determinasi sangat kuat, bahkan menghegemoni sikap politik kadernya sendiri. Bermula dari sini pula para legislator maupun pejabat politik, baik itu presiden, gubernur, bupati dan walikota, acap disebut kepanjangan tangan dari partai politik, atau petugas partai. Disitu pula elite politik partai bisa mewarnai, atau bahkan bisa mempengaruhi kebijakan politik dari para petugasnya.
=======
Secara kontemporer penerapan politik monarki dilakukan para elite melalui jalur politik prosedural. Kesannya untuk membiaskan penerapan praktik patrimonialistik dari sistem monarki tradisional.
==========
Praktik determinan dari elite politik dari partai politik, pada gilirannya melahirkan oligarki kekuatan partai politik sangat dominan dalam kekuasaan politik. Apa yang diinstruksi ketua umum partai dikesankan wajib ditaati secara tegak lurus tanpa perlawanan. Disinilah campur tangan elite politik partai politik tidak membikin nyaman petugas partai. Mereka menganggap jika intervensi dari elite politik partai yang mengusungnya, justru menciptakan kesan tak elok dalam kekuasaan pemerintahan.
Dalam perspektif Pemilu Presiden atau Pilpres, siapapun tak bisa mencalonkan diri sebagai Capres dan Cawapres, karena harus ada partai politik yang mencalonkannya. Secara regulative kontestasinya diatur oleh UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Undang-undang ini memandatkan presidential threashold sebanyak 20 persen dari jumlah kursi parlemen, atau 115 dari 575 kursi parlemen. Karena kita menganut multipartai dalam berdemokrasi, jika satu partai tak bisa memenuhi ambang batas, harus berkoalisi dengan partai lain untuk mencalonkan kadernya. Tersebab itu pula dalam sistem demokrasi yang dianut Indonesia, partai politik—yang memenuhi syarat parliamentary threshold sebanyak 4 persen dari total suara nasional yang sah atau minimal 25 persen dari total suara sah di satu provinsi—memiliki kuasa untuk mencalonkan kadernya sebagai kandidat Capres atau Cawapres, sekalipun melalui koalisi. Menerapkan sistem itu pula PDIP pada dua Pilpres sebelumnya (2014 dan 2019) mencalonkan Jokowi, dan sukses mengantarkan mantan Walikota Solo itu sebagai Presiden Indonesia.
Sebagai presiden dua periode Jokowi sangat popular di dalam dan luar negeri. Rangkaian program pembangunan, dan kebijakan politik luar negerinya sangat berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya. Ia pun menjelma sebagai tokoh berkelas internasional. Gaya blusukan ke berbagai sudut di negara dengan 17.508 pulau, menjadikannya bak magnet pembangunan yang tepat sasaran. Ekspose media digital yang acap memiralkan kunjungannya ke pelosok daerah, bagai fenomena baru terhadap pola kepemimpinan nasional.
Jika menelisik sisi historisnya, Jokowi bukan keturunan bangsawan, konglomerat, tokoh religi, atau anak dari petinggi militer. Sisi ini pula yang menggugurkan image bahwa pemimpin tertinggi di negeri ini memiliki genetic dari pemimpin besar sebelumnya. Entah itu keturunan dari sistem monarki dari kerajaan sebelum NKRI berdiri, atau para petinggi negeri setelah diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta.
Gayanya banyak diadopsi oleh kepala daerah yang tersebar di 416 kabupaten dan 98 kota di 38 provinsi di Indonesia. Model merakyatnya menjadikan kepercayaan public terhadapnya, sesuai hasil survey LSI Denny JA periode 30 Mei-12 Juni 2023, mencapai 90 persen. Sejumlah lembaga survei merilis tingkat kepercayaan terhadap Presiden RI ke-7 itu, dari paruh tahun 2023 hingga awal tahun 2024 siklusnya naik turun berkisar pada angka 80-90 persen. Secara empiris ia dipercaya oleh 277.534.122 penduduk yang menghuni 1,9 juta kilometer persegi wilayah daratan Indonesia.
Jokowi sangat mafhum jika diantara program pembangunan yang baik dan terukur, mempertimbangan waktu dan budget, idealnya menggunakan pola sustainable. Belajar pada pengalaman kepemimpinan nasional sebelumnya, banyak program yang harusnya diteruskan oleh pemimpin selanjutnya namun terhenti karena berbagai sebab. Diantaranya akibat kepentingan politi dari elite politik partai politik pengusung. Perubahan sikap politik diakhir masa jabatan keduanya, yang dinilai para pengamat tak lagi sejalan dengan partai pengusungnya dalam Pilpres, menjadikannya berbeda dari sederet presiden sebelumnya.
Dalam Pilpres 2024 ia mendukung pasangan Prabowo-Gibran, bukan Ganjar-Mahfud yang diusung partai yang membesarkannya. Di samping sebagai simbul perlawanan terhadap kekuatan oligarki partai politik yang selama ini menghegemoni setiap pemimpin nasional, juga fenomena baru menerobos ruang agar program pembangunan bisa dilakukan berkelanjutan. Ini bukan berarti Jokowi terindikasi Pistanthropobia atau Trust Issue, tak mempercayai orang lain. Lebih dari itu, secara politik, memang idealnya seorang presiden memiliki kemandirian yang tak mudah diintervensi, sekalipun dari elite politik partai pengusungnya.
Kendati sistem demokrasi dengan multipartai masih bakal berlangsung, namun terobosan dari sikap politik Jokowi kali ini cukup mengagetkan. Di lain sisi hal tersebut patut dipahami sebagai bentuk pengamanan dari keberlangsungan program pembangunan yang telah dirancangnya berkelanjutan. Satu contoh, Ibu Kota Nusantara (IKN), hilirisasi industri, maupun program lain yang berkelanjutan tak bisa diputus dalam satu periode kepemimpinan nasional.
Ia juga menyadari jika dirinya bukan ketua umum partai. Di awal masuk ranah politik ia berangkat secara personal, dan tak menjadi elite politik dari partai politik manapun. Ini pula yang menjadi pertimbangan kenapa mempercayakan atmosfir pemerintahan yang dirancangnya kepada Prabowo-Gibran. Prabowo adalah Ketua Umum Partai Gerindra sehingga tak mudah diintervensi oleh elite politik partainya, pun oleh elite politik partai koalisi pengusungnya. Sedangkan pasangannya, Gibran, adalah putra kandungnya yang bisa disebut sebagai replika Jokowi, karena mentor dan konsultan politiknya adalah dirinya sendiri.
Sisi itulah, yang diantaranya, bisa menjawab latar belakang dari sikap politik Jokowi dalam Pilpres 2024 yang dimenangkan Prabowo-Gibran. Kita musti memahami hitam putih dari seorang Jokowi. Ia telah berbuat untuk negerinya. Soal setelah lengser programnya dilanjutkan oleh penggantinya, atau justru begitu mudah diintervensi oleh elite politik partai, waktu yang akan menjawabnya. (*)
Teguh Budi Utomo